Di tengah derasnya arus film sci-fi modern yang penuh visual mengagumkan dan visual canggih, Film Robot Riot yang bisa sobat Yoursay tonton di KlikFilm, muncul sebagai sebuah anomali.
Posternya menjanjikan aksi militer dengan robot-robot mematikan, seolah-olah sedang mengajak penonton memasuki zona perang futuristik yang intens. Namun, seiring berjalannya menit demi menit, satu pertanyaan mulai muncul, Apakah film ini sungguh-sungguh ingin serius, atau justru secara nggak sengaja jadi parodi dari genre-nya sendiri? Kupas lebih dalam yuk!
Dirilis pada tahun 2020, ‘Robot Riot’ merupakan film aksi fiksi ilmiah garapan Ryan Staples Scott, yang juga ikut menulis skenario bersama Aaron Mirtes. Diproduksi High Octane Pictures, film berdurasi ±88 menit ini menempatkan aktor Ryan Merriman sebagai tokoh utama bernama Shane, didampingi para bintang kece lainnya:
- Jamie Costa memerankan Peterson
- Cait Brasel memerankan Madison
- Sarah J. Bartholomew memerankan Piper
- Jason Leyva memerankan General Dix
- Dan masih banyak bintang pendukung lainnya.
Sekilas tentang Film Robot Riot
Kisahnya dibuka dengan ketegangan. Sekelompok tentara terbangun di tengah zona militer misterius, tanpa satu pun kenangan tentang siapa mereka, bagaimana mereka bisa berada di sana, atau apa yang sedang terjadi. Namun mereka nggak diberi waktu untuk merenungi keadaan. Seketika, serangan dari robot-robot tempur canggih mengguncang ketenangan.
Di balik kekacauan itu, tersembunyi eksperimen rahasia. Para prajurit ternyata hanyalah kelinci percobaan dalam simulasi perang hidup-mati, yang dirancang pihak rahasia. Tujuannya, menguji efektivitas kecerdasan buatan bersenjata yang bisa membedakan antara ancaman dan target, sekaligus mengamati respons manusia ketika semua memori dan identitas dihapus.
Dari sinopsisnya, film ini terdengar menjanjikan. Ada elemen misteri, eksistensialisme ringan, kritik tersembunyi terhadap militerisasi teknologi, dan semuanya berada dalam kerangka sci-fi survival. Sayangnya, potensi besar itu terbenam begitu saja.
Bila Sobat Yoursay penasaran dengan detail lainnya, sini kepoin lebih lanjut!
Impresi Selepas Nonton Film Robot Riot
Alih-alih menyuguhkan sensasi mendebarkan ala Film Edge of Tomorrow atau kompleksitas seperti dalam Film Predestination, ‘Robot Riot’ malah tenggelam dalam keterbatasan teknis dan naskah yang datar.
CGI yang digunakan untuk menggambarkan robot-robot pembunuh justru jadi salah satu titik lemah terbesar film ini. Gerakan robot terasa nggak meyakinkan, nyaris seperti karakter dalam game lawas era PlayStation 2. Efek suara mekanisnya pun terdengar lebih mirip bunyi blender alih-alih mesin perang canggih. Eh!
Set syuting yang minimalis—terbatas pada area gurun dan reruntuhan bangunan yang sama sepanjang film—membuat pengalaman menontonku jadi repetitif. Suasana yang seharusnya mencekam berubah jadi membosankan karena nggak ada variasi visual maupun ketegangan yang terus meningkat.
Dari sisi sinematografi, kamera statis dan pergerakan yang monoton membuat momen aksi kehilangan energinya. Nggak ada satu pun adegan yang terasa benar-benar mendebarkan. Film ini tampaknya berusaha tampil serius, tapi kekurangan teknis, yang mana itu bikin banyak adegan justru terasa seperti drama panggung.
Memang Aktor Ryan Merriman yang memerankan Shane mencoba tampil meyakinkan sebagai pemimpin kelompok. Namun, dengan skrip yang dipenuhi dialog generik dan minim emosi, sulit bagiku merasa terhubung dengan karakternya. Rekan-rekan sesama prajurit pun nggak diberi cukup latar belakang atau dinamika untuk menciptakan konflik atau drama yang berarti.
Alur interaksi antar karakter berjalan datar! Nggak ada pertumbuhan hubungan, nggak ada kejutan, dan nggak ada momen yang bisa dikenang. Semua terasa seperti percakapan yang ditulis hanya untuk mengisi waktu antar adegan pertempuran.
Namun, di tengah kekurangan yang cukup banyak, ada satu sisi positif dari ‘Robot Riot’, untungnya film ini tergolong aman untuk ditonton berbagai usia. Nggak ada kekerasan brutal, muatan seksual, dan ceritanya relatif mudah diikuti. Ini jadi tontonan ringan yang mungkin masih bisa dinikmati Sobat Yoursay.
Dari kekurangan teknis, naskah yang lemah, dan karakter yang nggak berkembang menjadikan film ini lebih cocok disebut sebagai latihan produksi ketimbang produk jadi. Ups, sorry.
Skor: 1,5/5
Baca Juga
-
Review Film Fear Street - Prom Queen: Pembantaian Malam Pesta yang Melempem
-
Review Pee-wee as Himself: Dokumenter yang Mengantar Kejujuran Paul Reubens
-
Review Film Cassiopeia: Saat Ingatan Lenyap, Cinta yang Menuntun Pulang
-
Review Film The Paradise of Thorns: Kisahkan Surga Berduri dan Luka Keluarga
-
Review Series The Better Sister: Rahasia yang Lebih Ngeri dari Pembunuhan
Artikel Terkait
-
Sinopsis 'Film 7 Hari untuk Keshia' & 'Semusim Setelah Kemarau' di KlikFilm
-
Review Film Marbot, Ketika Pengabdian Keluarga Dijadikan Warisan
-
Review Film Fifi, Ketika Bocil Jatuh Cinta pada Om-Om, Bikin Gemas!
-
5 Film Terbaru yang Tayang di Klik Film April 2023, Dari Italia hingga Korea
-
Sinopsis Film Boy From Heaven, yang Raih 2 Penghargaan di Festival Film Cannes 2022
Ulasan
-
Review Film Fear Street - Prom Queen: Pembantaian Malam Pesta yang Melempem
-
Review Pee-wee as Himself: Dokumenter yang Mengantar Kejujuran Paul Reubens
-
Ulasan Buku One in a Millennial: Refleksi Kehidupan dalam Budaya Pop
-
Ketika Tubuh Menjadi Doa: Refleksi dalam In The Hands of A Mischievous God
-
Bukan Sekadar Lagu Ulang Tahun, Ini Pesan Berani di Lagu SEVENTEEN Bertajuk HBD
Terkini
-
Detak di Pergelangan! Bagaimana Smartwatch Merawat Jiwa Kita?
-
Prediksi Starter Indonesia Lawan China, Si Anak Hilang Berpeluang Main!
-
Tak Perlu Naturalisasi Striker Baru, Jens Raven Bisa Jadi Solusi Timnas Indonesia!
-
Terbaru di 2025! Ini 5 Cara Menggandakan Aplikasi di Ponsel Android
-
Persib Bandung Jadi Tuan Rumah, Piala Presiden 2025 Undang Oxford United FC