Atheis merupakan novel yang ditulis oleh Achdiat K. Mihardja pada tahun 1949. Novel ini menjadi salah satu karya sastra klasik Indonesia terbaik karena di dalamnya menyuguhkan kisah tentang pencarian jati diri, pergolakan batin tokoh, dan sebuah cerminan keadaan sosial di masa transisi kebudayaan.
Novel ini menceritakan tentang seorang pemuda bernama Hasan yang besar di keluarga religius. Sewaktu masih tinggal di desa, Hasan telah menjalin hubungan dengan wanita bernama Rukmini. Sayangnya, hubungan mereka ditentang oleh keluarga.
Setelah itu, Hasan pergi merantau ke Bandung dan bekerja sebagai pegawai di sebuah kantor. Suatu hari, Hasan bertemu dengan kawan lama bernama Rusli yang baru saja pindah ke kota tersebut. Saat itu, Rusli datang bersama wanita bernama Kartini.
Hasan dan Rusli lantas berencana untuk temu kangen di rumah Rusli dan di sana ia diperkenalkan dengan Kartini. Begitu hari pertemuan, Hasan cukup tercengang mendapati Rusli dan Kartini adalah seorang ateis.
Sebagai orang yang besar di lingkungan islami dan sangat taat beribadah, Hasan akhirnya memiliki cita-cita untuk mengislamkan Rusli dan Kartini yang dianggapnya kafir.
Namun, tidak sangka-sangka bahwa pada akhirnya Rusli justru mengungkapkan pendapatnya tentang agama dan menganggap Tuhan hanyalah sosok buatan manusia yang pesimis terhadap hidupnya. Kepiawaian Rusli dalam mengemukakan pikiran membuat Hasan tidak bisa membantah.
Setelah mendengar penuturan Rusli, pada awalnya Hasan justu makin menggiatkan ibadahnya. Namun, seiring berjalannya waktu, Hasan mulai sering mengikuti perkumpulan diskusi Rusli dan teman-temannya sehingga pendiriannya mulai goyah dan terpengaruh ajaran ateis.
Di perkumpulan tersebut, Hasan bertemu pria bernama Anwar. Ia adalah orang yang berpikiran bebas dan tidak takut mengekspresikan diri. Suatu hari Hasan pulang ke kampung bersama Anwar.
Di sana Hasan mengalami gejolak batin karena harus tetap beribadah untuk menenangkan hati orang tua. Tindakannya justru dicibir Anwar karena Hasan dianggap sebagai orang yang berpura-pura. Konflik pun mencuat tatkala Hasan dengan berani mengakui kalau dirinya ateis di depan keluarga.
Meskipun ada perasaan mengganjal di hatinya, Hasan akhirnya tetap kembali ke Bandung. Ia pun terus melanjutkan hidup sebagai orang ateis dan tidak lagi mengenal Tuhan. Lantas, Hasan yang memang menyukai Kartini sejak pertama bertemu pun memberanikan diri untuk melamar pujaan hatinya itu.
Setelah menikah, Hasan justru menjadi orang yang berbeda. Ia sering manaruh curiga kepada Kartini dan berani melakukan kekerasan padanya.
Berbagai persoalan hidup membuat Hasan akhirnya merindukan masa-masa saat ia masih rajin beribadah. Ia merasa saat itu hati dan pikirannya lebih tenang.
Lambat laun, Hasan pun terkena penyakit TBC dan nasibnya berakhir tragis karena tertembak peluru serdadu Jepang.
Novel Atheis cukup berani mengangkat tema tentang agama dan ateisme padahal keduanya adalah kepercayaan yang saling bertolak belakang. Penulis seperti ingin menggambarkan potret transisi kebudayaan karena saat itu situasi sosial mulai mengalami perubahan ke arah yang lebih modern sehingga paham-paham lain pun mulai ikut berkembang.
Di samping itu, penulis sangat ahli mendeskripsikan paham agama dan ateis dengan komposisinya yang pas. Begitu pula dengan deskripsi tingkah tokoh yang religius dan tokoh yang liberal pun digambarkan dengan detail sehingga dapat terbayang bagaimana kehidupan tokoh sehari-harinya.
Menengok tokoh Hasan, tampaknya tabiat kebingungan memang dapat dirasakan oleh semua orang. Terlebih bagi orang-orang yang dalam fase pencarian jati diri. Di sisi lain, Hasan menggambarkan sifat manusia yang tidak memiliki pendirian kuat sehingga mudah terpengaruh dan terombang-ambing.
Meskipun novel ini terbilang sudah sangat lama, diksi yang digunakan dalam penulisannya masih mudah dipahami. Oleh sebab itu, pembaca akan tenggelam dengan cerita dan turut merasakan gejolak batiniah yang dialami tiap tokoh.
Identitas buku
Judul: Atheis
Penulis: Achdiat K. Mihardja
Penerbit: Balai Pustaka
Cetakan pertama: 1949
Tebal buku: 232 halaman
Baca Juga
-
Saat Layanan Ojek Online Menjadi Jembatan Solidaritas Lintas Negara
-
Potret Budaya Palestina di Buku Homeland: My Father Dreams of Palestine
-
Ulasan Novel Aksara Sevanya: Drama Hidup Remaja dan Gejolak Cinta Segitiga
-
Ulasan Novel Wesel Pos: Sudut Pandang Unik tentang Hidup Masyarakat Urban
-
Potret Sosial di Balik Kisah Cinta Beda Ormas dalam Novel Kambing dan Hujan
Artikel Terkait
-
Gambaran Keseruan saat Belajar dari Buku 'Lettie: Hari Pertama di Sekolah'
-
Bukti Shin Tae-yong Tak Tahu Bakal Dipecat PSSI, Ungkap Mimpi yang Akhirnya Gagal Terwujud
-
Ulasan Buku Profit First: Revolusi Sistem Keuangan Bisnis yang Praktis
-
Review Buku How to Kill Men and Get Away With It, Menumpas Pelaku Kejahatan
Ulasan
-
Review Film Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah: Drama Keluarga yang Bikin Hati Mewek
-
Ulasan Novel Tanah Para Bandit: Ketika Hukum Tak Lagi Memihak Kebenaran
-
5 Drama Korea Psikologis Thriller Tayang di Netflix, Terbaru Queen Mantis
-
Review Film Menjelang Magrib 2, Nggak Ada Alasan Buat Dilanjutkan!
-
Kala Film The Conjuring: Last Rites, Mengemas Lebih Dalam Arti Kehilangan
Terkini
-
4 Padu Padan OOTD Chic ala Yunjin LE SSERAFIM, Stylish Buat Segala Suasana!
-
Kesejahteraan Guru Terancam? Menag Bilang 'Cari Uang, Jangan Jadi Guru!'
-
4 Rekomendasi Serum Vitamin C Terjangkau untuk Pelajar dengan Kulit Cerah
-
Band-Aid oleh KickFlip: Hadapi Sakitnya Patah Hati dan Merindukan Seseorang
-
Rieke Diah Pitaloka Bela Uya Kuya dan Eko Patrio: 'Konyol Sih, tapi Mereka Tulus!'