Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Nurkalina Pratiwi Suganda
Sampul buku Lebih Senyap dari Bisikan (gramedia.com)

Pertambahan usia adalah mimpi buruk bagi semua perempuan pejuang dua garis biru, begitu juga Amara.

Amara merupakan tokoh utama dalam buku Lebih Senyap dari Bisikan. Namun, dia bukan sekadar fiksi 2D yang tidak hidup ataupun nyata. Amara adalah representasi segudang masalah yang dialami perempuan. Mulai dari perempuan karier, perempuan yang mengalami jatuh bangun dalam pernikahan, sampai calon ibu. Semua terpotret secara gamblang dan menyakitkan.

Lebih Senyap dari Bisikan, buah karya Andina Dwifatma yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama bisa ditamatkan dalam sekali duduk karena jumlah halamannya tidak sampai 200. Oleh karena itu, sedikit kurang tepat disebut sebagai novel ataupun cerpen karena jumlah halamannya. Berdasarkan jumlah halaman, buku ini lebih cocok dikategorikan sebagai novelet.

Mendalami Lebih Senyap dari Bisikan

"Di akhirat nanti, kalau aku ketemu Tuhan, akan kutanyakan kenapa Dia bikin tubuh perempuan seperti makanan kaleng. Kubayangkan di bawah pusar atau pantatku ada tulisan: Best Before: Mei 2026."

Kutipan tersebut menggambarkan cara pandang perempuan—dalam konteks ini Amara—dengan masa suburnya.

"Best Before: Mei 2026" secara eksplisit mengungkap fakta bahwa, memang benar, perempuan dibatasi usia untuk bisa memiliki keturunan. Perempuan pejuang dua garis biru merasa dikejar-kejar umur karena keadaan biologis mereka, sangat jauh berbeda dari laki-laki.

Premisnya memang sangat sederhana, temanya pun bertebaran di mana-mana, tetapi cara Andina Dwifatma dalam mengemas kenyataan ini sangatlah apik, kreatif, dan unik.

Adapun pemilihan judul yang sukses mengundang rasa penasaran pembaca. Lebih Senyap dari Bisikan, kata "bisikan" saja sudah hampir tidak terdengar, bagaimana dengan bisikan yang senyap? Apa maksud penulis memilih judul ini?

Dari judul tersebut, pembaca dibawa terbang ke atas awan-awan pertanyaan. Rasa penasaran itu akan membuat kita membuka halaman dan mencerna lebih banyak paragraf. Kemudian, kita akan terjerat dalam lika-liku kehidupan yang relatable. Di sinilah langkah cerdik dalam menahan pembaca agar tidak menutup buku sembari berkata, "Nggak seru." itu tampak dengan jelas.

Selain judul, wara (blurb) di belakang buku juga membuat hati pembaca jatuh ke perut. Kapan lagi ada satire masa subur perempuan yang diekspresikan melalui tanggal kedaluwarsa?

Sebagai tokoh utama, yang mayoritas isi kepala dan sudut pandangnya ditulis mentah-mentah, Amara dengan mudah menciptakan koneksi antara dirinya dengan pembaca, khususnya perempuan.

"Novel ini membuka mata pembaca dengan kisah Amara dan pahit manis kehidupan perempuan dalam menemukan apa yang berharga."

Amara dan Keramaian Isi Kepalanya

Tentu saja karena buku ini adalah wujud nyata dari satire yang menyakitkan, kita akan menemukan banyak kejanggalan.

Isi pikiran Amara disampaikan melalui celetukan nyeleneh tanpa rasa malu sedikit pun. Ini membuat pembaca terkikik geli seketika, untuk kemudian diempas pada kenyataan bahwa hal yang digerutukan Amara juga terjadi pada banyak perempuan di dunia nyata.

Penyampaian yang komikal justru membuat ratusan duri menancap dalam hati secara halus, lembut, dan penuh kehati-hatian. "Berat, ya, hidup sebagai perempuan."

Meskipun demikian, satire komikal dalam buku Lebih Senyap dari Bisikan menjadi alasan utama untuk menikmati bacaan dalam sekali duduk. Konflik yang disampaikan memang sangat berat, draining, dan cukup untuk memantik rasa sakit. Namun, cara penulis mengutarakan dan mengemas plot sangat berhak diacungi jempol.

Dari pikiran dan sikap Amara yang nyeleneh sekaligus blak-blakan, kita masih bisa memercayai bahwa masalah seberat apa pun, pasti ada jalan keluarnya (ya, walaupun syarat dan ketentuan berlaku karena limit tiap orang itu berbeda).

Saya rasa, meskipun pembaca tidak mengenakan sepatu Amara sepenuhnya, rasa sakit itu akan tetap hadir. Ada dan membekas, yang kemudian jadi pengingat bahwa apa yang Amara alami juga dirasakan banyak perempuan di luar sana, termasuk kita sebagai pembaca.

Sekilas, Lebih Senyap dari Bisikan bisa dianggap sebagai buku yang membuat kita takut terhadap pernikahan. Nyatanya, buku ini lebih dalam dari masalah pasangan suami istri, ada insight supaya kita tidak terburu-buru sebab modal cinta saja tidak cukup. Kita harus lebih matang dalam memutuskan hubungan ke jenjang serius, sekaligus menyikapi berbagai permasalahan secara dewasa dan kepala dingin.

Lebih Senyap dari Bisikan adalah novelet yang layak dibaca, dipahami, serta direnungi setidaknya sekali seumur hidup.

Nurkalina Pratiwi Suganda