Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Ardina Praf
Buku Ibu, Aku Nggak Sekuat Itu (goodreads.com)

Helobagas kembali hadir dengan karya terbaru berjudul Ibu, Aku Nggak Sekuat Itu. Dari judulnya saja, pembaca langsung dihadapkan pada emosi yang dalam, kesan rapuh, lelah, dan penuh kerinduan.

Buku ini menghadirkan kesan seperti sebuah surat yang tak pernah berhasil dikirimkan. Isi hati yang dalam ditujukan untuk seorang ibu, menggambarkan betapa rumit dan beratnya proses menuju kedewasaan. Banyak emosi yang sengaja disimpan rapat-rapat, hanya karena tidak ingin menambah beban di hati sang ibu.

Salah satu bagian yang paling mengena adalah ketika penulis mengungkapkan banyaknya hal yang selama ini ia sembunyikan dari ibunya.

Air mata yang jatuh diam-diam di kamar, kelelahan yang tidak ditunjukkan di depan orang lain, dan beban berat yang harus ia pikul sebagai tulang punggung keluarga.

Kalimat-kalimat seperti “Ternyata jadi dewasa nggak enak ya, Bu?” terdengar relate dengan isi hati pembaca. Karena realitanya banyak yang merasa dituntut untuk kuat hingga sering merasa sendiri.

Rasa rindu pada ibu dan masa kecil juga begitu kuat terasa dalam narasi yang disampaikan. Penulis menggambarkan kerinduan itu dengan kenangan-kenangan sederhana, seperti ingin kembali bersepeda bersama ibu atau sekadar menjadi anak kecil yang tidak perlu memikirkan apa-apa selain bermain.

Bagian ini seperti membuat orang yang membacanya merasa nostalgia dan teringat akan masa kecilnya. Ketika dewasa, masa kecil ini terasa sangat indah dan membuat rindu, mengingat dunis dewasa yang terasa terlalu berat.

Meski mengangkat tema yang relevan bagi banyak orang, kekuatan emosional dalam buku Ibu, Aku Nggak Sekuat Itu justru tidak tergarap secara maksimal.

Alih-alih menyuguhkan pengalaman batin yang terasa baru dan mendalam, sebagian besar isi buku ini hanya seperti mengulang-ulang perasaan yang sudah banyak dibahas dalam karya serupa.

Dengan kata lain, alih-alih tampil sebagai karya yang menyegarkan, buku ini justru menyisakan kesan bahwa ia hanya hadir untuk meramaikan genre, bukan memperkaya atau memperdalamnya. Sayang sekali, padahal potensi dari tema yang diangkat sebenarnya cukup besar jika digarap dengan pendekatan yang lebih orisinal dan menyentuh.

Bagi pembaca yang belum terlalu sering membaca genre tulisan reflektif atau prosa melankolis, barangkali buku ini masih bisa menyentuh hati dan memunculkan rasa empati.

Tak ada kejutan, tak ada sudut pandang baru. Seolah hanya ikut arus tren literasi sedih dan galau yang kini memang sedang digemari. Tulisan-tulisannya cenderung terasa kosong, tidak berjiwa, seperti ditulis hanya untuk menyelesaikan target halaman.

Hal ini tentu cukup disayangkan, mengingat Helobagas selama ini dikenal mampu mengolah emosi menjadi kata-kata yang tajam dan menyentuh. Dalam buku ini, walau masih ada momen-momen menyentuh, tapi kedalaman itu tidak sepenuhnya tergali.

Tidak ada perkembangan gagasan, tidak ada klimaks, bahkan tidak ada pemulihan. Yang ada hanya repetisi rasa lelah, sedih, dan ingin menyera yang akhirnya justru terasa membebani pembaca daripada menguatkan.

Namun, bukan berarti buku ini sepenuhnya tidak layak dibaca. Untuk kamu yang sedang merasa lelah, sedang merindukan ibu, atau butuh tempat untuk mencurahkan perasaan, buku ini mungkin bisa jadi teman di malam-malam sepi.

Akhir kata, Ibu, Aku Nggak Sekuat Itu adalah buku yang niatnya baik, pesannya kuat, namun eksekusinya kurang matang. Helobagas seolah sedang ingin bercerita banyak, tapi tidak sepenuhnya membuka pintu perasaannya. Kalian bisa membaca buku ini ketika dalam suasana hati yang gundah dan mencari sedikit warna dalam hidup.

Ardina Praf