Film "Fiksi.", yang dirilis pada tahun 2008 dan disutradarai oleh Mouly Surya, adalah film bergenre psikologis thriller yang berbeda dari film-film Indonesia pada masa itu. Ceritanya berfokus pada sosok Alisha (Ladya Cheryl), seorang perempuan muda dari keluarga kaya yang hidup dalam kesepian dan tekanan emosional. Ia tinggal di rumah besar bersama ayahnya yang tidak terlalu peduli.
Merasa terasing dari dunianya sendiri, Alisha kemudian pindah ke sebuah rumah susun sederhana, tempat di mana ia bertemu dengan berbagai karakter baru yang kehidupannya jauh dari glamor namun penuh dinamika.
Di sana, ia mulai tertarik pada seorang penulis bernama Bari (Donny Alamsyah), dan secara diam-diam mengamati kehidupan Bari dan orang-orang di sekitarnya. Awalnya, Alisha hanya menyusun cerita fiksi tentang mereka. Namun, perlahan-lahan, batas antara khayalan dan kenyataan mulai kabur. Ia tidak hanya menulis, tetapi mulai ikut campur, mengatur, bahkan memanipulasi agar dunia nyata sejalan dengan cerita yang ada di kepalanya.
Obsesi Alisha terhadap kehidupan orang lain semakin dalam, dan di sinilah cerita menjadi gelap dan mencekam. Penonton diajak masuk ke dalam benak seseorang yang sedang terjebak antara trauma masa lalu, kesepian yang menyesakkan, dan imajinasi yang mengaburkan realitas.
Sebagai penonton, saya merasa "Fiksi." bukanlah film yang bisa ditonton sambil lalu. Ini adalah film yang menuntut perhatian penuh, karena setiap adegan dan dialognya memiliki lapisan makna yang tidak selalu langsung terlihat.
Dari awal hingga akhir, saya dibawa masuk ke dalam dunia Alisha yang gelap, sepi, dan penuh ilusi. Film ini membuat saya berpikir ulang tentang bagaimana seseorang bisa kehilangan arah ketika hidupnya dipenuhi kesendirian dan tidak ada ruang aman untuk berbagi.
Hal yang paling membekas bagi saya adalah akting Ladya Cheryl sebagai Alisha. Ia memerankan karakter ini dengan begitu halus namun tajam. Ekspresi wajahnya yang kadang kosong namun menyimpan gejolak, gerak tubuh yang canggung, serta suaranya yang tenang tapi menyiratkan ketidakstabilan, semua menyatu menciptakan karakter yang begitu kompleks dan tak terlupakan. Melalui Alisha, saya merasa bahwa ketakutan terbesar bukan datang dari luar, tapi dari dalam pikiran sendiri.
Yang juga sangat saya apresiasi adalah gaya penyutradaraan Mouly Surya. Ia dengan piawai membangun suasana yang tidak nyaman namun sangat menarik. Nuansa warna yang suram, pengambilan gambar yang intim dan terlihat sempit, serta iringan musik yang tidak terlalu dominan tapi efektif, membuat saya sebagai penonton merasa seperti ikut terjebak dalam dunia Alisha.
Mouly Surya tidak mencoba menjelaskan segalanya secara gamblang, melainkan membiarkan penonton merasakan dan menafsirkan sendiri ketegangan yang terjadi.
Film ini juga berhasil membuat saya merenung tentang batas antara fiksi dan kenyataan, serta bagaimana trauma masa lalu bisa membentuk cara seseorang memandang dunia. Alisha, dengan segala kekurangannya, sebenarnya hanya ingin merasa hidup, dihargai, dan dicintai. Namun, caranya mencari makna itu membawanya pada jalan yang berbahaya.
Ini membuat film “Fiksi.” terasa lebih dari sekadar cerita psikologis, melainkan potret tentang bagaimana manusia bisa tersesat dalam pikirannya sendiri ketika realitas terasa terlalu menyakitkan.
Secara teknis, film ini terasa matang. Dari segi sinematografi, banyak adegan yang tidak hanya indah dilihat tapi juga sarat makna. Lingkungan rumah susun yang sempit dan ramai menjadi kontras dari kehidupan Alisha yang sebelumnya luas tapi kosong. Hal ini memperkuat tema tentang pencarian makna dan rasa memiliki.
Sebagai penikmat film, saya menganggap “Fiksi.” sebagai salah satu film Indonesia terbaik dalam genre psikologis. Film ini sangat berani, jujur, dan tak takut untuk menggambarkan sisi gelap manusia. Film ini juga menjadi tonggak penting dalam karier Mouly Surya, yang kelak dikenal lewat karya-karya kritis lainnya seperti "Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak".
“Fiksi.” adalah film yang akan terus membekas bagi siapa pun yang menontonnya. Ini bukan film dengan alur yang cepat atau akhir yang menyenangkan. Sebaliknya, film ini adalah film yang membuat kita berpikir, merasa tidak nyaman, dan membuat kita merenung.
Bagi saya, "Fiksi." adalah salah satu film Indonesia yang layak disebut karya sinema kelas dunia, bukan karena bujet besar atau popularitasnya, tetapi karena keberanian dan kedalaman pesannya.
Baca Juga
-
Mengubah Hobi Jadi Gaya Hidup Sehat Lewat Olahraga Futsal
-
Futsal dan Tren Urbanisasi: Solusi Ruang Terbatas di Lingkup Perkotaan
-
Bukan Sekadar Hobi, Futsal sebagai Investasi Kesehatan Jangka Panjang
-
Lagu Malang Suantai Sayang: Persembahan Sal Priadi untuk Kota Kelahirannya
-
Menulis di Tengah Kebisingan Dunia Digital, Masihkah Bermakna?
Artikel Terkait
-
Review Film Film Hayya 3 - Gaza: Kesalahan Marketing yang Sangat Menganggu!
-
Review Film Janji Joni, Komedi Ringan dengan Pesan tentang Dedikasi
-
10 Rekomendasi Kaca Film Mobil Terbaik, Beri Perlindungan Maksimal
-
Sinopsis Kpop Demon Hunters, Idol Kpop Lawan Iblis Pengincar Jiwa Fans
-
Jadi Presiden Snow di Prekuel The Hunger Games, Ini Tanggapan Ralph Fiennes
Ulasan
-
Review Film One Battle After Another: Pusaran Dendam yang Nggak Pernah Padam
-
Review Film Kang Solah from Kang Mak x Nenek Gayung: Sekuel Kocak yang Bikin Penonton Ngakak!
-
Ulasan Novel Mangsa (Prey), Ancaman Kematian di Belantara Montana
-
Hari Tani Nasional: Ini Sejarah dan Makna yang Perlu Kamu Tahu
-
Review Film The Long Walk: Alegori Negara yang Menumbalkan Rakyat
Terkini
-
Bangkok 'Ditelan Bumi'! Jalan di Depan Rumah Sakit Amblas Jadi Lubang 50 Meter
-
Pria Ngaku 'Anggota' Hajar Karyawan Zaskia Adya Mecca di Depan Anak! Dampaknya Bikin Nyesek
-
Marselino Ferdinan Dicoret dari Timnas Indonesia, Keputusan Mengejutkan Patrick Kluivert
-
Jangan Lewatkan! Pasar Lawas Mataram 2025 Hadir 26 September di Kotagede
-
Mengenal Tan Shot Yen, Dokter dan Ahli Gizi yang Kritik MBG di Rapat DPR