Kimo Stamboel, sutradara yang kreatif dan inovatif, telah mengukir prestasi mengesankan dalam perfilman horor Indonesia melalui film "Badarawuhi di Desa Penari". Meskipun terkenal dengan film-film horor penuh dengan adegan gore bikin ngilu, seperti dalam film-film sebelumnya: "Rumah Dara" dan "Ivana", tetapi di sini, Kimo mampu menunjukkan fleksibilitasnya dengan mengadopsi pendekatan berbeda dalam "Badarawuhi di Desa Penari".
Bisa kubilang, selepas menonton Film Badarawuhi di Desa Penari untuk kesekian kali, menurutku peran sutradara Kimo Stamboel sangat besar dalam kesuksesan filmnya, karena dia mampu mengendalikan ketegangan secara perlahan melalui pendekatan horor slowburn. Meskipun dia pada dasarnya terampil dalam adegan ekstrem, tetapi di sini Kimo justru lebih memilih fokus pada pengembangan karakter dan atmosfer mencekam.
Dengan latar belakang dirinya, sudah dikenal sebagai sines film yang suka bikin scene ‘gore bin sadis’, tapi kerennya dalam Film Badarawuhi di Desa Penari, dia nggak tergoda untuk menampilkan adegan bikin ngilu secara jor-joran, melainkan memilih untuk membangun ketegangan dengan cermat. Pendekatan semacam itu, tampaknya sudah memberikan kedalaman emosional pada tiap karakter dan menjaga penonton terlibat dalam kisahnya dan menciptakan pengalaman nonton yang mengesankan.
Dengan menggunakan elemen-elemen seperti, setting terisolasi di tengah hutan belantara dan situasi yang tergambar begitu teliti dan autentik, Kimo berhasil menciptakan atmosfer menggigit dan memikat penonton. Dia benar-benar mampu mengisi setiap sudut layar dengan elemen-elemen memperkuat ketegangan, sehingga menciptakan pengalaman sinematik yang asyik.
Selain itu, kemampuan Kimo dalam mengarahkan para aktor dan aktris juga patut diapresiasi. Dengan bantuan jajaran pemain berbakat, seperti Maudy Effrosina, Aulia Sarah, dan Claresta Taufan Kusumarina, Kimo berhasil menghadirkan penampilan yang cukup mencuri perhatian.
Jadi, jelas ya, dalam "Badarawuhi di Desa Penari", Kimo Stamboel membuktikan dirinya nggak hanya mahir dalam adegan-adegan ‘gore sadis bin ekstrem’, melainkan juga mampu mengeksplorasi nuansa horor yang kompleks dan subtil. Jujur, nih, menurutku lagi, kehadirannya dalam proyek ini nggak hanya menegaskan kepiawaiannya dalam mengarahkan adegan-adegan mematikan, tetapi juga kemampuannya untuk merangkul aspek-aspek lain yang nggak melu-melu adegan sadis dan berdarah-darah. Sebagai hasilnya, "Badarawuhi di Desa Penari" menjadi bukti kecakapan Kimo Stamboel.
Terlepas horor slowburn memang ‘nggak mudah disukai oleh banyak orang’, karena membutuhkan kesabaran dan konsentrasi untuk menikmatinya. Namun, Kimo Stamboel berhasil membawa genre ini ke tingkat yang baru dengan kepiawaian dan ketelitian dalam penyutradaraannya. Cerita yang disusun secara runut dan detail yang diperlihatkan dalam setiap adegan sangat pas.
Meskipun jumlah jumpscare dalam film ini dapat dihitung dengan jari, kehadiran efek kejut itu tetap berhasil mempertahankan ketegangan dan ketertarikan penonton sepanjang film. Dan bagi yang nggak terlalu menyukai horor slowburn, treatment semacam ini, mungkin hanya masalah selera pribadi. Namun, fakta bahwa "Badarawuhi di Desa Penari" berhasil memikat sebagian besar penonton, nggak dapat disangkal. Kimo Stamboel dengan jelas telah membuktikan keberhasilannya sebagai sosok sutradara.
Dengan demikian, peran Kimo Stamboel dalam kesuksesan "Badarawuhi di Desa Penari", melalui keputusan kreatifnya untuk mengadopsi pendekatan horor slowburn dan kemampuannya dalam mengarahkan para pemain, dia telah berhasil menciptakan sebuah karya yang ‘menegangkan, memikat, dan layak ditonton jutaan penonton.
Kamu sudah nonton Film Badarawuhi di Desa Penari belum? Mumpung masih tayang di bioskop, yuk sempatkan nonton sebelum filmnya turun layar. Nah, buat yang sudah pada pesat tiketnya, selamat nonton.