Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Miranda Nurislami Badarudin
Novel Jodoh Untuk Naina (DocPribadi/Miranda)

Dalam hidup, tidak semua cinta lahir dari tatapan pertama atau kisah manis yang penuh kejutan. Ada cinta yang lahir dari keputusan berat, dari perjodohan yang semula tak diinginkan, dan dari hati yang belajar untuk menerima. Novel Jodoh untuk Naina karya Nima Mumtaz menyajikan kisah semacam itu—sebuah kisah yang tidak hanya menyentuh sisi emosional, tetapi juga sarat akan nilai-nilai islami tentang kesabaran, ujian hidup, dan makna keikhlasan dalam pernikahan.

Perjodohan sebagai Titik Awal

Naina Humairah bukan perempuan yang mencari cinta lewat pertemuan romantis. Hidup bersama Abahnya setelah ditinggal Ibu dan pernikahan kedua kakaknya, ia menjalani keseharian dengan sederhana. Namun ketenangan itu diuji saat Abah mengajukan lamaran dari seorang pria bernama Rizal Ayyashi. Tak seperti pria dalam novel kebanyakan, Rizal datang bukan dengan puisi atau bunga, melainkan dengan masa lalu yang getir—pernah diarak kampung karena kasus zina yang membekas.

Namun Naina, dengan segala kegamangan, menerima lamaran itu demi kebahagiaan Abah. Dengan satu syarat: ia tak ingin dimadu. Di sinilah kisah mereka dimulai—bukan dari cinta, melainkan dari keikhlasan.

Belajar Mencintai dalam Ikatan Halal

Pernikahan Naina dan Rizal tidak diwarnai kilau romansa. Ia berjalan dengan tenang, canggung, namun jujur. Seiring waktu, Naina mulai melihat sisi lain dari Rizal—seorang lelaki yang sedang memperbaiki diri, yang ingin menjadi imam yang baik. Dan Rizal pun perlahan belajar menjadi pasangan yang tidak hanya baik secara agama, tapi juga dalam hal hati dan perasaan.

Yang membedakan novel ini dari kisah-kisah pernikahan lain adalah realisme yang kuat. Konflik hadir bukan dari pihak ketiga yang berambisi, melainkan dari luka yang belum sembuh dan ujian keimanan. Ketika Latifah, wanita masa lalu Rizal, kembali dan ingin menjadi istri kedua, Naina merasa syaratnya dilanggar. Ia memilih pergi. Tapi justru dalam perpisahan itulah, baik Naina maupun Rizal menemukan makna cinta yang lebih dalam—bukan tentang memiliki, tapi tentang menerima dan memperjuangkan.

Ujian sebagai Jalan Bertumbuh

Dalam Islam, pernikahan bukan akhir dari cerita, melainkan awal dari perjuangan dua manusia dalam satu bahtera. Jodoh untuk Naina mengilustrasikan hal ini dengan sangat baik. Ujian demi ujian yang datang bukan semata-mata untuk menguji cinta, tetapi menguatkan iman. Bagaimana seseorang belajar sabar ketika merasa tak dimengerti. Bagaimana seseorang belajar memaafkan meski hatinya sakit. Dan bagaimana seseorang tetap memilih bertahan karena tahu bahwa rumah tangga bukan soal rasa, tapi juga tanggung jawab di hadapan Allah.

Novel ini seperti cermin yang merefleksikan bahwa tidak semua pasangan akan melalui awal pernikahan yang manis. Kadang, cinta datang setelah akad. Kadang, cinta adalah keputusan yang diperbarui setiap hari. Dan kadang, cinta berarti berani menerima masa lalu pasangan, karena kita percaya bahwa setiap orang berhak atas kesempatan kedua.

Keikhlasan: Nafas dalam Pernikahan Islami

Salah satu pesan paling kuat dari novel ini adalah keikhlasan. Naina mengajarkan kita bahwa ketika kita menyerahkan sesuatu kepada Allah, termasuk perasaan kita, maka akan ada jalan keluar yang tak terduga. Ia tidak membalas sakit dengan amarah, tetapi dengan ketegasan yang dibingkai kesantunan. Rizal pun akhirnya menyadari bahwa cinta bukan hanya tentang memenuhi hak suami, tapi juga tentang menjaga perasaan istri.

Keikhlasan juga ditunjukkan dalam cara keduanya memilih untuk kembali—bukan karena tidak ada pilihan lain, tapi karena mereka sama-sama tahu bahwa takdir ini bisa menjadi ladang pahala jika dijalani bersama.

Refleksi untuk Pembaca

Jodoh untuk Naina bukan sekadar bacaan romantis berbalut islami. Ia adalah refleksi kehidupan pernikahan yang lebih dari sekadar bunga dan bulan madu. Ia mengajarkan bahwa rumah tangga dibangun bukan hanya dari cinta, tetapi juga dari sabar, jujur, saling menghargai, dan doa yang tak pernah putus.

Bagi kita yang hidup di tengah arus budaya populer yang sering menggambarkan cinta secara instan dan idealis, novel ini menjadi pengingat bahwa cinta sejati adalah cinta yang disuburkan oleh ujian, dilindungi oleh doa, dan dijaga oleh keikhlasan.

Karena pada akhirnya, cinta sejati bukan yang membuat kita terbang tinggi, tapi yang membuat kita tetap berdiri tegak saat dunia runtuh di sekitar kita.

Miranda Nurislami Badarudin