"The Shape of Water", film yang pertama kali rilis pada 2017 di Festival Film Venesia, kemudian rilis di Indonesia pada 29 Maret 2018, merupakan karya Sutradara Guillermo del Toro.
Naskahnya ditulis oleh sang sutradara yang berkolaborasi dengan Vanessa Taylor. Berkat kisahnya yang unik dan begitu banyak menarik atensi penonton, film ini dianugerahi penghargaan Academy Award untuk kategori Best Director.
"The Shape of Water" mengisahkan tentang Elisa, wanita bisu yang bekerja sebagai ‘tukang bersih-bersih’ di sebuah fasilitas pemerintah pada era Perang Dingin.
Suatu hari, Elisa menemukan ‘makhluk air’ dalam penangkaran milik pemerintah. Meskipun makhluk ini terlihat menakutkan, nyatanya Elisa membangun ikatan emosional dengannya.
Seiring berjalannya waktu, Elisa bersama teman-temannya merencanakan penyelamatan makhluk itu dari penangkaran yang kejam. Mereka menghadapi berbagai rintangan, termasuk keberadaan agen pemerintah yang licik.
Review Film The Shape of Water
Ada yang unik dari penggambaran karakter Elisa, yang diperankan dengan bagus oleh Sally Hawkins. Meskipun ‘nggak bicara’, Hawkins berhasil menyampaikan emosi dan kekuatan karakternya melalui bahasa tubuh dan ekspresi wajahnya yang mengesankan.
Menelisik jauh lebih dalam. Poin terdalam yang diusung film "The Shape of Water" ialah mengenai keunikan cinta yang dapat berkembang di antara individu-individu, kendatipun berbeda dan di luar norma.
Kisah cinta antara manusia (Elisa) dan makhluk air (Amphibian Man) memang terlihat sangat nggak lazim, tetapi di titik inilah, filmnya mencoba menyampaikan pesan: Cinta itu terkadang memang bikin buta.
Selain itu, film ini juga menyoroti tema tentang ikatan komunikasi yang kuat. Elisa, sebagai karakter utama yang bisu, nyatanya punya cara dan bahasanya untuk berkomunikasi dengan makhluk air. Hal ini menekankan pentingnya komunikasi non-verbal, empati, dan pemahaman dalam hubungan tiap individu.
Sayangnya, penonton di bawah umur sebaiknya nggak menonton ini, kalaupun memaksa diri untuk menontonnya, cobalah untuk paham bahwa adegan ketelanjangan di dalam kamar mandi (Elisa yang memuaskan diri sendiri) tentunya adalah hal yang sangat tabu. Pertanyaannya, mengapa harus ada adegan itu?
Menurutku, karakter fiksi, seperti Elisa di dalam "The Shape of Water", sering kali dirancang untuk mencerminkan kehidupan yang kompleks.
Menyikapi karakter seperti Elisa, memerlukan pemahaman bahwa kehidupan karakter dalam kisahnya, ‘mungkin’ nggak selalu mencerminkan norma sosial atau moral yang sama dengan dunia nyata.
Dalam konteks naratif, scene ‘memuaskan diri’ di kamar mandi itu, mungkin dimaksudkan untuk menunjukkan kehidupan pribadi karakter, sekaligus menunjukkan keintiman dan realitasnya.
Sering kali, elemen seperti ini ada untuk menunjukkan bahwa ‘karakter itu’ bukanlah karakter idealistik atau sempurna, tetapi sebagai karakter yang memiliki sisi hitam-putih dan kelemahan seperti manusia pada umumnya. Pandangan terhadap perilaku Elisa memang dapat bervariasi antar-individu dan budaya.
Rasa-rasanya akan kurang bila nggak membahas keajaiban visual dalam "The Shape of Water". Guillermo del Toro telah memberikan perhatian khusus pada detail setiap adegan. Desain produksi yang indah dan sinematografi yang cermat memberikan sentuhan magis pada film ini.
Selain itu, elemen keberagaman dalam pemeran film memberikan warna yang menarik. Richard Jenkins sebagai tetangga dan teman setia Elisa, Octavia Spencer sebagai rekan kerja yang ceria, dan Michael Shannon sebagai antagonis, semuanya memberikan penampilan yang luar biasa.
Namun, entah mengapa aku merasa ada masalah pada ‘pacing’, dengan beberapa adegan yang kesannya terburu-buru dan kurang dikembangkan. Bahkan karakter antagonis yang diperankan oleh Michael Shannon, kelihatan stereotip banget.
Meskipun begitu, ketahuilah bahwa setiap penonton memiliki preferensi dan pandangan yang berbeda terhadap film. Maka, interpretasi dan penilaian terhadap film sering kali juga bersifat subjektif.
Maka skor dariku: 7,5/10. Guillermo del Toro mungkin berhasil menyabet gelar sebagai sutradara terbaik, kendatipun begitu, sepertinya aku yang terlalu menuntut lebih pada film ini. Eh!
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Emosional yang Begitu Sesak dalam Film Bila Esok Ibu Tiada
-
Ketika Horor Thailand Mengusung Elemen Islam dalam Film The Cursed Land
-
Review Film Laut Tengah: Ketika Poligami Jadi Solusi Menggapai Impian
-
Krisis Iman dan Eksorsisme dalam Film Kuasa Gelap
-
Kekacauan Mental dalam Film Joker: Folie Deux yang Gila dan Simbiotik
Artikel Terkait
-
Puncak FFI 2024: Jatuh Cinta Seperti di Film-Film Sapu Bersih 7 Piala Citra
-
Salah Santet, Film Horor-Komedi yang Angkat Kearifan Lokal Indonesia-Malaysia
-
Review Film Role Play, Menjelajahi Dunia Karakter dan Narasi
-
Review Film Self Reliance, Duet Jake Johnson dan Anna Kendrick
-
Trailer Terbaru Film A Minecraft Movie: Terkuaknya Kisah Asal Mula Steve
Ulasan
-
Ulasan Buku 'Seni Berbicara Kepada Siapa Saja, Kapan Saja, di Mana Saja', Bagikan Tips Jago Berkomunikasi
-
Mama yang Berubah Jadi Peri di Mummy Fairy and Me 4: Keajaiban Putri Duyung
-
Jambi Paradise, Destinasi Wisata Pilihan Keluarga
-
Melancong ke Jembatan Terindah di Jambi, Gentala Arasy
-
Review Film Role Play, Menjelajahi Dunia Karakter dan Narasi
Terkini
-
Makna Perjuangan yang Tak Kenal Lelah di Lagu Baru Jin BTS 'Running Wild', Sudah Dengarkan?
-
Puncak FFI 2024: Jatuh Cinta Seperti di Film-Film Sapu Bersih 7 Piala Citra
-
Polemik Bansos dan Kepentingan Politik: Ketika Bantuan Jadi Alat Kampanye
-
Ditanya soal Peluang Bela Timnas Indonesia, Ini Kata Miliano Jonathans
-
3 Rekomendasi Oil Serum Lokal Ampuh Meredakan Jerawat, Tertarik Mencoba?