Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Rie Kusuma
Cover novel Cerita Dante.[Dok. Pribadi/Rie Kusuma]

Cerita Dante merupakan novel terbitan tahun 2006 dari penerbit Grasindo. Novel karya dari Stefani Hid ini, pada masanya dahulu, termasuk novel yang ‘keluar jalur’. Di saat genre teenlit maupun chicklit tumbuh subur dengan tema-tema percintaan khas remaja, Stefani Hid memilih menulis cerita bertemakan anxiety disorder yang dialami para tokohnya.

Anxiety disorder adalah gangguan mental yang menyebabkan rasa cemas dan takut berlebihan yang sering ada bersamaan dengan depresi. Apabila tidak segera diatasi maka berpotensi memburuk seiring berjalannya waktu.

Adapun Cerita Dante memiliki kisah-kisah yang berdiri sendiri dari para tokohnya, yaitu: Mei Fung, Angkoso, Djasmin, dan Dante. Namun dalam perjalanannya, keempat tokoh tersebut akan saling bersinggungan.

Cerita diawali dengan kisah Mei Fung, seorang mantan penyanyi kafe yang mengidap gagal ginjal dan harus rutin menjalani cuci darah setiap minggu.

Mei Fung sendiri sudah merasa putus asa dengan hidupnya, yang hanya tinggal menunggu kematian karena tidak adanya donor ginjal yang cocok. Secara finansial, Mei Fung disokong oleh Chen-Chen, dokter yang merawatnya dan kemudian menjadi kekasihnya.

Kisah berikutnya dari Angkoso, lelaki 22 tahun yang selalu merasa tersiksa, gugup, cemas, dan beragam emosi lainnya, tiap kali ia harus berhadapan dengan orang banyak. Angkoso tidak tahu apa yang salah dengan dirinya. Ia hanya ingin pergi jauh dari orang-orang yang membuatnya tak berdaya.

Memori-memori bermunculan di kepalanya. Banyak di antaranya, kejadian yang tidak ia senangi. Lagi-lagi ia menyesali ketidakmampuannya menghadapi banyak orang. Ia merasa malu dan payah. Ia tahu, ia memang tidak suka menjadi pusat perhatian. Ia juga tidak suka berada dalam kerumunan orang. (Hal. 22)

Lalu ada Djasmin, perempuan cantik kaya raya berkat warisan dari sang ayah. Hidupnya hanya diisi dengan bersenang-senang, meskipun ia sendiri tak yakin bahwa memang itulah  yang ia inginkan.

Djasmin juga mengidap gangguan mental akibat trauma masa kecil yang membuatnya, tanpa ia sadari, menciptakan sosok bernama Lee. Sampai sebuah peristiwa penusukan yang dialami Djasmin membuka mata kepalanya tentang jati diri Lee sebenarnya.

Djasmin kembali sendiri. Otaknya secara otomatis mengulang kejadian aneh yang telah dialaminya. Djasmin bingung. Seingatnya pisau itu mengenai paha Lee, bukan pahanya. Mengapa semua begitu tak masuk akal? Djasmin tak paham. Ia tahu ia belum gila. Atau, mungkin memang sudah. Biasanya orang gila tak pernah menyebut dirinya gila. Orang gila tak pernah tahu ia gila. (Hal. 72)

Terakhir adalah Dante, sang tokoh pencerita dalam novel ini, yang akan menjelaskan segala kisah dan keterkaitan antara setiap tokohnya. Ia sendiri memiliki kisah yang menurut saya paling menarik, menyangkut kehilangan demi kehilangan yang ia alami sampai membawanya menjadi pecandu narkoba.

Saya tak menyarankan novel ini dibaca saat suasana hati sedang tidak baik-baik saja. Sebab, Cerita Dante, sarat akan nuansa muram dan gelap dari segala konflik kehidupan yang menimpa para tokohnya.

Ditambah lagi dengan alur cerita yang berlarat-larat di dua bab pertama yang full narasi, sempat membuat saya berkubang jenuh. Bisa dikatakan ini kekurangan dari novel Cerita Dante, tapi mungkin juga sengaja dibuat demikian oleh sang penulis, untuk memberikan efek tertekan dan depresi seperti yang saya rasakan.

Gangguan mental yang dialami para tokoh, dalam berbagai jenis dan level yang berbeda, mau tidak mau ikut mempengaruhi saya selaku pembaca. Saya turut merasakan ketakberdayaan mereka, rasa putus asa, depresi, dan ketakutan yang tak bisa lepas dari diri mereka.

Sebagai novel yang mengangkat tema anxiety disorder, Cerita Dante agaknya telah berhasil membuat saya ikutan ‘kena mental’ setelah membacanya.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Rie Kusuma