Sekarang, hampir semua orang ngomongin soal mental health. Di media sosial, FYP kita dipenuhi dengan kata-kata kayak healing, self-care, atau boundaries.
Kita menata feed Instagram dengan kutipan stoikisme dan bangga kalau bisa bilang "tidak" pada hal-hal yang menguras energi. Tapi, jujur saja, berapa banyak dari kita yang benar-benar berani datang ke psikolog saat lagi tidak baik-baik saja?
Nyatanya, masih banyak yang takut. Takut dicap lemah. Takut dikira “gila”. Takut orang lain akan bergosip di belakang. Akhirnya, banyak yang memilih untuk pura-pura kuat, padahal di dalam kepala lagi berantakan banget.
Stigma 'Orang Gila' yang Masih Bikin Malu
Selain masalah akses, hal terbesar yang membuat orang enggan ke psikolog adalah stigma. Dalam studi International Journal of Mental Health Systems, disebutkan kalau stigma ini datang dalam banyak bentuk, bisa dari masyarakat, keluarga, sampai dari diri kita sendiri (self-stigma).
Masih banyak orang yang berpikir, “Ngapain ke psikolog? Kurang doa aja kali.” Atau, “Masalah kayak gitu, mah, dibawa santai aja.” Kalimat-kalimat seperti ini membuat banyak orang merasa bersalah hanya karena mereka sedang sedih atau cemas.
Warisan 'Harus Kuat' yang Bikin Kita Diam-diam Hancur
Kita tumbuh di budaya yang menganggap "kuat" itu artinya tidak boleh nangis, tidak boleh mengeluh, apalagi minta bantuan. Jadinya, banyak yang akhirnya memilih untuk “diam-diam hancur”.
Padahal, nyatanya kesehatan mental itu sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Kalau badan kita sakit, kita ke dokter. Kenapa pas pikiran kita yang sakit, kita malah diam?
Masalah Klasik: Mahal dan Susah Dicari
Faktanya, menurut penelitian dari Journal of Global Health Neurology & Psychiatry, Indonesia masih punya kesenjangan yang sangat besar di bidang layanan kesehatan mental.
Jumlah psikolog dan psikiater sangat sedikit, terutama di luar kota-kota besar. Belum lagi soal biaya yang tidak murah dan minimnya dukungan dari sistem kesehatan nasional. Jadi, wajar kalau banyak orang merasa, “Mending tahan sendiri, deh.”
Minta Bantuan Itu Bukan Lemah, tapi Berani
Generasi sekarang sebenarnya lebih terbuka soal mental health, tapi kadang kita masih berhenti di level “awareness” atau kesadaran saja. Padahal, langkah selanjutnya yang paling penting justru adalah mencari bantuan profesional saat dibutuhkan.
Minta bantuan itu bukan tanda kelemahan. Justru, itu adalah tanda bahwa kamu cukup berani untuk jujur pada dirimu sendiri. Karena kadang, cara terbaik untuk sembuh bukanlah dengan pura-pura bahagia, tapi dengan menghadapi apa yang sebenarnya kamu rasakan.
Studi juga mengatakan bahwa masalah mental health di Indonesia bisa membaik jika edukasi publik dan dukungan komunitas diperkuat.
Artinya, perubahan itu bisa dimulai dari kita. Bisa dari cara kita membicarakan isu ini tanpa menghakimi, dari keberanian untuk bilang, “Gue butuh bantuan,” dan dari empati untuk teman yang sedang berjuang.
Kesehatan mental bukan tren, tapi kebutuhan. Jadi, kalau kamu merasa dunia mulai terlalu berat, jangan takut untuk datang ke psikolog. Karena kadang, langkah kecil untuk masuk ke ruang konseling bisa menjadi awal yang besar untuk hidup yang lebih tenang.
Penulis: Flovian Aiko