Ada satu momen dalam dokumenter ‘One to One: John & Yoko’ yang bikin termenung, ketika John Lennon dan Yoko Ono duduk di ruang tamu kecil mereka di Bank Street, New York, menatap televisi. Bukan karena mereka sedang menonton program besar, tapi karena di balik layar kotak itu, mereka menemukan alasan untuk kembali turun ke jalan, menyuarakan keresahan, dan—sekali lagi—menyatukan seni dengan politik.
Disutradarai Kevin Macdonald (The Last King of Scotland, Whitney) dan Sam Rice-Edwards, yang juga diproduksi Passion Pictures dan Universal Music Group, dengan lihainya menampilkan John Lennon serta Yoko Ono melalui rekaman arsip, bersama sejumlah tokoh ikonik lainnya: Andy Warhol dan aktivis Jerry Rubin.
Sekilas tentang One to One: John & Yoko
Film dokumenter berdurasi ±104 menit yang tayang sejak April 2025 dan diberi rating R karena beberapa konten sensitif dan tema dewasanya, menggambarkan masa transisi John Lennon dari ‘yang cuma’ ikon rock menjadi sosok aktivis sosial yang lebih aktif di ranah publik Amerika Serikat.
Film ini fokus pada kehidupan Lennon dan Ono setelah mereka meninggalkan Inggris dan menetap di New York City pada awal 1970-an, di tengah suasana politik yang memanas dan perjuangan pribadi Yoko untuk mendapatkan kembali hak asuh putrinya. Mereka tinggal di apartemen sederhana di Greenwich Village, dan di sanalah, dari balik layar televisi dan rekaman-rekaman pribadi, mereka kembali menemukan semangat aktivisme.
Film ini membingkai berbagai peristiwa penting, mulai dari penampilan Lennon-Ono di The Mike Douglas Show, keterlibatan mereka dalam isu-isu politik bersama aktivis, satu di antaranya Jerry Rubin, hingga konser amal legendaris "One to One" yang mereka adakan untuk mendukung anak-anak penyandang disabilitas di Willowbrook State School.
Impresi Selepas Nonton Film One to One: John & Yoko
Sebagai penonton yang lumayan suka musik dari The Beatles, tapi juga cukup sinis dengan musisi yang “terlalu politis,” aku nonton dokumenter ini dengan campuran rasa ingin tahu dan skeptisisme.
Namun, ‘One to One: John & Yoko’ nggak cuma potongan footage nostalgia atau parade aktivisme murahan. Justru sebaliknya, film ini terasa sangat manusiawi, membumi, dan mengejutkan dalam keintimannya.
Yang Kusuka tuh, caranya dokumenter ini menyeimbangkan antara narasi besar sejarah dengan momen-momen kecil yang personal.
Misalnya, kita melihat Lennon bukan sebagai dewa rock, melainkan sosok ‘pria’ yang menelpon teman, menonton berita, dan mencoba memahami dunia yang sedang kacau. Ketika dia melihat liputan televisi tentang kondisi mengenaskan anak-anak di Willowbrook—yang dilaporkan jurnalis muda Geraldo Rivera—dia nggak hanya marah, tapi bertindak.
Ya, Lennon menggelar konser, mengundang musisi seperti Stevie Wonder dan Sha-Na-Na, dan menggunakan panggungnya untuk sesuatu yang benar-benar bermakna.
Konser “One to One” sendiri menjadi puncak emosional dokumenter ini. Bayangkan: John Lennon, berdiri di atas panggung, memainkan lagu-lagu yang mungkin nggak sepopuler karya-karya The Beatles lainnya, tapi sarat dengan semangat perubahan.
Begitulah, beberapa liriknya memang terasa kaku dan terlalu langsung—contohnya “John Sinclair,” yang terdengar seperti slogan demonstrasi ketimbang puisi (“It ain’t fair / John Sinclair / In the stir for breathin’ air”)—tapi justru di situlah kejujurannya terasa. Lennon nggak sedang berusaha tampil puitis; dia sedang marah, frustasi, dan ingin sesuatu berubah. Titik!
Di luar narasi politis, film ini juga menyelami sisi domestik Lennon-Ono. Kita diajak masuk ke ruang pribadi mereka, secara literal, lewat rekonstruksi apartemen mereka di Bank Street, dan mendengar cuplikan panggilan telepon yang direkam tape reel mereka sendiri. Ada kesan voyeuristik, tentu, tapi juga kehangatan.
Pokoknya Sutradara Kevin Macdonald dan Sam Rice-Edwards berhasil menyusun semuanya dengan ritme yang tenang tapi padat makna. Dia nggak terlalu banyak ngasih komentar, melainkan membiarkan footage dan suara Lennon-Ono berbicara. Ini membuat pengalaman menontonnya jadi terasa jujur dan reflektif.
Skor: 4/5
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.
Baca Juga
-
Evil Does Not Exist, Menelanjangi Judul Film yang Terasa Gugatan Hamaguchi
-
Review Film Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah: Nggak Semudah Itu Jadi Ibu
-
Review Film Menjelang Magrib 2, Nggak Ada Alasan Buat Dilanjutkan!
-
Kala Film The Conjuring: Last Rites, Mengemas Lebih Dalam Arti Kehilangan
-
Kala Romansa Musikal Melenggang di Busan International Film Festival
Artikel Terkait
-
Bedah Skema Judi Online di Balik Film China "No More Bets"
-
Belum Resmi Tayang, Ini Prestasi Mentereng Film Pangku Karya Reza Rahadian Sebagai Sutradara
-
Berlatar Perang Dunia II, Film Mosquito Bowl Resmi Umumkan Dua Pemain
-
Review Film Sweet 20: Keajaiban yang Bikin Nenek Jadi Gadis Muda Lagi
-
Cate Blanchett Isyaratkan Ingin Pensiun dari Dunia Akting: Aku Mau Berhenti
Ulasan
-
Review Film Menjelang Magrib 2: Cerita Pemasungan yang Bikin Hati Teriris
-
Between Us: Sebuah Persahabatan yang Terluka oleh Cinta
-
Mengurai Cinta yang Tak Terucap Lewat Ulasan Buku 'Maafkan Kami Ya Nak'
-
Mahar Jingga: Cinta yang Halal Tapi Tak Selalu Membahagiakan
-
Ali Band dan Perayaan Musik Dansa dari Timur Tengah ke Jakarta
Terkini
-
Solusi Menkeu Baru Soal 17+8 Tuntutan Rakyat: Bikin Ekonomi Ngebut Biar Rakyat Sibuk Cari Makan Enak
-
Futsal Zaman Now: Ekspresi Diri, Kepribadian, dan Gaya Hidup Anak Muda
-
4 Daily Look Minimalis ala Mina TWICE, Cocok untuk Banyak Momen!
-
Daftar Lengkap Reshuffle Kabinet: Prabowo Tunjuk 5 Menteri Baru dan Bentuk Kementerian Haji
-
Delpedro Marhaen, Kriminalisasi Aktivis dan Cermin Demokrasi yang Retak