Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Fachry Fadillah
Sampul Buku "Gitahati di Santorini" karya Arthur S. Nalan (Dok. Pribadi/Fachry Fadillah)

Selain dapat menghibur, membaca karya sastra juga dapat menambah wawasan dan pengetahuan kita. Sebagai sebuah produk dari suatu budaya, karya sastra tentu tak dapat dipisahkan dari berbagai aspek dalam diri penulisnya, seperti halnya pengalaman, wawasan, pengetahuan, budaya, dan/atau realitas sosialnya.

Berbicara tentang karya sastra, pada kesempatan kali ini saya akan mengulas sebuah novel karya salah satu pengarang Indonesia yang memiliki sifat estetis (menghibur) serta keluasan pengetahuan dan wawasan di dalamnya, terutama dalam hal budaya. Penasaran dengan novel yang akan saya ulas? Silakan baca artikel ini sampai tuntas!

Novel yang akan saya ulas pada kesempatan kali ini ialah sebuah novel karya Arthur S. Nalan yang berjudul Gitahati di Santorini. Adapun novel ini pertama kali diterbitkan pada tahun 2019 oleh Penerbit Adika, yang berlokasi di Bandung. Pada novel ini, terdapat tiga belas bagian dengan beberapa sub-bagian yang terdapat dalam salah satu bagiannya, yaitu pada bagian kesembilan.

Sedangkan mengenai judul pada setiap bagian novel ini, penulis menggunakan judul dalam bahasa Indonesia yang diikuti oleh judul dalam bahasa Turki. Sementara itu, berdasarkan judul novel ini, Gitahati di Santorini berarti Nyanyian Hati di Santorini ("gita hati" berarti "nyanyian hati", sedangkan Santorini merupakan sebuah pulau bundar yang termasuk ke dalam wilayah Yunani).

Pada bagian pertama novel ini, yaitu Catatan Kenangan atau yang dalam bahasa Turki berarti Anilar Notu, narator cerita sekaligus tokoh utama dalam novel ini, Asmaradarma, menceritakan kenangannya ketika ia pergi ke Pulau Kreta di Yunani untuk menghadiri festival wayang dunia bersama koleganya yang bernama Wanda Ajenan. Adapun Asmaradarma merupakan seorang pengarang lakon sekaligus perupa wayang; sedangkan Wanda Ajenan merupakan seorang dalang yang dulunya merupakan mahasiswa Asmaradarma.

Pada saat sedang mendalang di sebuah pesta pernikahan, Wanda Ajenan diceritakan mendapat tawaran dari Pak Oyek, seorang duta besar di Athena yang juga pecinta wayang, untuk menghadiri festival wayang internasional di Pulau Kreta. Oleh karena itu, setelah mendapat tawaran tersebut, Wanda Ajenan segera menghubungi Asmaradarma yang merupakan koleganya sekaligus mantan dosennya untuk bersama-sama menyiapkan sebuah konsep pagelaran wayang, untuk dipertunjukkan pada festival wayang internasional nanti.

Singkat cerita, setelah Wanda berhasil melobi Pak Oyek untuk mengongkosi perjalanan mereka pulang-pergi antara Indonesia dan Yunani, mereka berangkat. Mereka berangkat secara terbatas, hanya empat orang, yaitu Asmaradarma, Wanda Ajenan, serta Bobong dan Jendi selaku komposer musik. Saat tiba di Athena, mereka disambut oleh keluarga Pak Oyek dengan hangat, lalu mereka melanjutkan perjalanan ke Pulau Kreta dengan didampingi oleh seorang penerjemah cantik bernama Alisca.

Di Pulau Kreta, mereka langsung menuju Heraklion, Ibukota Pulau Kreta, dan bertemu dengan ketua panitia festival wayang internasional bernama Zeno, seorang wanita paruh baya nan cantik yang tampaknya langsung memikat hati Asmaradarma. Setelah beberapa saat berbincang, mereka semua diajak oleh Zeno untuk makan siang di rumah seorang dalang wayang Karagoz ternama di Pulau Kreta, yang bernama Omet Muellif.

Menyaksikan sendiri betapa baik dan ramahnya Omet Muellif, Asmaradarma langsung yakin bahwa Omet Muellif akan menjadi sahabatnya; dan lebih daripada itu, diam-diam Asmaradarma yang merupakan seorang duda pun menaruh hati kepada Zeno, yang berusia sebaya dengannya. Akhirnya, setelah pertemuan yang hangat di Pulau Kreta itu, hubungan mereka pun berlanjut; Asmaradarma akhirnya menikahi Zeno dan Omet Muellif pun akhirnya menjadi sahabatnya hingga saat kematiannya.

Berdasarkan sinopsis di atas, sekilas kita dapat menyimpulkan bahwa novel Gitahati di Santorini ini merupakan novel populer, karena jalan ceritanya yang lebih mengutamakan hal-hal yang bersifat hiburan. Kendatipun demikian, novel ini tetap memiliki keutamaan, yaitu wawasan dan pengetahuan antarbudaya.

Beberapa kelebihan yang terdapat dalam novel ini, menurut saya, antara lain ialah tentu saja para tokohnya yang memiliki latarbelakang budaya berbeda. Seperti yang kita tahu, bahwasanya tokoh utama Asmaradarma berasal dari Indonesia; tokoh Zeno dari Yunani; dan tokoh Omet Muellif dari Turki. Dari latarbelakang para tokoh yang berbeda tersebut, tentu dalam novel ini kita dapat memetik berbagai wawasan dan pengetahuan dari masing-masing budaya yang dibawa oleh para tokoh tersebut.

Selain itu, kelebihan lain yang terdapat dalam novel ini, menurut saya, antara lain ialah alurnya yang sederhana. Pada novel ini, alur yang digunakan hanya alur mundur (sorot balik), sehingga pembaca tidak perlu pusing memikirkan jalan ceritanya. Namun demikian, menurut saya, masih terdapat kekurangan dalam novel ini, antara lain ialah gaya bahasanya yang belum cukup matang; alur ceritanya yang kurang kompleks; serta kekaguman berlebihan sang penulis terhadap budaya asing, sehingga novel ini terkesan seperti novel asing. Kendatipun demikian, menurut saya, novel ini tetap cocok untuk kalian baca, terutama bagi kalian yang menyukai novel-novel populer bertemakan cinta atau perjalanan lintas budaya.

Nah, itu tadi merupakan sedikit ulasan mengenai sebuah novel karya Arthur S. Nalan yang berjudul Gitahati di Santorini. Adapun ulasan ini merupakan ulasan saya pribadi, berdasarkan buku tersebut. Bagaimana menurut kalian? Apakah kalian tertarik untuk membaca buku tersebut?

Fachry Fadillah