Di tengah riuh Bandung yang perlahan kehilangan sunyinya, berdiri sebuah studio seni yang tak mengikuti arus zaman, tetapi memilih berjalan di jalur sepi yang nyaris tak dilirik publik urban kekinian. Studio Rosid, namanya. Letaknya tidak di pusat kota yang dijejali bangunan kreatif berarsitektur industrial, melainkan tersembunyi di sudut kawasan yang masih menyisakan ruang bernapas bagi kenangan dan diam.
Tidak ada papan nama menyala. Tidak ada bangunan mencolok atau spot instagenik seperti galeri-galeri baru yang lebih banyak menjadi latar swafoto ketimbang ruang tafsir. Studio Rosid tidak menawarkan kemegahan visual. Tapi justru dari kesederhanaan itulah ia menjelma menjadi ruang permenungan. Ia tidak dibangun untuk dilihat, melainkan untuk dialami.
Rosid, sang pemilik studio, adalah perupa yang memilih jalur sunyi. Ia bukan produk sekolah seni formal, melainkan anak sawah dari Parigi, Pangandaran, yang tumbuh dalam kelapangan alam dan kepekaan rasa. Ia belajar bukan dari diktat dan ruang kelas, tetapi dari kehidupan dan peristiwa. Studio yang ia dirikan menjadi cermin dari jalur yang ditempuhnya lirih, tetapi dalam.
Studio Rosid bukan semata galeri. Ia adalah laboratorium ingatan. Di dalamnya, karya-karya tidak sekadar dipajang, tetapi dirawat. Dinding-dinding tak hanya memuat lukisan, tetapi menyimpan napas masa lalu. Ada keheningan yang tak dibuat-buat, semacam kesenyapan yang mengundang pengunjung untuk menunduk, lalu mendengar.
Ruang-ruangnya terbagi dalam tiga: studio utama, saung kenangan, dan galeri. Studio dua lantai di belakang rumah menjadi tempat karya-karya dilahirkan. Di sana, kita bisa melihat bagaimana spiritualitas bukan hanya narasi dalam buku, tapi hadir dalam ruang kerja seorang seniman. Di lantai bawah, terpajang simbol-simbol personal, seolah Rosid tengah menyusun kamus visual hidupnya sendiri.
Lalu ada saung. Sebuah ruang yang tak menyimpan lukisan, tapi menyimpan napas kampung. Alat-alat dapur dan pertanian masa lalu, seperti anglo, garu, dan dandang, ditata tak beraturan. Tapi justru dalam ketidakteraturan itu, kenangan pulang ke tempat asalnya. Bukan sekadar nostalgia, melainkan upaya menghadirkan masa lalu sebagai bagian utuh dari kehidupan kini.
Galeri utama menyimpan karya-karya Rosid dalam nuansa redup. Salah satunya, lukisan “Bapak”, potret sang ayah yang digarap dengan akrilik dalam gaya yang sederhana tapi menyayat. Tidak dramatis, tetapi sarat muatan emosional. Di sudut lain, empat bangku sekolah dari era 1950-an seolah menunggu murid-murid yang tak kunjung kembali. Semua itu dihadirkan bukan untuk dikagumi, melainkan untuk direnungi.
Rosid percaya, benda-benda baik yang ia buat maupun yang ia temukan memiliki rasa. Ia tidak sekadar menata, tapi merawat hubungan antara ruang dan ingatan. Bagi Rosid, seni bukan tentang menciptakan keindahan, tapi memahami yang esensial. Karena itu, karyanya tidak hadir mencolok, melainkan menyusup, diam-diam tinggal dalam benak.
Pameran “Wahana Warna” adalah salah satu karya kuratorial yang mempertegas itu. Ia bukan sekadar eksplorasi warna, tapi kanal emosional. Warna-warna mencolok tidak dihadirkan untuk menguasai ruang, tapi untuk mengisi celah-celah yang sunyi dalam diri pengunjung. Mereka hadir untuk dirasakan, bukan sekadar dipandangi.
Selain menjadi ruang ekspresi seni rupa, Studio Rosid juga terlibat dalam penciptaan identitas visual untuk bisnis-bisnis lokal. Tapi, sebagaimana pendekatannya terhadap seni, Rosid tidak asal merancang. Ia menyelami karakter, memahami konteks, lalu menyusun visual yang berbicara dalam bahasa lokal. Hasilnya adalah desain yang tidak hanya relevan, tapi punya napas.
Di tengah era digital yang menuntut serba cepat dan instan, Rosid memilih bertahan pada ritme lambat. Ia menciptakan seni yang bukan untuk dikejar, melainkan untuk disambangi dengan pelan-pelan. Tidak untuk dikonsumsi massal, tapi untuk menyentuh yang personal.
Di sisi studio, berdiri sebuah kafe kecil. Dulu ruang kerja pribadi, kini menjadi tempat jeda. Tempat itu bukan sekadar tempat minum kopi, tapi bagian dari pengalaman estetika. Di sana, kita bisa duduk diam, membaca buku usang, atau sekadar menyaksikan debu waktu yang menempel di dinding. Menu kopi disajikan tanpa pretensi. Ada coffee cube dengan susu terpisah, ada kopi susu kayu manis. Rasanya tidak meledak-ledak, tapi hangat dan dalam seperti karya-karya Rosid.
Studio Rosid memang bukan tempat yang ramah untuk pengunjung yang terburu-buru. Ia tidak dirancang untuk lalu lintas wisatawan, melainkan bagi mereka yang ingin berhenti sejenak. Di sini, waktu melambat. Dan dalam kelambatan itulah kita belajar mengenali kembali ingatan yang nyaris terhapus.
Fasilitas modern tetap tersedia wifi, mushola, perpustakaan mini, toilet berkonsep artsy. Tapi semua itu hanya pendukung. Yang utama adalah atmosfer: ruang untuk merasa, ruang untuk mengingat.
Studio Rosid adalah sebuah penolakan terhadap dunia yang terlalu cepat lupa. Ia mengingatkan kita bahwa tidak semua yang tertinggal itu usang. Bahwa masa lalu punya cara sendiri untuk hidup kembali—tidak lewat museum, tapi lewat rasa.
Di tempat ini, kita diajak bukan hanya melihat seni, tapi mengalaminya sebagai bagian dari diri. Sebab dalam setiap goresan, dalam setiap benda yang disusun, Rosid tidak sedang memamerkan. Ia sedang mengisahkan. Dan kita, para pengunjung, adalah bagian dari narasi itu.
Baca Juga
-
Mengungkap Greenwashing: Menjual Keberlanjutan, Menyembunyikan Kerusakan
-
Mendengar Alam dalam Hingar: Pelajaran dari Curug Tilu Leuwi Opat
-
Tom Lembong dan Perdebatan Batas Antara Kebijakan dan Konsekuensi Pidana
-
Transformasi Mesin Kecerdasan Buatan dalam Menata Ulang Futsal Indonesia
-
Melampaui Slogan: Menantang Ketimpangan Digital bagi Penyandang Disabilitas
Artikel Terkait
-
Wajah Baru Puncak Bogor, Pemkab Sulap Kawasan Kumuh Pasar Cisarua Jadi Ruang Publik Modern
-
Mendengar Alam dalam Hingar: Pelajaran dari Curug Tilu Leuwi Opat
-
Liga 1: Frans Putros Antusias Bela Persib, OTW Jadi Anak Emas Bojan Hodak?
-
Here We Go! Bukan Nike atau Adidas, Persib Gandeng Apparel Spanyol untuk Musim 2025/2026
-
Pelatih Kroasia Prediksi Timnas Indonesia U-23 Pecundangi Vietnam: Ada Faktor X
Ulasan
-
Review Film Mickey 17, Angkat Isu Sosial yang Keras Dibalut Humor Gelap
-
Menikmati Menu di Lesehan Selera Malam Jambi, Sambalnya Bikin Nagih
-
Ulasan Buku How to Die: Menyambut Kematian dari Segi Filsuf Romawi
-
Ulasan Novel Cermin-Cermin Impian: Dua Jiwa Berjanji, Melangkah Seirama
-
Review Film The Monkey, Perpaduan Genre Komedi dan Horor yang Unik
Terkini
-
Mengungkap Greenwashing: Menjual Keberlanjutan, Menyembunyikan Kerusakan
-
Ghost Girl oleh Yeonjun TXT: Obsesi dan Perasaan Cinta yang Menghantui
-
Tragisnya Timnas Indonesia U-23, Terjungkal di Kandang Sendiri karena Taktik dari Mantan Pelatih
-
Bikin Sakit! Ini 3 Duplikasi Taktik STY oleh Kim Sang-sik di Final Piala AFF U-23
-
Kalau Gagal Oper, Salah Siapa? Yuk Cek Oksitosin dan Kepercayaan Tim Futsal