Mengenal Sleep Paralysis: Fenomena yang Sering Dikenal sebagai Tindihan

Hernawan | Diah Wiraning Setya Utami
Mengenal Sleep Paralysis: Fenomena yang Sering Dikenal sebagai Tindihan
Ilustrasi seorang lelaki mengalami ketindihan. [Shutterstock]

"As you're falling asleep or waking up, you experience a temporary inability to move," Denis, 2015. Mengacu pada kutipan di atas, tentu beberapa dari kalian merasa tidak asing dengan fenomena tersebut. Pernahkah kalian merasa seperti terbangun dari tidur, tetapi di satu sisi tubuh tidak dapat digerakkan? Ketika berusaha mengeluarkan suara atau teriakkan, rasanya sia-sia saja karena suara itu teredam dan tidak dapat terdengar lantang.

Kebanyakan dari kalian pasti pernah mengalami fenomena ini, setidaknya satu kali bukan? Ternyata terdapat penjelasan mengenai fenomena ini. Yuk mengenal lebih lanjut fenomena yang dinamakan Sleep Paralysis.

Fenomena ini dikenal sebagai sleep paralysis atau kelumpuhan tidur yang diperkenalkan pertama kali pada 1876, oleh seorang ahli saraf Amerika bernama Silas Weir Mitchell. Ia menemukan fenomena tersebut terjadi pada dua pria muda yang artinya hal ini dapat terjadi pada semua kalangan usia.

Sleep paralysis terjadi ketika seseorang terbangun dengan kesadaran penuh akan lingkungan sekitarnya. Namun, ia tidak mampu menggerakkan tubuh dan masih dalam posisi tidur (Mitchell, 1876).

Sejalan dengan pengamatan Mitchell, muncul beberapa penelitian baru yang mengungkapkan hal ini, salah satunya dimuat dalam sebuah buku berjudul The Anatomy of Sleep. Dalam buku tersebut, dijelaskan fenomena ini termasuk dalam mimpi buruk dan ketidakmampuan untuk bergerak, berbicara, sulit bernafas, dan ketakutan yang luar biasa.

The American Sleep Disorder Association (1990) juga menjelaskan bahwa sleep paralysis merupakan keadaan lumpuh sementara untuk dapat bergerak dan berbicara ketika tertidur atau saat bangun dari tidur, yang dialami seseorang saat masa transisi.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Cheyne (1999), 30 persen dari sampel yang ada menunjukkan bahwa semasa hidupnya pernah mengalami setidaknya satu kali fenomena ini. Hal ini umumnya terjadi pertama kali pada usia 14-18 tahun dan tidak menutup kemungkinan akan terjadi kembali.

Masyarakat Indonesia maupun beberapa negara lainnya mengaitkan fenomena ini dengan kejadian supranatural, seperti terdapat sosok tak kasat mata yang menimpa tubuh, suara derap langkah, bahkan ketakutan sosok itu akan mencelakai kita.

Sebenarnya hal tersebut berasal dari sugesti semata. Sebab, pada dasarnya fenomena ini dapat dijelaskan secara ilmiah. Perasaan ketakutan dan beberapa kasus sleep paralysis yang disertai halusinasi kehadiran sosok tak kasat mata terjadi karena bagian otak yang memproses rasa takut yaitu amigdala, sedang aktif selama fase tidur Non-REM. Amigdala menjadi pemicu kecemasan dan ketakutan yang selama ini dianggap sebagai "tindihan".

Siklus tidur sendiri diatur oleh bagian otak bernama hipotalamus. Menurut Perry & Potter (2005), tahapan tidur terdiri dari Non-REM 1 (tidur ringan), Non-REM 2 (tidur lebih dalam), Non-REM 3 (tidur paling dalam), dan REM (terjadinya mimpi). Sleep paralysis terjadi ketika seseorang tiba-tiba tersadar sebelum siklus Rapid Eye Movement (REM) berakhir, sehingga mengalami kesulitan bergerak bahkan berbicara (Cheyne, 2002).

Apa yang menyebabkan kesulitan bergerak? Ketika terbangun di fase sebelum REM, otak sedang mengistirahatkan seluruh otot pada tubuh manusia sebagai akibat dari penekanan skeletal muscle tone oleh pons dan ventromedial medulla, yang dipengaruhi oleh neurotransmiter (asam aminobutirat dan glisina) yang menghambat neuron motorik di sumsum tulang belakang. Hal inilah yang menyebabkan otak belum siap untuk mengirimkan kembali sinyal bangun yang mengakibatkan tubuh “terasa dijerat” dan tidak bisa bergerak.

Lantas, faktor apa saja yang dapat memicu terjadinya sleep paralysis ini? Sebenarnya belum diketahui pasti pemicu fenomena ini. Namun hal ini umumnya terjadi pada seseorang dengan gangguan psikologis seperti post-traumatic stress disorder, anxiety-related disorders dan stress.

Jadwal tidur yang tidak teratur dan kurangnya waktu tidur juga menjadi faktor pendukung. Gejala umum yang ditunjukkan ketika mengalami fenomena ini adalah badan tidak dapat digerakkan, dada seperti terhimpit sesuatu yang mengakibatkan sulit untuk bernapas, berhalusinasi bahkan sampai merasa ketakutan seperti ada yang mengawasi.

Hal ini dapat berlangsung dalam hitungan detik bahkan sampai menit. Ketika mengalami sleep paralysis, coba untuk berusaha tetap tenang dan menggerakan anggota tubuh secara perlahan, karena jika sensasi panik menguasai, justru akan membuat kita semakin tertekan.

Melalui pendekatan medis, sleep paralysis dapat ditangani dengan melihat terlebih dahulu konteksnya seperti apa. Dalam arti jika murni tanpa faktor psikologis penderita, pertama-tama terlebih dahulu diberikan pemahaman akan sleep paralysis agar ketika mengalami kembali dapat lebih tenang.

Namun, ketika faktor psikologis yang mendasari, maka ada baiknya untuk mendatangi konselor profesional. Terdapat beberapa upaya yang dapat diterapkan untuk mencegah hal ini, yaitu dengan menghindari tidur larut malam, meminimalisir terjadinya stres, dan yang paling utama berdoa sebelum tidur.

Sleep paralysis ini menjadi fenomena yang cukup sering dialami oleh individu. Namun, masih adanya miskonsepsi yang berkaitan dengan supranatural, membuat masyarakat justru lebih memilih untuk mengunjungi pemilik kekuatan gaib sebagai solusi.

Oleh karena itu, penting sekali untuk memberikan edukasi kepada masyarakat terkait fenomena ini lebih lanjut, agar kedepannya mampu untuk lebih memahami dan mengerti bahwa fenomena ini bagian dari ilmiah.

Daftar Pustaka

  • Goode, G. B. (1962). Sleep paralysis. Archives of Neurology, (6)3, 228-234. https://doi.org/10.1001/archneur.1962.00450210056006
  • Herman, J. (1997). An instance of sleep paralysis in Moby-Dick. Sleep, (20)7, 577-579. https://doi.org/10.1093/sleep/20.7.577
  • Permata, K. A., & Widiasavitri, P. N. (2019). Hubungan antara kecemasan akademik dan sleep paralysis pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana tahun pertama. Jurnal Psikologi Udayana, (6)1, 1-7. https://doi.org/10.24843/JPU.2019.v06.i01.p01 
  • Olunu, E., Kimo, R., Onigbinde, E. O., Akpanobong, M. U., Enang, I. E., Osanakpo, M., Monday, I. T., Otohinoyi, D. A., Fakoya, A. O. J. (2018). Sleep paralysis, a medical condition with a diverse cultural interpretation. International Journal of Applied Basic Medical Research, (8)3, 137-142. https://doi.org/ 10.4103/ijabmr.IJABMR_19_18
  • Medicine, D. (2017, November 22). What is sleep paralysis? [Video]. https://youtu.be/2lkkF4hJGUU 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak