Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Akramunnisa Amir
Sampul Buku Dua Belas Pasang Mata (Goodreads)

Menjadi seorang guru adalah sebuah pekerjaan yang tidak hanya butuh pengetahuan dan kompetensi yang mumpuni, tapi juga dedikasi, pengabdian, dan ketulusan dalam mengajar. Hal itulah yang telah dibuktikan oleh Hisako Oishi dalam novel 'Dua Belas Pasang Mata' karya Sakai Tsuboi.

Dalam novel ini, dikisahkan bahwa Oishi adalah seorang guru muda yang harus mengajar di sebuah pedalaman desa nelayan.

Awalnya, ia harus bekerja keras dalam menghadapi tingkah anak-anak desa yang sulit diatur. Khususnya dua belas anak yang terdiri atas Kotsuru, Masuno, Kotoe, Matchan, Fujiko, Miisan, Sanae, Nita, Sonki, Tanko, Takeichi, dan Kitchin.

Selain sulit diatur, mereka juga suka iseng dan menjahili guru-gurunya. Tak jarang para guru yang ditugaskan mengajar di sekolah cabang yang ada di desa tersebut dibuat tak betah saat mengajar.

Namun berbeda dengan Bu Guru Oishi. Pembawaan Bu Guru Oishi yang selalu ceria, menikmati perannya sebagai guru, serta kasih sayang yang tulus membuat kedua belas anak tersebut perlahan luluh. Mereka bahkan sangat merasa kehilangan saat Oishi harus berhenti mengajar.

Dari segi latar dan penokohan, saya jadi teringat novel Totto Chan dan Laskar Pelangi. Ide tentang dunia anak, pendidikan, dan konflik sosialnya agak mirip dengan kedua novel tersebut.

Jika menyoal tentang isu kemiskinan yang ada di desa, apa yang dideskripsikan dalam latar novel Laskar Pelangi membantu saya untuk memvisualisasikan kondisi anak-anak dan masyarakat yang ada dalam novel Dua Belas Pasang Mata ini.

Begitu pun dengan kepolosan anak-anak dan cerita tentang pengabdian seorang guru dalam novel ini mirip dengan apa yang digambarkan dalam novel Totto chan.

Tapi tentu saja, Dua Belas Pasang Mata yang pertama kali terbit pada tahun 1952 ini telah lebih dahulu hadir jauh sebelum terbitnya novel Laskar Pelangi maupun Totto Chan. Sehingga secara keseluruhan, cerita yang diangkat dalam novel ini tetap orisinil.

Bahkan apa yang dituangkan oleh Sakai Tsuboi dalam novel ini jauh lebih kompleks dibanding sekedar isu pendidikan biasa.

Latar perang dunia kedua dan bagaimana anak-anak tersebut menghadapi beratnya masa depan yang menanti mereka adalah salah satu bagian yang cukup memilukan.

Terlebih saat menyelami sudut pandang Oishi yang sebenarnya sangat mengecam terjadinya peperangan dan besarnya harga yang harus dibayar demi memenangkan perang tersebut. Oishi kehilangan banyak anggota keluarga, dan anak-anak malang tersebut kehilangan masa depannya.

Terkait protes Oishi terhadap peperangan, berikut ini salah satu dialog yang cukup ikonik yang diucapkan Oishi kepada Nita sebelum mantan muridnya tersebut berangkat untuk wajib militer:

"Jaga diri kalian baik-baik. Jangan 'mati terhormat', tapi pulanglah dengan selamat"
(hal 189)

Secara umum, novel ini sukses mengangkat isu seputar dunia pendidikan dan perjuangan seorang guru dalam mendidik dengan latar perang dunia kedua yang epik. Selain menyajikan kisah yang mampu menghangatkan hati, novel karya Sakai Tsuboi ini juga berisi banyak pesan moral yang layak untuk direnungkan!

Akramunnisa Amir