Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Ryan Farizzal
Poster film Bring Her Back (IMDb)

Film Bring Her Back adalah karya terbaru duo sutradara Australia, Danny dan Michael Philippou, yang sebelumnya bikin heboh lewat Talk to Me (2022). Rilis di bioskop Indonesia pada 6 Juni 2025, film ini langsung mencuri perhatian dengan premis horor okultisme yang gelap, brutal, dan penuh luka emosional.

Bukan cuma soal bikin merinding, tapi juga mengaduk-aduk psikis penonton sampai bikin sesak. Dengan durasi 104 menit, film produksi A24 dan Causeway Films ini punya rating 90% di Rotten Tomatoes berdasarkan 141 ulasan kritikus, yang memuji atmosfer mencekam dan akting memukau, terutama dari Sally Hawkins. Penasaran? Monggo langsung saja simak ulasan berikut!

Bring Her Back mengisahkan Andy (Billy Barratt) dan Piper (Sora Wong), kakak-adik tiri yang baru saja kehilangan ayah mereka secara tragis. Piper, yang tunanetra, sangat bergantung pada Andy, yang super protektif meski usianya baru 17 tahun.

Setelah kematian ayah mereka, keduanya ditempatkan di rumah ibu asuh bernama Laura (Sally Hawkins), seorang mantan pekerja sosial yang eksentrik dan masih berduka atas kehilangan putrinya, Cathy.

Di rumah terpencil Laura, ada juga Oliver (Jonah Wren Phillips), anak asuh lain yang pendiam dan bikin bulu kuduk berdiri dengan tingkahnya yang aneh.

Cerita dimulai pelan, seperti slow-burn khas horor psikologis. Tapi, begitu Andy mulai mencium gelagat aneh dari Laura, seperti ritual okultisme yang melibatkan kaset VHS penuh kekerasan, suasana langsung mencekam.

Laura ternyata punya obsesi gelap: menghidupkan kembali Cathy, dan Piper jadi kunci rencana mengerikan itu. Dinamika antara Laura yang manipulatif, Andy yang berjuang melindungi adiknya, dan Piper yang terjebak di tengah membuat film ini terasa seperti menaik-turunkan emosi.

Sally Hawkins adalah bintangnya di film ini. Biasa kita lihat sebagai ibu yang hangat di Paddington, di sini dia bertransformasi jadi Laura, sosok yang menyeramkan sekaligus menyedihkan. Aktingnya bikin penonton benci tapi juga iba, karena dia berhasil menangkap kompleksitas seorang ibu yang dikuasai duka.

Ekspresinya berpindah dari kelembutan palsu ke kegilaan total, terutama di adegan ritual yang bikin ngilu. Billy Barratt dan Sora Wong juga nggak kalah memukau.

Chemistry mereka sebagai kakak-adik terasa autentik, dengan momen-momen kecil seperti kode grapefruit untuk kejujuran yang bikin aku terhubung secara emosional. Jonah Wren Phillips sebagai Oliver? Brr, anak ini creepy abis tanpa perlu banyak dialog!

Ulasan Film Bring Her Back

Salah satu adegan di film Bring Her Back (IMDb)

Gaya visual Bring Her Back adalah salah satu kekuatannya. Sinematografer Aaron McLisky memainkan pencahayaan redup dan sudut kamera yang intens untuk menciptakan aura misteri.

Setiap ruangan di rumah Laura terasa seperti jebakan, dengan close-up yang menangkap ketegangan sekecil apa pun. Elemen body horror dan gore-nya nggak main-main—ada adegan pisau dan kanibalisme yang bikin aku sendiri meringis.

Tapi, horornya nggak cuma dari darah-darah itu; ketegangan psikologis Laura yang gaslighting Andy dan memanipulasi Piper jauh lebih menyeramkan.

Film ini juga minim jump scare kok, lebih mengandalkan atmosfer berat dan rasa nggak nyaman yang terus menumpuk sampai klimaks yang menghancurkan.

Bring Her Back sukses karena keberaniannya menyelami tema duka dan trauma tanpa kompromi. Ini bukan horor yang menghibur dengan cara biasa, melainkan pengalaman yang bikin aku merasa “disiksa” secara emosional—tapi dalam cara yang cerdas. Narasinya yang nggak spoon-feeding bikin kita dipaksa berpikir, menyusun sendiri misteri di balik ritual Laura.

Performa aktor, terutama Hawkins, adalah pilar utama, ditambah sinematografi gelap yang memperkuat suasana muram. Film ini juga berani menabrak batasan dengan menampilkan kekerasan terhadap anak-anak, yang bikin kengeriannya terasa lebih nyata dan mengganggu.

Meski intens, Bring Her Back kadang terasa kelewat berat. Nggak ada momen ringan atau humor untuk menyeimbangkan keputusasaan yang terus-menerus, yang bisa bikin aku sendiri lelah. Beberapa konflik juga terasa prediktabel, terutama di pertengahan film, ketika aku sudah bisa menebak ke mana arah cerita.

Elemen supranatural seperti kaset VHS terasa agak dipaksakan, seperti sekadar alasan untuk menambah gore. Dibandingkan Talk to Me, yang punya keseimbangan antara realisme dan mistis, film ini kadang terlalu tenggelam dalam simbolisme duka hingga narasinya sendiri kurang fokus.

Bring Her Back adalah horor psikologis yang nggak main-main. Ini bukan film untuk yang cuma suka jump scare atau horor ringan. Dengan akting Sally Hawkins yang memukau, atmosfer mencekam, dan tema duka yang digali dalam, film ini pasti bakal ninggalin luka di hati penonton.

Tapi, intensitasnya yang tanpa henti dan narasi yang kadang predictable bisa bikin sebagian orang merasa overwhelmed. Kalau kamu penggemar horor yang suka tantangan emosional dan nggak takut ngilu, film ini wajib masuk watchlist. Siapin mental, ya, karena Bring Her Back bakal bikin kamu sesak sekaligus kagum!

Untuk rating sendiri aku beri: 8.5/10. FYI, film ini rating R, jadi pastikan kamu cukup umur dan siap mental sebelum nonton ya!

Ryan Farizzal