Budayawan Indonesia ini bernama Sujiwo Tejo. Nama aslinya Agus Hadi Sudjiwo, lahir di Jember, Jawa Timur, pada 31 Agustus 1962. Ia lulusan ITB. Selama 8 tahun pernah menjadi wartawan di harian Kompas, lalu berubah arah menjadi seorang penulis, pelukis, pemusik dan dalang wayang.
Buku berjudul Dongeng Mbah Jiwo ini merupakan salah satu karyanya. Fabel yang ditulis Sujiwo Tejo di dalam buku ini nyaris serupa dengan fabel karya George Orwell dalam Animal Farm.
Meski terbilang menarik, menurut saya membaca buku dongeng ini butuh waktu untuk mencerna. Berbeda dengan dongeng-dongeng binatang lain yang mengangkat tema-tema biasa keseharian. Dalam dongeng ini, sangat erat kaitannya dengan isu-isu terkini yang berkembang di Indonesia.
Oleh karenanya, jika pembaca kurang mengikuti perkembangan isu politik, budaya dan peristiwa terbaru di negeri ini, agak sulit untuk larut dalam alur ceritanya.
Dongeng para binatang dalam buku ini dikemas dengan kalimat-kalimat satir. Salah satunya mengusung topik dana pengelolaan sampah, rektor asing, pribumi-nonpribumi, dan BPJS.
Disebutkan, Sastro-Jendro adalah pasangan Raja dan Ratu Singa. Mereka turut sedih mendengar kebakaran hutan di Riau. Selain ikut sedih, mereka juga ikut kaget mendengar Bu Risma kaget. Semasih menjadi Wali Kota Surabaya, Bu Risma cuma menghabiskan Rp30 miliar untuk pengelolaan sampah, sementara dana pengelolaan sampah di Jakarta sampai Rp3,7 triliun.
Ketika menyinggung terkait rektor asing, Sujiwo Tejo mengemukakan jika di kampus para binatang, rektornya asli bangsa mereka sendiri. Misalnya, di kampus jerapah, rektornya ya yang berleher amat panjang. Di kampus ular, rektornya adalah binatang yang seluruh tubuhnya leher semua. Di kampus bekicot, rektornya tak berleher jenjang dan selalu menggotong rumahnya ke mana-mana. Demikian pula dengan mahasiswanya.
Soal pribumi dan nonpribumi juga tak luput dari sorotan Sujiwo Tejo. Ia kisahkan, suatu ketika Raja Singa Sastro sibuk menyisir mana rusa pribumi dan rusa nonpribumi. Karena telah sampai kabar desas-desus kepadanya bahwa sepasang rusa nonpribumi cowok-cewek telah menyusup di Rimba Raya. Akhirnya, kancil menyatakan, sejarah punya bukti bahwa secara menyeluruh tak ada pribumi di muka bumi. Semua makhluk sejatinya pendatang. Cuma, ada yang datangnya kepagian, ada pula yang kesiangan.
Dengan lucu dan menggelitik, Sujiwo Tejo mengupas pula wacana kenaikan iuran BPJS. Ia pun mengangkatnya dalam dongeng para binatang ini.
BPJS juga dikenal di dunia perhewanan. Kancil sebagai menteri informasi kerap menyaksikannya. BPJS mereka bersifat pertolongan langsung. Tanpa pihak ketiga. Demikianlah zebra menolong sesamanya yang sekarat gegara terkaman singa.
Kancil mewacanakan iuran BPJS mau dinaikkan dua kali lipat. Hewan-hewan protes. Adapun maksud kenaikan lipat dua, sesiapa yang pernah ditolong sekali, kelak harus menolang sesamanya dua kali.
Kecoak berpendapat, kenaikan iuran BPJS sebaiknya diterima saja tanpa syarat, seperti penyerahan Jepang kepada sekutu. Namun, akhirnya sosialisasi kenaikan iuran BPJS tidak dilanjutkan, karena kancil prihatin sembari meneteskan air mata saat kucing rumahan yang telah menyulap diri sebagai kucing liar di alam rimba itu curhat kesedihan di hadapan kancil.
"Maaf, Pak Kancil, saya gagal fokus," rintih kucing sambil diselang-selingi suara meong. "Saya lagi fokus pada merananya diri sendiri. Sedih sekali saya sekarang. Dulu saya bangga sebagai kucing rumahan yang dikebiri. Kesannya eksklusif, gitu lho. Tapi, sekarang manusia pemerkosa kabarnya juga ikut-ikutan dikebiri. Jadi, apa eksklusifnya saya, dong? Malahan teman-teman sespesies menyangka saya ini napi pemerkosaan. Duh!"
Pendek kata, buku bertajuk Dongeng Mbah Jiwo ini merupakan sebuah dongeng sosok kakek kepada cucunya mengenai alam rimba Indonesia yang begitu luas. Namun, tak sembarang cucu dapat larut dalam dongeng kakek. Dibutuhkan cucu peka, cerdas, dan melek informasi agar mudah terkoneksi dengan isi dongengnya.
Selamat membaca!
Identitas Buku
Judul: Dongeng Mbah Jiwo (Seni Membual Para Binatang)
Penulis: Sujiwo Tejo
Penerbit: DIVA Press
Cetakan: I, 2021
Tebal: 238 halaman
ISBN: 978-623-293-545-7
BACA BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE
Tag
Baca Juga
-
Berani Menceritakan Kembali Hasil Bacaan dalam Buku Festival Buku Favorit
-
Kisah Haru Para Pendidik Demi Mencerdaskan Generasi Bangsa dalam Guru Cinta
-
Nissa Sabyan dan Ayus Resmi Menikah Sejak Juli 2024, Mahar Emas 3 Gram dan Uang 200 Ribu
-
Ulasan Buku Ikan Selais dan Kuah Batu: Kisah Persahabatan Manusia dan Ikan
-
Akibat Tidak Mau Mendengarkan Nasihat dalam Buku Rumah Tua di dalam Hutan
Artikel Terkait
-
Ulasan Buku 'Seni Berbicara Kepada Siapa Saja, Kapan Saja, di Mana Saja', Bagikan Tips Jago Berkomunikasi
-
Polemik Bansos dan Kepentingan Politik: Ketika Bantuan Jadi Alat Kampanye
-
Mama yang Berubah Jadi Peri di Mummy Fairy and Me 4: Keajaiban Putri Duyung
-
Ulasan Novel Hotel Royal Costanza: Kisah Seorang Jurnalis yang Disandera
-
Ulasan Buku Al Ghazali karya Shohibul:Jejak Spiritual Sang Hujjatul Islam
Ulasan
-
Ulasan Buku 'Seni Berbicara Kepada Siapa Saja, Kapan Saja, di Mana Saja', Bagikan Tips Jago Berkomunikasi
-
Mama yang Berubah Jadi Peri di Mummy Fairy and Me 4: Keajaiban Putri Duyung
-
Jambi Paradise, Destinasi Wisata Pilihan Keluarga
-
Melancong ke Jembatan Terindah di Jambi, Gentala Arasy
-
Review Film Role Play, Menjelajahi Dunia Karakter dan Narasi
Terkini
-
Makna Perjuangan yang Tak Kenal Lelah di Lagu Baru Jin BTS 'Running Wild', Sudah Dengarkan?
-
Puncak FFI 2024: Jatuh Cinta Seperti di Film-Film Sapu Bersih 7 Piala Citra
-
Polemik Bansos dan Kepentingan Politik: Ketika Bantuan Jadi Alat Kampanye
-
Ditanya soal Peluang Bela Timnas Indonesia, Ini Kata Miliano Jonathans
-
3 Rekomendasi Oil Serum Lokal Ampuh Meredakan Jerawat, Tertarik Mencoba?