Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Muhammad Ridwan Tri Wibowo
Novel Gadis Pandai (Dok. Pribadi/Muhammad Ridwan Tri Wibowo)

Pramoedya Ananta Toer adalah tokoh sastra besar Indonesia. Pramoedya lahir di Blora, Jawa Barat pada tanggal 6 Februari 1925, sebagai putra sulung dari Kepala Sekolah Institut Budi Oetomo. Pramoedya telah menghasilkan lebih dari 50 karya yang diterjemahkan ke dalam 41 bahasa asing.

Meskipun sering kali ditahan dan karyanya dilarang karena dianggap mengganggu keamanan negara di masa pemerintahan Soekarno dan Soeharto, Pramoedya tetap gigih menulis dan meraih berbagai penghargaan dari luar negeri.

Novelnya yang terkenal Gadis Pantai ditulis saat Pramoedya menjadi tahanan di Pulau Buru. Novel ini juga sempat dilarang beredar pada masa rezim Orde Baru karena kritik sosialnya yang tajam.

Dengan latar belakang sejarah kolonial Belanda, novel ini mengangkat tema penindasan yang timbul dari feodalisme pada masa itu.

Menurut penelitian seorang mahasiswa doktor di Australia, novel Gadis Pantai sebenarnya bagian dari trilogi, tetapi dua novel lainnya tidak pernah ditemukan setelah dilarang beredar pada masa Orde Baru.

Budaya Feodalisme dalam Masyarakat Jawa

Novel Gadis Pantai mengisahkan seorang gadis pantai berusia empat belas tahun yang dipaksa dinikahi oleh seorang Bendoro yang tinggal di kota Rembang.

Gadis pantai hidup di lingkungan kampung nelayan di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Gadis pantai pun tidak pernah mengenal kehidupan di kota sebelumnya, karena ia hanya mengenal kehidupan di kampung nelayan tempat tinggalnya.

Gadis pantai mempunyai kulit kuning langsat dan tubuh langsing, karena itulah menarik perhatian Bendoro, seorang priyayi yang bekerja untuk Belanda.

Gadis pantai pun sebenarnya tidak tahu akan dinikahi oleh seorang Bendoro, ia hanya tahu bahwa ia akan dinikahkan dengan sebilah keris.

Setelah dipertemukan dengan Bendoro dalam sebuah gedung megah, Gadis Pantai kemudian menjadi 'Mas Nganten', yaitu istilah bagi perempuan yang melayani kebutuhan seks para priyayi sampai mereka menikah dengan perempuan dari golongan yang sederajat. 

Namun, ternyata Bendoro hanya menjadikannya selir. Setelah melahirkan anak dari Bendoro, gadis pantai diceraikan dengan cepat, bahkan sebelum bayinya cukup besar untuk menyusu dengan baik. Ia pun harus meninggalkan bayinya di rumah Bendoro.

Keputusan Bendoro untuk menceraikan gadis pantai, membuat gadis pantai menyadari bahwa pernikahannya hanyalah percobaan, dan suaminya akan menikahi wanita lain dari golongan yang sama.

Ini adalah kesedihan yang mendalam bagi Gadis Pantai yang harus meninggalkan bayinya dan merasa hancur karena diceraikan dengan mudah.

Dengan demikian, melalui kisah gadis pantai penuh dengan kepedihan dan kepahitan, Pramoedya Ananta Toer mempersembahkan sebuah cermin yang memantulkan realitas sosial yang kompleks di Indonesia pada masa kolonial Belanda.

Melalui kritik sosial yang tajam dan penggambaran yang mendalam terhadap karakter dan kehidupan, novel Gadis Pantai tidak hanya menghibur pembaca, tetapi juga mengajak mereka untuk merenung tentang nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan martabat individual dalam menghadapi tekanan sosial dan politik.

Dengan demikian, novel Gadis Pantai tetap menjadi warisan berharga yang menginspirasi dan memotivasi pembaca untuk berpikir lebih dalam tentang masa lalu, masa kini, dan masa depan bangsa.

Identitas Buku

Buku : Gadis Pantai

Penulis : Pramoedya Ananto Toer

Cetakan : Ketujuh, 2011

Halaman : 272 halaman

Dimensi : 13 x 20 cm

Cover : Soft cover

ISBN : 979-97312-8-5

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Muhammad Ridwan Tri Wibowo