Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Athar Farha
Poster Metallic Rouge (IMDb)

Yakin deh, banyak orang tertarik dengan cerita yang membahas hubungan antara manusia dan kecerdasan buatan, apalagi kalau dibalut dengan aksi dan visual memukau. ‘Metallic Rouge’ yang tayang di Netflix, langsung mencuri perhatian begitu tahu anime ini digarap Studio BONES—studio yang suka bikin animasi berkualitas tinggi.

Disutradarai Motonobu Hori (Carole & Tuesday) dan ditulis Yutaka Izubuchi, anime ini mengangkat konflik antara manusia dan Neans, android berpenampilan manusia. Dibintangi sama Yume Miyamoto yang menyuarakan karakter Rouge Redstar dan Tomoyo Kurosawa dalam karakter Naomi Orthmann. 

Neans dalam anime ini bikin kamu penasaran nggak? Jika iya, lanjut baca buat tahu banyak hal tentangnya. 

Neans, Manusia, dan Sebuah Dunia yang Penuh Ketegangan

Di dunia Metallic Rouge sepanjang 13 episode, Neans diciptakan untuk berbagai keperluan, mulai dari tenaga kerja hingga pendamping manusia. Namun, nggak semua Neans mau tunduk pada manusia. Beberapa dari mereka memberontak, membentuk kelompok bernama Immortal Nine yang ingin memperjuangkan kebebasan mereka. Wih, ngeri ya?

Di sinilah Rouge Redstar masuk. Dia adalah sosok ‘Neans’ yang ditugaskan memburu Immortal Nine, bersama Naomi Orthmann, partner manusianya. Namun, tentu saja, perjalanan mereka nggak sesederhana itu. Seiring waktu, aku mulai menyadari kalau konflik di dunia ini nggak sesederhana “manusia baik dengan Neans jahat” atau sebaliknya. 

Ada banyak lapisan dalam cerita yang membuatku terus bertanya: siapa sebenarnya yang menjadi korban dalam perang ini?

AI dan Diskriminasinya, Seberapa Dekat dengan Dunia Kita?

Hal paling menarik dari Metallic Rouge adalah caranya mengeksplorasi diskriminasi terhadap AI. Neans diciptakan oleh manusia, tapi begitu mereka menunjukkan kesadaran dan keinginan sendiri, mereka justru dianggap ancaman.

Aku jadi teringat dengan perdebatan tentang AI di dunia nyata. Saat ini, kita memang belum sampai di tahap di mana AI memiliki kesadaran seperti manusia, tapi kita sudah mulai melihat bagaimana teknologi ini memengaruhi kehidupan kita. Dari chatbot hingga robot yang menggantikan pekerjaan manusia, pertanyaan tentang batasan dan hak AI mulai bermunculan.

Apakah AI hanya sekadar alat, atau suatu saat nanti kita harus mulai mempertimbangkan hak mereka? Metallic Rouge nggak ngasih jawaban langsung, tapi anime ini ngajak kita berpikir lebih dalam tentang hal itu.

Hal lain yang kusukai dari anime ini adalah cara penceritaannya yang nggak langsung menggurui. Metallic Rouge nggak memberikan penjelasan panjang lebar tentang dunianya. Sebaliknya, kita diajak untuk mengamati dan menyimpulkan sendiri dari petunjuk-petunjuk yang diberikan.

Misalnya, hubungan antara Rouge dan Naomi nggak dijelaskan dengan dialog panjang, tapi kita bisa melihat bagaimana mereka saling memahami melalui interaksi kecil. Detail-detail dunia pun nggak selalu dijelaskan secara eksplisit, tapi jika aku memperhatikan dengan baik, aku bisa menemukan banyak informasi yang tersembunyi di balik adegan-adegan tertentu.

Pendekatan ini mungkin nggak cocok untuk semua orang. Beberapa penonton mungkin merasa bingung karena ceritanya terasa seperti teka-teki yang harus dipecahkan. Namun buatku, justru itu yang membuat anime ini semakin menarik. Aku merasa lebih terlibat dalam cerita karena harus aktif berpikir dan mencari tahu sendiri apa yang sebenarnya terjadi.

Pokoknya, buatku ‘Metallic Rouge’ bukan sekadar anime aksi biasa. Ya, dengan menggabungkan visual keren dan cerita yang sarat emosi,  anme ini ngajak kita untuk sejenak merenung terkait hubungan antara manusia dan teknologi, serta bagaimana cara kita memahami kecerdasan buatan.

Mungkin, saat ini kita masih jauh dari dunia di mana AI punya kesadaran sendiri. Namun, dunia seperti Metallic Rouge bisa saja bukan lagi kisah fiksi, melainkan ‘masa depan’ yang lagi menunggu di depan mata kita. Selamat nonton ya. 

Athar Farha