Scroll untuk membaca artikel
Sekar Anindyah Lamase | Athar Farha
Poster Film Pengepungan di Bukit Duri (Instagram/comeandseepictures)

Kalau ada satu film Indonesia yang bikin duduk terpaku di kursi bioskop tanpa berkedip, lalu pulang dengan kepala penuh pikiran dan hati yang sesak, maka film itu adalah ‘Pengepungan di Bukit Duri' buatan Joko Anwar yang tayang sejak 17 April 2025. 

Film ini bukan cuma cerita biasa lho. Ini semacam pukulan pelan tapi dalam, semacam ajakan diskusi yang datang dari layar lebar ke ruang-ruang pribadi kita sebagai penonton. Dan buat yang lahir dan besar sebagai Chinese Indonesia, film ini terasa seperti cermin kasar, dengan menampilkan luka, ketakutan, bahkan rasa bersalah yang selama ini jarang disentuh sama film-film lokal.

Sekilas tentang Film Pengepungan di Bukit Duri 

Film ini mengambil latar waktu tahun 2027, di Indonesia masa depan yang suram dan penuh ketegangan sosial. 

Dikisahkan ada sosok guru pengganti bernama Edwin (diperankan Morgan Oey) yang diminta kakaknya untuk mencari anaknya yang lama nggak ada kabar. 

Penelusuran itu membawanya ke titik terakhir, yakni SMA Bukit Duri. Dari sinilah cerita mulai menanjak tajam, karena ternyata sekolah tersebut bukan tempat belajar biasa, tapi semacam zona bebas hukum, tempat geng anak-anak berkuasa dan penuh kebencian.

Edwin secara nggak disangka-sangka berhadapan dengan Jefri, si pemimpin geng yang diperankan Omara N. Esteghlal. Yang bikin ngeri tuh, konflik mereka bukan cuma soal siapa yang lebih kuat, tapi sudah merambah ke wilayah identitas, trauma sejarah, dan kebencian rasial. Asli, ngeri dan kece deh!

Penasaran dengan kesan filmnya berdasarkan pengalaman nontonku? Sini kepoin bareng!

Impresi Selepas Nonton Film Pengepungan di Bukit Duri 

Aku selalu kagum sama film yang bisa menggunakan setiap adegan secara fungsional. Dalam Film Pengepungan di Bukit Duri, nggak ada satu pun scene yang terasa sia-sia. Semua disusun buat membawa cerita, membentuk dunia distopia-nya, dan menggali konflik yang membara dari dalam karakter.

Pertama, ada adegan-adegan yang memang mendorong narasi, yang membawa Edwin dari satu petunjuk ke petunjuk lainnya, sampai dia menemukan jejak terakhir ke SMA Bukit Duri. Lalu, ada adegan yang pelan-pelan membentuk world-building, misalnya penampakan graffiti-graffiti di dalam KRL, lorong sekolah yang remang, hingga munculnya Chinatown bawah tanah. 

Bagiku, semua itu nggak cuma latar, tapi simbol. Ada pesan besar yang ingin disampaikan lewat lingkungan yang rusak itu, bahwa luka masa lalu belum sembuh, dan bisa terulang kapan saja.

Dan tentu saja, adegan-adegan yang dengan lugas menunjukkan kekacauan. Bukan cuma kekacauan fisik, tapi kekacauan moral, sosial, dan sistemik. Konflik Edwin vs Jefri terasa sangat nyata karena kita diajak mengenal latar belakang masing-masing. Ketika akhirnya semua pecah, aku cuma bisa duduk terdiam dan berpikir: “Lho, kenapa ya ini terasa dekat banget dengan kondisi kita hari ini?”

Untuk urusan aktingnya, dua pemeran utama di film ini benar-benar tampil kece banget. Morgan Oey berhasil menampilkan kompleksitas sosok guru yang sebenarnya sedang berduka, tapi tetap punya niat baik untuk membantu. Ada sisi rapuh, ada juga sisi kuat. Ada momen-momen di mana dia marah, takut, tapi tetap berusaha untuk nggak membalas kekerasan dengan kekerasan. Itu luar biasa banget.

Omara N. Esteghlal benar-benar bikin aku gemetar nonton aktingnya sebagai Jefri. Jefri bukan penjahat biasa. Dia adalah hasil dari lingkungan yang gagal, sistem pendidikan yang abai, dan masyarakat yang cuek.

Ada satu adegan besar di akhir film yang ngasih tahu kenapa Jefri bisa jadi seburuk itu, dan ketika adegan itu datang, aku cuma bisa melongo. “Masuk akal sih Jeffre bisa sampai begitu beringasnya.”

Buat yang suka adegan action, film ini juga nggak main-main. Koreografi berantemnya brutal tapi tetap grounded. Gaya berantem Edwin yang lebih defensif berlawanan banget dengan gaya Jefri yang liar dan ngawur. Justru di situ menariknya.

Ketegangan makin terasa karena adegan-adegannya terasa realistis dan penuh emosi. Ditambah dengan sinematografi yang tajam, pencahayaan yang pas, dan desain produksi yang niat banget, terutama di setting sekolahnya. Semuanya bikin film ini tampil solid secara teknis.

Seperti bisa, Joko Anwar, cara dia menyelipkan simbolisme dalam ceritanya, menurut aku, simbol-simbolnya lebih to the point dan lebih terasa sebagai “undangan” buat penonton untuk berdiskusi.

Misalnya simbol babi yang dicoret di dinding KRL, atau poster “Stop Rasisme” yang justru jadi dekorasi hampa. Semuanya terasa seperti kritik buat kita sebagai masyarakat yang suka bilang “damai”, tapi nggak pernah benar-benar mencoba memahami.

Pokoknya ‘Pengepungan di Bukit Duri’ tuh film yang penting. Nggak semua orang akan nyaman nontonnya, karena banyak adegan yang keras dan penuh muatan emosional. Namun, menurutku justru karena hal itulah film ini harus ditonton, yang tentunya dengan bijak, dan kalau mau, nontonnya bareng orang-orang yang bisa diajak diskusi setelahnya.

Skor: 4,8/5

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Athar Farha