Scroll untuk membaca artikel
Sekar Anindyah Lamase | Rie Kusuma
Cover novel One Last Chance (Doc. Goodreads)

One Last Chance merupakan novel bergenre metropop karya dari Stephanie Zen yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2012.

Tak boleh ada patah hati yang tak menghasilkan royalti.

Kalimat tersebut menjadi prinsip hidup Adrienne Hanjaya, penulis novel best seller yang diangkat dari kisah percintaannya yang gagal dan menggunakan nama para mantan sebagai nama tokoh.

Keyla, sahabat Adrienne, kerap mengingatkan bahwa apa yang dilakukan Adrienne—dengan memakai nama asli untuk karakter novel-novelnya—tidaklah bijaksana.

“Apa susahnya buatmu, Dri, mengganti nama tokoh pria dalam novel-novelmu? Apa susahnya buatmu, tidak menuangkan semua kisah pribadimu di dalam buku hasil karyamu?” (Hal. 12)

Namun, Adrienne menganggap itu pembalasan untuk para mantan yang membuatnya patah hati. Adrienne bahkan sengaja membuat ending novel-novelnya berakhir dengan kesengsaraan untuk tokoh prianya dan kebahagiaan untuk tokoh wanitanya.

Sampai suatu hari, Adrienne bertemu dengan seorang calon dokter muda bernama Danny, saat dirinya ikut baksos pengobatan gratis ke Tosari. Lelaki itu berhasil membuat hati Adrienne terpikat.

Dari beberapa kali pertemuan dan kerapnya Adrienne berinteraksi dengan Danny lewat sosial media, untuk pertama kalinya gadis itu berharap bisa memiliki kisah yang happy ending bersama Danny, yang bisa dia tuliskan dalam novel selanjutnya.

Novel setebal 292 halaman ini memiliki alur sangat lambat, yang mana separuh jalannya cerita mengisahkan kehidupan Adrienne sebagai penulis, sampai kedekatannya dengan Danny.

Konflik baru mulai terbentuk ketika saya tiba di halaman 160, tentang kekecewaan Danny pada mantan yang pernah membohongi, dan agaknya akan terjadi lagi dengan Adrienne yang menyembunyikan sesuatu.

Konflik ini pun tak terlampau kuat, mengingat lemahnya kemistri antara Danny dan Adrienne. Hubungan mereka yang masih sebatas PDKT membuat saya tak habis pikir, ketika Danny galau sampai demikian hebatnya terhadap hubungan yang ‘belum ada’.

Untungnya, ada konflik lain tentang gugatan untuk Adrienne, yang dilayangkan salah satu mantan Adrienne atas pencemaran nama baik. Energi saya yang tadinya sudah merosot tajam, jadi kembali bersemangat untuk meneruskan novel ini.

Gerry … Gerry menggugat aku ke kepolisian? Dengan tuduhan pencemaran nama baik? Setelah apa yang Gerry lakukan terhadapku—dengan membongkar semua keburukanku di depan Danny, sekaligus menyugesti Danny untuk berpraduga salah tentang diriku—sekarang dia masih juga melaporkan aku ke polisi? (Hal. 188)

Karakter tokoh dalam novel One Last Chance yang cukup mengusik hati saya adalah karakter Danny. Meskipun dia digambarkan sebagai laki-laki yang tampan, smart, ramah, tapi ada beberapa hal dari diri Danny yang bikin saya sebal.

Contohnya, ketika Danny dikompori oleh Gerry, mantan pacar Adrienne, tentang tujuan Adrienne mendekati Danny yang semata-mata menjadikannya bahan tulisan demi cuan dan popularitas. Dengan serta merta Danny memercayai hal itu.

Danny tidak mencari tahu lebih jauh dan hanya mengandalkan asumsinya dari pertanyaan-pertanyaan pancingan yang dia tujukan untuk Adrienne.

Lalu kegalauan Danny yang berlarut-larut. Daripada meluruskan konflik yang cuma didengarnya dari teman sekolah yang bertahun-tahun tidak bertemu, dia malah memilih mengurung diri berbulan-bulan.

Ketika akhirnya Danny mengetahui hal yang sebenarnya, dia juga bukannya mendatangi Adrienne untuk meminta maaf, tapi malah ngarep Adrienne yang datang ke rumahnya, agar dia bisa meminta maaf. Duh, ini bikin saya ingin berkata kasar sama Danny.

Secara keseluruhan novel ini cukup menghibur dan memuat banyak pesan moral. Salah satunya, untuk memaafkan orang yang menyakiti kita dan tak terus-menerus memelihara dendam.

Rie Kusuma