Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Tito Yoga Pradana
Buku Musim Panas Bersama Sleman (Twitter/esms_official)

Kerusuhan, korupsi, hingga mafia mungkin masih menjadi kesan yang muncul dalam benak kita ketika mendengar kalimat “sepak bola Indonesia”. Akan tetapi sepak bola Indonesia tak seburuk itu, masih ada hal positif yang dapat diambil dari sepak bola Indonesia.

Dalam hal literasi contohnya, belakangan ini, gerakan literasi sepak bola Indonesia kian menggeliat. Banyak gerakan baik individu maupun komunitas yang meluncurkan tulisan dalam bentuk zine hingga buku.

Salah satunya ialah Andrin Brändle, seorang jurnalis olahraga untuk televisi pemerintah Swiss (SRF). Melalui bukunya yang berjudul Musim Panas Bersama Sleman, ia menuliskan ketertarikannya kepada kultur sepak bola Indonesia.

Buku setebal 142 halaman ini menyuguhkan sebelas bab yang berisikan kisah-kisah menarik yang dialami Andrin ketika datang ke Indonesia dan mengikuti pertandingan demi pertandingan PSS Sleman, baik pertandingan kandang maupun tandang.

Andrin mencoba menuliskan beragam topik di buku ini. Mulai dari pengalaman pribadi, sejarah, hingga keluh kesah suporter terhadap tim favoritnya. Andrin memperlihatkan banyak hal menarik dalam sepakbola yang tidak dapat terlihat di layar kaca.

Walaupun buku ini mengangkat sepak bola sebagai tema utama, tetapi kalian tidak akan menemukan statistik ataupun analisis pertandingan ketika membaca buku ini. Dalam bab pertama yang diberi judul Keraguan, Andrin menjelaskan perasaannya ketika pertama kali menginjakkan kaki di Indonesia.

Di bab-bab selanjutnya, Andrin mulai berfokus kepada cerita mengenai pengalamannya ketika menonton pertandingan PSS secara langsung. Kemanapun PSS berlaga, Andrin selalu datang, pertandingan luar kota bahkan luar pulau juga ia datangi. Setelah berpetualang ke beberapa kota di Indonesia dengan berbagai peristiwa yang terjadi, Ia menggambarkan persepsi Eropa terhadap penggemar sepak bola Indonesia.

Jika saya diizinkan memilih dari sebelas bab yang ada, bab terfavorit saya adalah bab ke sepuluh, yang membahas perjuangan panjang para suporter untuk mempertahankan PSS Sleman. Saya menyukai bab tersebut karena ketika membacanya, terasa sangat relevan dengan apa yang terjadi kepada sepak bola Sleman saat itu.

Dimulai dengan perombakan di tubuh manajemen PSS, dan didepaknya Seto Nurdiyantoro dari kursi pelatih PSS Sleman yang justru menimbulkan permasalahan baru sepak bola Sleman. Brigata Curva Sud (BCS), sebutan bagi kelompok pendukung PSS menginginkan agar delapan tuntutan  segera direalisasikan.

Delapan tuntutan tersebut di antaranya program pembinaan usia dini, pembangunan mes pemain, pembangunan lapangan latihan, pengembangan pemasaran dan bisnis, penghapusan rangkap jabatan, pemanfaatan media ofisial PSS, panpel yang profesional, dan SOP yang jelas dalam tubuh perusahaan.

Tidak berhenti di situ, permasalahan diperparah dengan performa PSS yang tak kunjung membaik dan terancam degradasi ke Liga 2. Selain itu, ancaman pemindahan homebase PSS oleh manajemen membuat seluruh elemen suporter PSS geram dan melakukan berbagai aksi penolakan.

Kemudian bab terakhir yang cukup membuat miris ketika membacanya adalah Kanjuruhan Disaster. Insiden dalam dunia sepak bola Indonesia di Stadion Kanjuruhan meninggalkan duka yang mendalam bagi berbagai pihak. Lebih dari 130 orang tewas di dalam stadion setelah polisi menembakkan gas air mata ke arah tribun. Menjadi tragedi sepak bola nomor dua di dunia yang paling banyak memakan korban.

“Seratus lebih nyawa hilang. Bukan karena bencana alam. Bukan karena kecelakaan. Namun karena pembantaian," tulis Andrin dalam bab ini.

Buku ini bukan hanya uraian cerita Andrin ketika menonton pertandingan, tetapi juga menguraikan bahwa sepak bola bukan hanya sekadar pertandingan di lapangan, sepak bola lebih dari itu. Andrin mampu menggambarkan laga dan suasana di stadion dengan lengkap dan detail.

Sajian visual berupa foto-foto dokumentasi, ilustrasi, dan karya visual yang terdapat dalam buku sangat membantu pembaca dalam memahami isi buku. Hanya saja ada beberapa bagian teks yang terlihat samar karena pemilihan warna yang menyaru dengan background.

Rahardi (2010:7) mengatakan bahwa, “Ciri bahasa jurnalistik adalah komunikatif, spesifik, hemat kata, jelas makna, dan tidak mubazir atau tidak klise”. Ciri tersebut sesuai dengan tulisan yang ada di buku ini, Andrin mampu merangkum kisah perjalanan PSS Sleman selama lebih dari satu musim berjalannya liga dengan baik hanya dalam sebelas bab.

Seperti yang ditulis olehnya, Andrin menunjukkan rasa kagum terhadap Indonesia. Rasa kagum yang kemudian melatarbelakanginya untuk membuat seluruh tulisan dalam buku ini.

Identitas Buku

Judul buku: Musim Panas Bersama Sleman (Ein Sommer mit Sleman)

Penulis: Andrin Brändle

Penerbit: Dibataspagar

Penerjemah: Dibataspagar

Tahun terbit: 2023

Tebal: 142 halaman

Tito Yoga Pradana

Baca Juga