'Funiculi Funicula' karya Toshikazu Kawaguchi adalah novel yang memikat pembaca dengan premis sederhana namun logis. Sebuah kafe yang menawarkan kesempatan untuk kembali ke masa lalu. Namun, ada satu syarat yang harus dipenuhi. Sekalipun kita dapat melakukan perjalanan kembali ke masa lalu, kita tidak dapat mengubah kenyataan yang ada saat ini.
Sebuah cerita tentang hubungan, penyesalan, dan kesempatan untuk merefleksikan kehidupan seseorang, berlatar di sebuah kafe misterius di bagian terpencil Tokyo. Kawaguchi dengan ahli menggunakan elemen fantastik seperti perjalanan waktu untuk mengeksplorasi perasaan dan emosi yang sangat manusiawi.
Setiap karakter yang duduk di kursi ajaib kafe memiliki penyesalan yang ingin mereka perbaiki dan momen yang ingin mereka ulangi. Dari seorang wanita yang ingin bertemu kembali dengan kekasihnya yang hilang hingga seorang ibu yang berharap dapat berbicara dengan anaknya yang belum lahir sekali lagi, kisah-kisah ini menunjukkan betapa orang-orang merindukan kesempatan kedua.
Namun, bagi Kawaguchi, konsep perjalanan waktu bukanlah tentang mengubah masa lalu. Sebaliknya, hal ini mengajarkan bahwa perjalanan waktu bukanlah tentang mengubah kenyataan, namun tentang memahami dan menerima masa lalu dengan cara yang berbeda. Novel ini mengingatkan pembaca bahwa hidup kita penuh dengan pilihan, dan terkadang yang terpenting adalah bagaimana kita menerima dan mendamaikan pilihan tersebut.
Refleksi dan penerimaan diri adalah pesan mendalam yang beresonansi dengan pembaca. Salah satu kekuatan utama novel ini adalah karakternya yang realistis dan emosional. Setiap karakter yang mengunjungi kafe tersebut memiliki kisah unik dan mengharukan. Meskipun mereka semua berada dalam situasi yang berbeda, mereka memiliki satu tema utama yang sama: penyesalan dan harapan.
Kawaguchi dengan halus menggambarkan kompleksitas emosinya, membuat pembaca merasakan hubungan emosional yang kuat dengan setiap cerita yang diceritakan. Di ‘Funiculi Funicula’, waktu bukan sekedar alat untuk melakukan perubahan, namun cermin untuk merefleksikan diri sendiri. Ini memberi pembaca kesempatan untuk merenungkan kehidupan mereka. Apa yang akan Anda lakukan jika Anda mempunyai kesempatan serupa? Bagaimana Anda mengingat kembali momen-momen masa lalu? Novel ini sarat dengan filosofi mendalam tentang makna hidup, hubungan, dan penerimaan diri.
Baca Juga
-
Ulasan Novel Pasta Kacang Merah: Narasi tentang Diterima dan Memaafkan
-
Tragedi Pedang Keadilan: Sebuah Pembelajaran tentang Luka dan Pengampunan
-
Narasi Kehidupan yang Mengajarkan Empati: Sisi Tergelap Surga
-
Perjalanan Menerima Diri dan Luka di Masa Lalu: Ulasan Buku Alvi Syahrin
-
Malice: Ketika Kejahatan Tak Sekadar Soal Siapa Pelakunya
Artikel Terkait
-
Islam dan Evolusi: Telaah Filosofis dan Teologis Menurut Shoaib Ahmed Malik
-
3 Pesan Moral yang Didapat dari Novel "Duduk Dulu" Karya Syahid Muhammad
-
Ulasan Buku Leader for Life, Setiap Orang Bisa Menjadi Pemimpin
-
Ulasan Buku My Bossy Boss, Kelakuan Para Bos yang Bikin Keki
-
Bikin Baper! Ulasan Buku 'Kepada Kamu yang Tidak Pernah Jadi Satu-satunya'
Ulasan
-
Membaca Drama 'Genie, Make a Wish' Lewat Lensa Pengasuhan Kolektif
-
Review Film Ballad of a Small Player: Visual Ciamik tapi Kesan Akhir Kosong
-
The Principles Of Power: Rahasia Memanipulasi Orang Lain di Segala Situasi
-
Review Film Dongji Rescue: Kisah Heroisme Lautan yang Menggetarkan
-
Les Temptes de la Vie: Ketika Musik, Paris, dan Badai Hidup Menyatu
Terkini
-
Jisoo dan Zayn Jatuh Cinta Tanpa Memandang Masa Lalu di Lagu Eyes Closed
-
Daemons of the Shadow Realm, Anime Baru dari Kreator Fullmetal Alchemist
-
Dear Patrick Kluivert, Tolong Jangan Gengsi Tiru Pakem Shin Tae-yong
-
Emma Watson Akui Rindu Akting, tapi Tak Suka Lakukan Satu Hal Ini
-
Netflix Keluarin 11 Film Indonesia Baru: dari yang Sensual Sampai yang Bikin Merinding