Bisakah cinta dan materialisme bersanding mesra? Pertanyaan ini mengemuka sepanjang pembacaan Breakfast at Tiffany’s, novel klasik karya Truman Capote, yang diterjemah dan diterbitkan oleh Penerbit Serambi, pada Januari 2015, dengan ketebalan 170 halaman.
Ceritanya sendiri mengangkat kehidupan Holly Golightly, seorang wanita muda nan cantik, karismatik, misterius, dan menjadi gadis pesta di kalangan kelas atas New York City era 1940-an. Capote secara brilian mengetengahkan kompleksitas karakter utamanya melalui sudut pandang narrator ‘aku’, pria muda tetangga satu apartemen, yang diam-diam mengagumi sosok Holly.
Holly mewakili dualitas antara cinta dan materialisme. Di satu sisi, ia mencari cinta dan hubungan yang mendalam, tetapi di sisi lain, ia juga terpesona oleh kehidupan mewah dan status sosial yang tinggi. Holly sering mengunjungi Tiffany's, toko perhiasan terkenal di New York, bukan hanya karena barang-barang mahalnya, tetapi juga karena mencari rasa aman dan ketenangan yang ditawarkan.
Ia ingin menemukan jati dirinya dan kebebasan, tapi sering kali terjebak dalam dunia di mana materialisme menjadi alat untuk mencapai impiannya. Hubungannya dengan sejumlah pria kaya menunjukkan bagaimana ia berusaha menggunakan materialisme sebagai sarana untuk mencapai stabilitas. Meskipun demikian Holly tetap merindukan cinta yang tulus.
Tokoh ‘aku’ yang dipanggil Fred oleh Holly, merujuk pada kemiripan ‘aku’ dengan abang Holly, merasakan ketertarikan dan cinta terhadap Holly. Awal interaksi mereka dimulai dari permintaan Holly untuk membukakan pintu apartemennya. Dari situ ‘aku’ mulai mengamati gaya hidup Holly, kemudian mereka menjadi akrab.
Sebetulnya ‘aku’ menyadari perbedaan cara pandang antara dirinya dan Holly, dan itu sempat beberapa kali membuat hubungan ‘pertemanan’ mereka menjadi tegang. Contoh ketika di permulaan perkenalan, Holly melontarkan keinginannya mendengar isi tulisan ‘aku’. Lalu si ‘aku’ menurutinya, tetapi reaksi Holly membuatnya marah.
“Namun, aku sedang tidak berminat untuk lebih mempermalukan diriku dan memperparah kesalahanku lantaran telah membaca cerita itu dengan menjelaskan isinya kepadanya. Kesombongan yang sama yang membuatku mau membaca untuknya, sekarang memaksaku untuk melabelinya sebagai gadis bodoh yang sok tahu dan kurang peka.” (Hlm. 28).
Tokoh ‘aku’ tidak terobsesi dengan kekayaan seperti Holly, ia tertarik pada pesona dan misteri Holly. Interaksi mereka mencerminkan ketegangan antara keinginan untuk memiliki hubungan yang bermakna, dan godaan materialisme yang memisahkan mereka. Ia sendiri berusaha mengingatkan Holly untuk lebih memilih cinta sebagai landasan hubungan yang sehat.
“Gagasan mempertemukan Miss Golightly dengan suaminya menjanjikan kepuasan tersendiri bagiku. Dan saat melirik jendela-jendelanya yang terang benderang, aku berharap teman-temannya ada di sana, karena membayangkan pria Texas itu berjabat tangan dengan Mag, Rusty, dan Jose lebih memuaskanku.” (Hlm. 99).
Namun sayang, Holly menampiknya dan lebih mengejar prospek menjadi istri pria kaya di luar negeri. Hingga akhirnya sebuah peristiwa mengubah rencana Holly, dan memaksanya pergi berkelana, meninggalkan tokoh ‘aku’ serta kehidupan lamanya di kota itu.
Novel klasik ini dapat dibaca sebagai kritik terhadap masyarakat yang mengukur nilai seseorang berdasarkan kekayaan dan penampilan. Truman Capote menggunakan karakter Holly untuk menunjukkan betapa sering orang mencari kebahagiaan dan cinta sejati di tempat yang salah, berpikir bahwa materialisme akan memberi mereka kepuasan yang mereka cari. Konflik ini mencerminkan dilema yang dihadapi banyak orang dalam keseharian mereka.
Jadi, apakah cinta dan materialism dapat bersanding harmonis? Kamu harus membacanya sendiri, Sobat Yoursay untuk memperoleh jawabannya. Selamat membaca!
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Hakikat Kebebasan, Novelet Kenang-kenangan Mengejutkan Si Beruang Kutub
-
Duka di Balik Komedi, Ulasan Novel Capslok: Capster Anjlok
-
Mommy Issues di Drama Korea Family by Choice: Hwang In Yeop dan Bae Hyun Sung Berebut Kasih Sayang?
-
Harapan dari Pedagang Mikro kepada Bapak Presiden Prabowo Subianto
-
Stop Kekerasan Seksual pada Anak, Pahamkan Pendidikan Seksual sejak Dini
Artikel Terkait
-
Ilustrasi Manis dan Pesan Hidup Mendalam di Novel The Journey of Kachu & Moli
-
Novel Warung Bujang, Kolaborasi 12 Cucu dalam Misi 60 Hari Toko Kelontong
-
Novel Warung Bujang: Ketika 12 Cucu Bekerjasama Menjalankan Warung Sembako
-
Ulasan Novel Broken Vessel, Simbol Kapal Retak dalam Masalah Rumah Tangga
-
Ulasan Novel 7 Prajurit Bapak: Ketika Tujuh Mimpi Dalam Satu Harapan
Ulasan
-
Ulasan Novel Merdeka Sejak Hati: Menggali Makna Kebebasan di Setiap Lembar
-
Ulasan Novel Laut Bercerita: Memahami Trauma Sejarah yang Tak Terungkap
-
Buku The Secret Live of Introverts: Menyelami Dunia Introvert Lebih Dalam
-
Potret Ibu dan Mertua Toksik dalam Keluarga di Novel 'Silsilah Duka'
-
Ulasan Buku Ganbatte!: Seni untuk Tetap Bergerak Maju Ala Jepang
Terkini
-
Tekuk Persik Kediri 2-0, Persija Jakarta Kembali ke Jalur Kemenangan
-
3 Sheet Mask Berbahan Buah Blueberry, Ampuh Perkuat Kesehatan Skin Barrier
-
Asnawi Dipanggil ke Timnas, Pelatih Port FC Justru Singgung Shin Tae-yong
-
Sinopsis Cinderella Game, Drama Korea Terbaru Han Groo dan Choi Min
-
Selain Vietnam, Diam-diam Kamboja Juga Incar Piala AFF 2024, Ini Buktinya!