Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Yayang Nanda Budiman
Pasar Cihapit Bandung (Dok. Pribadi)

Kembali ke kota selalu punya rasa yang berbeda. Seperti sebuah pertemuan yang sudah lama ditunggu, tetapi ketika tiba, segala sesuatu seolah tak pernah benar-benar bisa dipahami. Kota ini, Bandung, selalu membawa dinamika yang unik—gerak yang tak pernah henti, suara-suara yang bersahutan, dan langit yang seringkali tampak murung, seakan menjadi saksi bisu dari segala cerita yang pernah tumbuh di sini.

Bandung, di musim hujan, selalu punya cara sendiri untuk membuat kita merasa seolah sedang berada di dunia yang berbeda. Udara yang lembab, aroma tanah basah yang tercium setiap kali hujan turun, dan suasana kota yang sedikit lebih tenang, seolah mengundang siapa saja untuk berkelana, untuk menjelajahi tiap sudutnya dengan perlahan.

Saat hujan membasahi jalanan, aku memutuskan untuk keluar, menapaki trotoar yang dipenuhi genangan air, sambil menatap orang-orang yang berlindung di bawah atap atau payung. Pasar-pasar tradisional di Bandung memiliki cerita yang tak pernah selesai. Setiap sudutnya seperti labirin yang tak habis-habisnya menyimpan kejutan. Mulai dari pasar tradisional yang penuh dengan barang-barang antik, hingga pasar yang menjual hasil bumi segar, semuanya terbungkus dalam atmosfer yang ramah.

Suara pedagang yang memanggil-manggil, langkah kaki yang berbenturan dengan ritme hujan, hingga percakapan kecil antara pengunjung dan penjual, semuanya terasa begitu nyata. Tapi lebih dari itu, pasar-pasar ini adalah tempat di mana budaya bertemu dengan kehidupan sehari-hari, tempat dimana segala sesuatunya terasa lebih manusiawi.

Kemudian, perut yang mulai keroncongan mengingatkanku untuk menikmati kuliner lokal yang selalu menggoda. Aku berjalan menuju warung yang menjual nasi timbel dengan sambal terasi dan ayam goreng yang tak pernah gagal memanjakan lidah.

Rasa pedas dari sambal dan gurihnya ayam yang dipadukan dengan nasi hangat selalu punya kekuatan untuk membawa ingatan pada kenangan-kenangan masa kecil. Sambil menunggu hujan reda, aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan, berburu kopi.

Kopi di Bandung adalah kisah tersendiri. Setiap kedai kopi di sini, meskipun terlihat sederhana, menyimpan rahasia rasa yang bisa membuat siapapun jatuh cinta. Semua hiruk-pikuk kota, keramaian pasar, dan hujan yang terus mengguyur terasa menghilang begitu saja.

Ada sesuatu tentang kota ini yang selalu menarik untuk dijelajahi, meski aku sudah seringkali pulang pergi. Bandung selalu punya cara untuk membuatku merasa kembali asing, tetapi sekaligus begitu dekat. Dinamika perjalanan di kota ini adalah perpaduan antara ritme yang cepat dan perlahan. Setiap jalan yang kulalui, setiap sudut yang kutemui, punya kisahnya sendiri.

Ada yang berdebu, ada yang basah karena hujan, ada pula yang dipenuhi orang-orang yang berlalu-lalang dengan langkah cepat, seolah waktu mereka tak pernah cukup. Namun, di balik itu semua, ada ruang yang lebih tenang—kafe-kafe kecil di sudut jalan, taman kota yang dipenuhi kenangan, atau bahkan pertemuan tak terduga dengan teman lama yang tiba-tiba saja muncul.

Kota ini seolah punya kemampuan untuk mempertemukan kembali mereka yang pernah pergi, memberi ruang bagi cerita-cerita yang sempat tertunda. Romantisme Bandung tidak bisa lepas dari segala dinamika itu. Ia bukan sekadar kota, tetapi tempat yang menawarkan rasa—rasa nostalgia, rasa nyaman, rasa yang bisa membuat siapa pun merasa diterima.

Ada keindahan dalam kebersahajaan kota ini, dalam hujan yang turun begitu tenang, atau angin malam yang sejuk menembus setiap celah. Di sini, di antara riuhnya pasar, hiruk-pikuk jalanan, dan kopi yang selalu tersedia di tiap sudut, ada semacam kedamaian yang datang setelah perjalanan panjang.

Bandung adalah kota yang selalu kembali mengingatkan kita tentang pentingnya berhenti sejenak, untuk meresapi hidup, untuk menemukan romantisme dalam setiap detil yang kadang terlewat begitu saja. Berkelana di Bandung di musim hujan adalah seperti menulis jurnal perjalanan tanpa kalimat yang terlalu panjang. Semua yang kita lihat, rasakan, dan nikmati, mengalir begitu saja, mengisi ruang-ruang kosong dalam pikiran kita.

Yayang Nanda Budiman