Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Rial Roja Saputra
Cover Novel Sunrise on the Reaping. (goodreads.com)

Para penggemar dunia Panem akhirnya mendapatkan apa yang telah lama mereka dambakan. Setelah bertahun-tahun hanya bisa membayangkan dari sepenggal cerita, Suzanne Collins kembali mengundang kita ke dalam mimpi buruk Hunger Games melalui Sunrise on the Reaping.

Novel prekuel yang sangat dinanti ini berjanji untuk menceritakan kisah kemenangan Haymitch Abernathy dalam Second Quarter Quell.

Banyak yang mengira buku ini hanya akan menjadi sebuah pengisi celah narasi, sebuah cerita brutal tentang bagaimana mentor Katniss itu bertahan hidup.

Namun, Collins sekali lagi membuktikan bahwa karyanya jauh lebih dalam dari sekadar pertarungan sampai mati. Ini adalah sebuah eksplorasi kelam tentang psikologi penindasan, sifat harapan yang paradoksal, dan bagaimana sebuah kemenangan tunggal bisa menjadi kutukan seumur hidup.

Quarter Quell Kedua, Horor yang Dibalut Hiburan

Latar belakang dari novel ini adalah Hunger Games ke-lima puluh, sebuah edisi spesial yang dirancang untuk menjadi dua kali lebih mengerikan.

Capitol memutuskan untuk mengirimkan dua kali lipat jumlah tribut dari setiap distrik. Dari permukaan, ini tampak seperti cara sederhana untuk meningkatkan pertumpahan darah demi hiburan. Namun, melalui narasi novel ini, kita diajak untuk melihatnya sebagai sebuah langkah propaganda yang jenius dan kejam.

Collins dengan brilian menunjukkan bahwa Quarter Quell bukanlah sekadar perayaan, melainkan sebuah alat untuk memperbarui rasa takut dan putus asa.

Lewat menggandakan jumlah anak yang direnggut, Capitol tidak hanya menciptakan tontonan yang lebih besar, tetapi juga mengirimkan sebuah pesan matematis yang brutal kepada para pemberontak potensial, bahwa perlawanan akan selalu kalah jumlah dan tidak ada gunanya.

Haymitch Abernathy, Pemenang yang Dikutuk untuk Ingat

Kita semua mengenal Haymitch sebagai sosok pemabuk yang sinis dan rusak. Novel ini tidak hanya menunjukkan bagaimana ia menjadi seperti itu, tetapi juga memberikan sebuah ide baru tentang natur kemenangannya. Haymitch tidak menang hanya dengan kekuatan atau keberuntungan.

Ia menang karena ia cerdas, karena ia melihat sebuah celah dalam sistem arena yang dirancang oleh para Gamemaker dan memanfaatkannya. Kemenangannya adalah sebuah tindakan pembangkangan intelektual. Di sinilah letak kutukan yang sesungguhnya.

Hukuman Capitol kepadanya setelah itu, dengan merenggut semua orang yang ia cintai, hanyalah bagian dari tragedinya. Kutukan terbesarnya adalah ia menjadi seorang pemenang yang mengerti cara kerja sistem dan tahu bahwa sistem itu tidak sempurna. Pengetahuan inilah yang menggerogotinya dari dalam, yang membuatnya berbeda dari pemenang lain.

Ia tidak bisa melupakan karena ia melihat kebenaran yang mengerikan, dan pengetahuan itu menjadi bahan bakar bagi sinismenya selama dua puluh empat tahun kemudian.

Harapan sebagai Pedang Bermata Dua

Judul Sunrise on the Reaping atau matahari terbit di hari pemungutan suara, menyiratkan sebuah paradoks. Bagaimana bisa ada harapan di saat yang paling kelam?

Novel ini dengan tajam mengeksplorasi konsep harapan sebagai pedang bermata dua di dalam sebuah negara totaliter. Bagi Capitol, memberikan sedikit harapan, seperti kemungkinan adanya satu orang pemenang yang bisa hidup dalam kemewahan, adalah alat kontrol yang sangat efektif.

Harapan kecil ini mencegah keputusasaan total yang bisa memicu revolusi besar-besaran. Namun, bagi orang-orang seperti Haymitch, harapan adalah percikan api yang berbahaya. Kemenangannya yang cerdik memberikan harapan sekilas bagi Distrik 12, sebuah bukti bahwa Capitol bisa diperdaya.

Tentu saja, Capitol segera memadamkan harapan itu dengan kebrutalan yang sistematis, menunjukkan kepada semua orang bahwa di Panem, harapan adalah barang selundupan yang paling berbahaya.

Benih Pemberontakan dalam Keputusasaan

Mungkin gagasan terkuat dari novel ini adalah bagaimana ia secara halus menempatkan kembali posisi Haymitch dalam keseluruhan saga The Hunger Games.

Ia bukan lagi sekadar mentor yang rusak secara fungsional. Buku ini melukisnya sebagai fondasi sunyi dari pemberontakan kedua.

Jauh sebelum Katniss Everdeen dengan buah nightlock-nya, Haymitch Abernathy telah menanam benih perlawanan pertama dengan kemenangannya yang berbasis akal.

Kemenangannya membuktikan kepada segelintir orang, termasuk Plutarch Heavensbee yang mungkin saat itu masih muda, bahwa arena itu bisa dikalahkan. Keputusasaan dan penderitaan yang dialami Haymitch selama puluhan tahun bukanlah akhir dari ceritanya.

Itu adalah masa inkubasi, di mana ia menjaga benih pahit pemberontakan itu tetap hidup, menanti datangnya seorang mockingjay yang bisa membuatnya tumbuh.

Pada akhirnya, Sunrise on the Reaping adalah sebuah tambahan yang esensial dan memperkaya dunia Panem. Ia lebih kelam, lebih politis, dan lebih menyakitkan dari yang mungkin kita duga.

Buku ini adalah sebuah pengingat yang kuat bahwa bahkan di tengah penderitaan yang paling ekstrem, sebuah tindakan pembangkangan tunggal, sebuah harapan kecil yang bersinar seperti matahari terbit, memiliki kekuatan untuk mengubah sejarah, bahkan jika fajar sesungguhnya baru akan tiba beberapa dekade kemudian.

Rial Roja Saputra