Ada yang aneh tapi menakjubkan dalam cara Sutradara Park Chan-wook menatap dunia ini. Dia nggak pernah menuding secara langsung, tapi film-filmnya selalu ada sindiran tajam, dingin, dan kejam soal menyikapi segala hal buruk di dunia ini. Kali ini fokusnya soal kapitalisme.
Dalam Film No Other Choice yang tayang di bioskop Indonesia sejak 1 Oktober 2025, kapitalisme bukan lagi sebatas sistem ekonomi, tapi sudah menjelma jadi semacam ‘dewa’ yang diam-diam menelan jiwa manusia satu per satu. Dan Park Chan-wook, dengan gaya khasnya yang estetis sekaligus brutal, memaksa sinefil menatap wajah rakus dengan permainan visual sinematik yang sangat mengesankan.
Film ini jelas sekali berdiri di perbatasan antara realisme sosial dan tragedi. Latar dunianya terasa akrab, termasuk mulai dari adanya perusahaan besar dan manusia-manusia yang terus bergerak tanpa arah selain menuju ‘sukses’. Namun, Park Chan-wook nggak tertarik menjelaskan kapitalisme lewat teori atau retorika, justru dia menelanjangi efeknya. Dalam filmnya, dia memperlihatkan bagaimana obsesi terhadap efisiensi, keuntungan, dan status sosial bisa menggerus nilai-nilai kemanusiaan sampai habis.
Bahkan terkait caranya mengubah dunia kapitalis jadi panggung moral dalam film itu menarik banget. Semua karakternya tampak sibuk ‘membangun masa depan’, tapi kita tahu, dari cara Sutradara Park Chan-wook menyorot detail kecil, yang misalnya tatapan kosong di kantor, tangan gemetar di bawah meja, atau senyum yang terlalu dipaksakan yang menandai bahwa mereka sedang kehilangan sesuatu yang jauh lebih besar, kita jadi paham kalau kapitalisme bekerja seperti virus yang menular, halus, dan nyaris nggak bisa dilawan.
Park Chan-wook tampak paham benar kapitalisme di era modern bukan cuma sistem ekonomi, tapi juga semacam logika hidup yang merasuki bahasa, hubungan, bahkan cinta.
Maka dari ini saja kita paham, sang sutradara nggak sekadar mengkritik kapitalisme, tapi juga menunjukkan bagaimana manusia belajar mencintai penindasnya. Mereka mencintai struktur yang menindas mereka karena dari sanalah datang rasa ‘berarti’. Orang-orang dalam film ini terus mengejar validasi, terus berkompetisi, terus ingin ‘menang’, tapi kemenangan itu hampa.
Menariknya, film ini nggak pernah mengkhotbahkan moral. Justru menantang kita buat merenung. Misalnya, apa yang tersisa dari manusia saat seluruh hidupnya ditakar dengan angka? Apakah kita masih punya ruang untuk kesalahan, empati, atau kebahagiaan yang nggak produktif?
Yang paling menyeramkan, mungkin, kesadaran bahwa kita semua adalah bagian dari dunia itu. Park membuat ‘No Other Choice’ bukan hanya sebagai film, tapi sebagai media perenungan. Kita menonton orang yang hancur karena ambisi, tapi diam-diam kita tahu kalau kita juga sedang hidup seperti mereka. Kita juga bekerja terlalu keras, mencintai validasi, dan takut kehilangan posisi.
Dan di titik inilah ‘No Other Choice’ terasa menghentak. Film bagus selalu punya cara membuat kita berhenti sejenak dan menatap diri sendiri. Bukan karena adegannya megah atau aktingnya sempurna, tapi karena memaksa kita menyadari sesuatu yang selama ini kita abaikan.
Yup, kita tumbuh di dunia yang membisikan bahwa nilai manusia ditentukan dari seberapa produktif dirinya bisa jadi apa. Dari betapa cepat dia memanjat tangga karir, membeli rumah, punya mobil, atau sekadar ‘terlihat bahagia’ di media sosial. Sungguh, film ini menguliti ilusi itu dengan apik.
Mungkin itu sebabnya Film No Other Choice disebut-sebut sebagai salah satu film terbaik tahun 2025 karena keberaniannya menghentak, mengguncang, dan menelanjangi dunia yang kita ciptakan sendiri. Jika Sobat Yoursay mau nonton, tontonlah!
Baca Juga
-
Bangga! Omara Esteghlal muncul di 'Romantics Anonymous' Bareng Bintang Asia
-
Nasib Film Fast & Furious 11 Masih Gantung, Bisa Batal Digarap Nih!
-
Film Animasi Anak Rasa Dewasa! 'The Twist' Tawarkan Humor dan Kritik Sosial
-
Film Terbaik 2025! 'No Other Choice Begitu Gila dan Mengesankan
-
Drama Religi yang Menguras Emosi, Film Air Mata Mualaf Wajib Ditonton
Artikel Terkait
-
Review Film Regretting You: Sebuah Kisah Pengkhianatan dan Cinta yang Rapuh
-
Brendan Fraser Reuni Lagi dengan Rachel Weisz di Film The Mummy Terbaru
-
4 Fakta Menarik Film Sosok Ketiga: Lintrik, Ternyata Bukan Sekuel!
-
16 Tahun Jadi Aktor, Wafda Saifan Ungkap 3 Keinginan Terpendam
-
Wafda Saifan Ogah Disebut Antagonis di Film Riba: Tergantung Sudut Pandang
Ulasan
-
Review Film Regretting You: Sebuah Kisah Pengkhianatan dan Cinta yang Rapuh
-
5 Buku Parenting Seru dengan Ilustrasi Menarik untuk Orang Tua Modern
-
Mamaku Hebat: Keteguhan Seorang Ibu di Tengah Keterbatasan
-
Film Animasi Anak Rasa Dewasa! 'The Twist' Tawarkan Humor dan Kritik Sosial
-
Review Film Rosario: Kutukan yang Menggali Luka Keluarga dan Identitas!
Terkini
-
4 Lifting Cream dengan Kandungan Peptide, Bikin Wajah Kencang Tanpa Botox
-
Terinspirasi dari Karier sang Ibu, Ternyata Ini Cita-Cita Awal Yura Yunita!
-
Sinopsis Game Change, Drama Jepang Terbaru Motoki Nakazawa dan Ren Ishikawa
-
Dihajar Zambia, Timnas Indonesia U-17 Butuh Evaluasi Penuh?
-
Brendan Fraser Reuni Lagi dengan Rachel Weisz di Film The Mummy Terbaru