Kalau ngomongin soal ‘surga dunia’, pasti tiap orang punya definisi berbeda-beda. Ada yang membayangkan kehidupan sempurna tanpa masalah, ada pula yang merasa surga itu cuma sebatas mimpi yang sulit diraih.
Nah, Film The Paradise of Thorns, yang diproduksi GDH, mengajak kita menyelami kisah manusia yang berjuang mencari surga mereka sendiri, meski harus berhadapan dengan duri-duri kehidupan yang menusuk.
Tajam banget, kan, kisahnya? Sini kepoin bareng buat tahu detailnya!
Sekilas tentang Film The Paradise of Thorns
Film yang tayang perdana di Toronto International Film Festival (TIFF) pada 6 September 2024, dan sudah bisa Sobat Yoursay tonton di KlikFilm, berkisah tentang Thongkam (Jeff Satur) dan kekasihnya, Sek (Pongsakorn Mettarikanon), yang berusaha membangun masa depan bersama lewat kebun durian yang mereka rawat dengan penuh cinta.
Sayangnya, keadaan nggak berjalan mulus. Karena pernikahan sesama jenis pada masa mereka menjalin kasih belum dilegalkan. Itu artinya, si Thongkam nggak punya hak hukum yang sah atas harta milik mereka, termasuk rumah dan kebun durian itu.
Ketika Sek mengalami kecelakaan dan membutuhkan operasi darurat, Thongkam pun nggak bisa ngasih izin operasi karena secara hukum mereka bukan suami istri. Sek pun meninggal dunia.
Kesedihan yang dialami Thongkam kemudian berlanjut dengan perebutan harta warisan yang dilakukan ibunya Sek, Saeng (Srida Puapimol), dan Mo (Engfa Waraha).
Konflik semakin rumit dengan hadirnya Jingna (Harit Buayoi), adik angkat Mo, yang ikut campur dalam pengelolaan kebun durian. Dari sini, surga yang selama ini didambakan berubah jadi medan perang penuh luka dan pengkhianatan.
Sekompleks itu memang kisahnya. Lalu, bagaimana dengan kesan selepas nonton? Sini simak lebih lanjut!
Impresi Selepas Nonton The Paradise of Thorns
Terlepas ini tentang bromance, tapi aku lumayan terpikat dengan bagaimana Naruebet Kuno mengemas cerita ini dengan sentuhan yang sangat khas Studio GDH.
Nansa spiritualnya terasa begitu kental. Di awal film,aku bisa merasakan kedamaian lewat pemandangan alam; daun-daun yang tertiup angin, cicak yang muncul, hingga suara alam yang menenangkan.
Percayalah, di sini tuh, kebun durian dalam film nggak cuma properti, tapi seolah-olah jadi karakter hidup yang mencerminkan bukti cinta dan kerja keras para tokohnya.
Namun seperti kehidupan nyata, keseimbangan itu nggak bertahan lama. Saat manusia mulai melihat alam hanya sebagai sumber penghasilan, masalah mulai muncul.
Aku merasakan betul bagaimana konflik keluarga dan perebutan warisan itu nggak cuma soal uang, tapi juga luka lama dan harapan yang kandas.
Menurutku, ‘The Paradise of Thorns’ berhasil menampilkan sebuah drama keluarga yang terasa sangat dekat dan realistis, walaupun terkadang konflik yang ditampilkan cukup dramatis dan mirip sinetron Indonesia, dengan twist dan aksi yang kadang terasa dipaksakan demi efek emosional.
Yang paling menarik tuh saat film ini bertransformasi dari drama keluarga yang menyentuh jadi thriller penuh ketegangan, terutama di bagian klimaksnya.
Aku nggak merasa aneh atau bingung saat suasana berubah drastis, karena sejatinya, cerita ini memang penuh dengan intrik dan pengkhianatan yang bisa jadi plot thriller.
Betewe Sobat Yoursay jangan kaget ya. Film ini jelas mengangkat isu yang cukup sensitif, yakni hak-hak pasangan sesama jenis di Thailand sebelum legalisasi pernikahan sesama jenis tahun di 2025.
Selain itu, konflik tentang kemiskinan dan ketimpangan sosial juga terasa sangat kuat. Masing-masing karakter: Thongkam, Saeng, dan Mo, mereka itu orang biasa yang bermimpi mendapatkan surga mereka sendiri, tapi seringnyai terluka dan saling melukai dalam prosesnya.
Akhir kata, ‘The Paradise of Thorns’ buatku cukup menghibur biarpun agak lebay di konfliknya yang kayak sinetron. Biarpun gitu, menurutku, ini ibarat sinetron berkualitas yang nggak cuma mengandalkan konflik dan drama berlebihan, tapi juga menggali isu sosial dan kemanusiaan secara mendalam.
Skor: 3,9/5
Baca Juga
-
Review Film Eddington: Paranoia Massal dan Satir Gelap Ala Ari Aster
-
Review Film Smurfs: Petualangan Baru dan Sihir yang Nggak Lekang Oleh Zaman
-
Review Film Sentimental Value: Ladang Luka Lama yang Belum Sembuh
-
Review Series One Night in Idaho: Dokumenter True Crime Menolak Eksploitasi
-
Review Film The Sound: Jerit Horor yang Kehilangan Gaungnya
Artikel Terkait
Ulasan
-
Ulasan Novel The Long Game: Perjalanan Cinta dan Karier di Kota Kecil
-
Interpretasi Film Sore, Istri dari Masa Depan: Bagiku, Seperti Interaksi Tuhan dan Makhluk-Nya
-
Novel Before Your Memory Fades: Menyelami Luka Lama Lewat Secangkir Kopi
-
Novel I Who Have Never Known Men: Perjuangan Para Wanita Lepas dari Penjara
-
Ulasan Novel The Mill House Murders: Misteri Kelam di Rumah yang Terisolasi
Terkini
-
STAYC Ubah Kekurangan Jadi Senjata Andalan di Lagu Comeback Bertajuk I Want It
-
Out of the Box, Key SHINee Usung Konsep Thriller di Full Album Bertajuk Hunter
-
Beautiful Strangers oleh TXT: Kuat dan Tumbuh Bersama di Tengah Perbedaan
-
Robi Darwis Ceritakan Momen Paling Berkesan Saat Bela Timnas Indonesia
-
Future on the Court: Futsal dan Generasi Baru yang Siap Menggebrak