Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Rie Kusuma
Cover novel Orang Ketiga (Kendali Rasa) (Ipusnas)

Setelah sebelumnya membaca novel Rumah Kayu Itu, kali ini saya kembali menamatkan novel karya dari Marliana Kuswanti berjudul Orang Ketiga (Kendali Rasa), terbitan dari Elex Media Komputindo (2021).

Novel ini memang mengambil tema yang sangat umum, yaitu tentang cinta segitiga, dalam hal ini dari sudut pandang pelakor (perebut laki orang).

Namun dalam perjalanan kisahnya, pembaca tak akan disuguhi adegan-adegan perselingkuhan, tapi justru novel ini akan memaparkan apa yang melatarbelakangi seorang pelakor sampai tertarik pada lelaki yang sudah berkeluarga.

Kisah dimulai dengan tokoh perempuan bernama Surya Kelana atau Lana, seorang penulis terkenal, lajang, berusia 35 tahun. Lalu suatu ketika Lana jatuh cinta pada Hans, lelaki yang telah beristri, yang dijumpainya di sebuah acara bedah buku.

Dalam pergulatan batin Lana, tentang sebuah pertemuan dengan Hans yang tak bisa dihindarinya, Lana mengajak pembaca melihat kehidupannya dari masa ke masa, sampai tiba di titik ketika dia harus mengambil sebuah keputusan. 

Aku tahu ini keliru. Satu sisi aku juga sangat ingin mengendalikan diriku sendiri agar tak terhanyut lebih jauh dalam arus cinta terlarang. Namun di sisi lain, aku lebih tahu lagi bahwa aku belum pernah bisa mengalahkan dorongan liar dalam diriku sendiri untuk mencintai lelaki berumur milik perempuan lain yang memiliki rekam jejak kesetiaan yang baik. Makin ia setia, meski sebenarnya memiliki alasan untuk bertindak sebaliknya, makin aku akan tergila-gila. (Hal. 33)

Cerita lalu bergulir ke masa kecil Lana saat dia masih tinggal berdua saja bersama sang ayah yang berprofesi sebagai penarik becak. Lana tak pernah mengetahui keberadaan sang ibu. Cerita-cerita tentang ibunya hanya Lana peroleh dari gunjingan para tetangga dan teman-temannya.

Sang ayah selalu menekankan pada Lana agar terus bersekolah setinggi-tingginya. Bahkan ayahnya mengirim Lana bersekolah di kota saat duduk di bangku SMP, meskipun berarti beliau harus mengayuh becaknya berjam-jam setiap kali menemui Lana.

Lalu semua berubah saat ayah Lana kembali jatuh cinta dan meminang perempuan dari kampung sebelah. Lana harus rela berbagi kasih sayang sang ayah dengan ibu baru (yang tak pernah diakui Lana dan hanya disebut Lana dengan ‘Istri Bapak’) dan kedua adik tirinya.

Lana juga harus menerima kenyataan ketika ayahnya tak lagi berhasrat menyekolahkan Lana setinggi-tingginya. Apalagi dengan kehadiran dua anak lagi dalam rumah tangga sang ayah, membuatnya kesulitan untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Lana lalu berupaya mencari uang saku sendiri dengan menjadi guru les.

“Bapak tidak perlu lagi meletuskan betis untukku. Bapak kayuh saja becak itu untuk anak-anak Bapak yang lain. Biar aku jungkir balik sendirian. Aku tidak mau tidak melanjutkan sekolah. Aku ingin sekolah setinggi-tingginya.” (Hal. 152)

Menggunakan alur campuran, dengan flashback ke masa kecil tokoh di setiap pergantian bab, banyak sekali benturan mental yang dialami sang tokoh dan membentuk pribadi Lana saat dewasa.

Keterasingan Lana dalam keluarga baru sang ayah, kemandirian yang terpaksa harus dibangun sejak Lana kecil, masa lalu sang ibu, kehilangan kasih sayang dari orang tua satu-satunya, membuat saya selaku pembaca memahami mengapa Lana—dengan segala kecantikan dan kemapanannya—bisa terlibat cinta terlarang dengan suami orang.

Novel ini tentu saja sangat jauh dari maksud untuk pro terhadap pelakor. Sebaliknya, alur cerita yang disusun sedemikian rapi ini akan memberikan kejutan di akhir halaman untuk para pembacanya.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Rie Kusuma