Scroll untuk membaca artikel
Sekar Anindyah Lamase | Ardina Praf
Buku Sesunyi Cahaya (goodreads.com)

Membaca Sesunyi Cahaya karya Adi K bukan hanya soal mengikuti rangkaian kata demi kata, tapi lebih seperti menyingkap tirai menuju ruang batin yang sering kita abaikan. Ruang yang menyimpan tanya tentang siapa kita, untuk apa hidup ini, dan ke mana sebenarnya kita ingin kembali. Buku ini bukan kumpulan puisi biasa.

Buku ini terasa seperti perenungan yang sunyi, dituturkan lewat bahasa yang lembut dan puitis, namun di balik ketenangannya terselip kritik halus yang menggugah.

Setiap kalimat mengajak pembaca untuk tidak sekadar memahami teks, melainkan turut larut dalam pencarian yang tak sederhana. Mengenal diri sendiri, mengenal asal-usul, dan mencoba meraba wujud-Nya dalam hening yang kadang menyakitkan.

Buku ini bisa dibilang sebagai refleksi spiritual dalam bentuk puisi, bukan yang menggurui, tetapi yang menggugah. Setiap baitnya seperti membagkitkan rasa ingin tahu pembacanya, serta ketenangan sekaligus kegelisahan.

Adi K menyusun puisi-puisinya seperti manik-manik yang tampak sederhana, tetapi jika diperhatikan dengan saksama, kita akan sadar betapa dalam makna yang terkandung di dalamnya.

Buku ini tidak menawarkan kepastian dalam bentuk jawaban. Sebaliknya, ia mengundang kita merenung lebih jauh tentang hidup dan akhir, tentang siapa diri kita, dan ke mana sebenarnya kita melangkah.

Keunikan Sesunyi Cahaya terasa kuat lewat pilihan gaya tulisannya yang tak biasa, bahkan nyaris semua kata disusun dalam huruf kecil, kecuali beberapa kata yang tampaknya sengaja ditonjolkan, seolah memberi penekanan pada makna yang lebih dalam.

Di sinilah pembaca diajak aktif, tidak hanya membaca tapi juga mencari.

Di tiap baitnya, tersimpan isyarat-isyarat halus yang sengaja ditanamkan, dengan pilihan kata yang terasa matang dan bukan sekadar rangkaian indah tanpa makna. Bahkan keheningan antarbaris pun terasa bermakna, seolah pesan justru bersembunyi di ruang-ruang kosong yang tak terucap.

Isi buku ini sebagian besar mengangkat tema tentang kehidupan dan kematian, serta pertanyaan besar tentang eksistensi manusia dalam semesta. Tapi semua itu tidak diuraikan dalam uraian panjang atau dogma filosofis yang rumit, melainkan dalam bentuk puisi-puisi pendek, yang sebagian besar hanya terdiri dari satu bait saja.

Justru dalam kesingkatannya itu, kekuatan puisinya terasa. Setiap baris adalah kemungkinan: bisa menenangkan, bisa juga mengguncang.

Salah satu hal yang paling menarik dari Sesunyi Cahaya adalah cara buku ini mendekatkan kita pada Tuhan dengan cara yang tidak biasa.

Bukan dengan memaksakan definisi yang kaku, melainkan dengan menghadirkan ruang untuk kembali menggugat apa yang selama ini kita anggap pasti.

Membaca puisi-puisinya tentang Tuhan bisa memunculkan dua rasa sekaligus, rasa hangat karena merasa dekat, dan rasa haus karena makin ingin tahu.

Dan keduanya sah untuk dirasakan. Karena memang begitulah hakikat pencarian, bukan tentang sampai atau tidak, tetapi tentang keberanian untuk terus menapaki.

Adi K juga seakan mengajak kita untuk menikmati buku ini tanpa terburu-buru. Dengan ukuran kecil yang pas dalam genggaman, buku ini bisa diselipkan di saku atau tas, dibaca di sela waktu, dan direnungkan dalam keheningan.

Tidak ada aturan dalam membaca Sesunyi Cahaya. Tidak perlu urutan. Tidak perlu logika kaku. Karena setiap pembaca akan menemukan maknanya sendiri, sesuai luka dan rindu yang ia bawa saat membuka halaman-halamannya.

Pada akhirnya, Sesunyi Cahaya adalah perjalanan batin yang sunyi namun tidak sepi. Buku ini bukan hanya untuk para pencinta puisi, tetapi untuk siapa pun yang tengah mencari arah, yang pernah merasa kosong, atau sekadar ingin diam dan merasakan.

Buku ini tidak hadir untuk memberi jawaban, melainkan mengajak kita membuka kembali pertanyaan-pertanyaan lama yang mungkin selama ini kita simpan dalam diam. Sebuah karya yang sederhana dalam bentuk, namun luas dan dalam jika diselami dengan hati.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Ardina Praf