Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Rofita Cahya
Dona Dona (Gramedia)

Dona Dona merupakan buku ketiga dari serial Funiculi Funicula karya Toshikazu Kawaguchi. Berbeda dengan buku-buku sebelumnya yang berlatarkan di salah satu kafe gang sempit Tokyo, cerita dari novel ini berlatar di kafe sebuah lereng indah Hakodate, Hokkaido.

Sama seperti kafe yang berada di Tokyo, cabangnya di Hakodate juga menawarkan layanan istimewa kepada pengunjungnya, yakni perjalanan melintasi waktu.

Peraturan-peraturannya pun tidak ada yang berbeda, seperti tidak boleh beranjak dari kursi yang ditentukan, orang yang ditemui harus yang pernah berkunjung ke kafe tersebut, tidak bisa mengubah apa yang terjadi di masa lalu, dan harus menghabiskan kopi sebelum airnya menjadi dingin.

Namun, peraturan-peraturan merepotkan itu tidak menyurutkan harapan mereka untuk memutar waktu.

Pada buku ini menceritakan tentang seorang perempuan yang menyimpan dendam pada kedua orang tuanya yang menjadikannya anak yatim piatu, seorang komedian yang berhasil mewujudkan impian istrinya, seorang adik yang datang ke masa depan untuk bertemu dengan kakaknya, dan seorang pemuda yang tak mampu mengungkapkan cinta terpendam kepada sahabatnya.

Ulasan

Buku ini menargetkan pembaca usia 15+.

Jika kalian mengikuti buku serial ini, pembaca langsung disuguhkan secara sekilas cerita tentang Kei Tokita, istri dari Nagare yang muncul di buku pertama. Saya yang masih mengingat tentangnya langsung merasa sedikit emosional.

Penulis menyuguhkan kisah Nagare yang langsung memberitahukan kepada istrinya bahwa anak mereka telah tumbuh menjadi remaja.

Berlatar lain dengan dua buku sebelumnya, memberikan nuansa yang sedikit berbeda dengan tokoh-tokoh baru yang muncul.

Hal menarik lainnya juga dimunculkan dari buku Seratus Pertanyaan: Bagaimana Jika Esok Kiamat? yang dibaca oleh Saki. Buku itu sering dibicarakan dan menjadi salah satu inti dari cerita kali ini. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul, pada akhirnya juga mampu membuat pembaca memikirkan apa yang ingin mereka jawab.

Ada beberapa gimik menarik dari buku ini. Terdapat halaman berwarna hitam yang digunakan untuk menggembarkan nuansa mati listrik saat salah satu pengunjung kafe menghampiri masa depan. Saya cukup terkesan bahwa hal ini bisa memainkan emosi dari penggalan kata yang tertulis di sana.

Walaupun memiliki kisah yang cukup berbeda dengan kafe Funiculi Funicula di Tokyo, ada hal yang cukup mengganggu dari novel ini. Peraturan-peraturan dan premis cerita sering disampaikan secara berulang, sehingga terkesan sedikit membosankan.

Tetapi, Dona Dona tetap menjadi salah satu bacaan yang menarik jika kalian masih ingin mengetahui banyak hal dari kafe yang bisa melintasi waktu ini.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Rofita Cahya