ASEAN Hedging di Tengah Kekuatan Ekonomi Cina-Jepang

Tri Apriyani | Angelina Chiqui
ASEAN Hedging di Tengah Kekuatan Ekonomi Cina-Jepang
Illustrasi infrastruktur kereta cepat. (unsplash.com)

Sejak abad 20-an Jepang memiliki kepentingan untuk melakukan re-Asianization dengan slogan Datsu-O Nyu-A supaya dapat menguatkan kembali posisinya dalam politik internasional dengan menjadi hegemon di Asia (Hall, 1996). Kepentingan tersebut melatarbelakangi eksistensi Jepang di Asia Tenggara sebagai mitra pengembangan infrastruktur kawasan Asia Tenggara.

Selaras dengan program dan strategi Abe dalam meningkatkan posisi Jepang di Asia, kerja sama infrastruktur merupakan strategi perluasan pasarnya yang didorong dengan peningkatan investasi di Asia Tenggara. Namun, proyek BRI Cina di Asia Tenggara juga bertujuan melakukan ekspansi pasar melalui pembukaan koridor ekonomi kawasan industri sehingga terjadi peningkatan rivalitas dan kompetisi kedua negara dalam ekspansi pasar (Zhao, 2018).

Berkelindan dengan konteks geopolitik, rivalitas Cina-Jepang dalam perebutan pengaruh di Asia Tenggara bukan hanya dilakukan dalam pendekatan ekonomi, melainkan juga dalam pendekatan politik dan keamanan (Boon, 2017). 

Awal mula kerja sama infrastruktur Asia Tenggara dilakukan oleh Jepang melalui ADB dan dukungan ODA-nya, bahkan TPP yang dipimpin AS juga bertujuan mendorong percepatan dan penguatan kerja samanya (Yoshimatsu, 2018). Namun, dekade ini kehadiran Cina di Asia Tenggara melalui AIIB, BRI, dan ACFTA mempengaruhi skema kerja sama yang telah dibangun sebelumnya oleh Jepang sehingga untuk melawan BRI, Jepang harus menawarkan skema kerja sama dengan pendekatan berbeda (Yoshimatsu, 2018).

Salah satu bukti rivalitas keduanya di Asia Tenggara adalah proyek kerja sama Indonesia-Cina dalam pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung pada tahun 2015 yang menimbulkan kekecewaan Jepang (Waluyo, 2016). 

Negara-negara Asia Tenggara yang dihadapkan dengan kebangkitan Cina terlihat lebih memilih strategi hedging untuk mengelola tantangan dan menyeimbangkan posisi tawar antara ASEAN dan Cina (Shekhar, 2012).

Dalam hal ini, Jepang juga ditarik melalui kebijakan honest brokerage yang bertujuan untuk menghadirkan pemangku kepentingan lain—dengan kuasa yang dapat menyeimbangi kekuatan Cina—di ASEAN (Shekhar, 2012). Meskipun begitu, ASEAN harus tetap membangun identitas kolektif dalam merespons agresivitas dan persuasi negara hegemon supaya pengaruhnya dapat terbendung dan tidak memecah ASEAN (Shekhar, 2012).

Cina menawarkan berbagai kerangka kerja sama infrastruktur pada ASEAN. Dalam proyek BRI, elit kebijakan Cina berkomitmen bahwa, ASEAN merupakan prioritas diplomasi Cina ekspektasinya besar terhadap kesuksesan BRI di ASEAN—Asia Tenggara dinilai lebih potensial untuk membangun kolektivitas BRI, terlebih posisi maritim ASEAN yang strategis dan didukung berbagai mekanisme multilateral untuk meningkatkan posisi strategisnya (Gong, 2018).

BRI merupakan proyek dengan mekanisme bilateral dan sub-regional yang mempengaruhi konektivitas besar regionalisme ASEAN terhadap keamanan Cina sehingga muncul peningkatan investasi yang signifikan bagi Asia Tenggara setelah menteri negara-negara ASEAN menunjukan dukungannya terhadap peningkatan sinergi BRI dan strategi pembangunan ASEAN melalui KTT Asia Timur ke-6 tahun 2016—hasil proyek konektivitas utama Asia Tenggara di bawah BRI adalah Zona Ekonomi Khusus Kyaukpyu, China-Laos Railway, dan Pipa Gas Cina-Myanmar (Gong, 2018).

ASEAN dan Cina juga telah menegosiasikan kesepakatan ACFTA sampai akhirnya berhasil menetapkan penurunan tarif sejumlah besar lini produk di bawah lima persen, meningkatkan perdagangan bilateral sebanyak lima kali lipat dengan multiplier effect yang substansial, mendorong peningkatan keuntungan dari spesialisasi produk dan skala ekonomi yang berekspansi, meningkatkan perdagangan jasa, serta membangun infrastruktur ASEAN untuk pertumbuhan ekonomi kedepannya (Chakraborty & Kumar, 2012).

ACFTA mengindikasi kemampuan Cina sebagai penyedia sumber permintaan regional berlandaskan pengembangan konektivitas regional—area ekonomi prioritas ASEAN (Ba, 2014). Mempersuasi ASEAN lebih lanjut, AIIB dari Cina akan memprioritaskan ASEAN guna meningkatkan konektivitas ASEAN dan relasi ekonomi ASEAN-Cina (Mishra, 2016). 

Banyak kekhawatiran strategis dan keamanan dari negara-negara Asia Tenggara terhadap Cina sehingga kewaspadaan politik pun turut meningkat di kawasan ASEAN secara kolektif (Gong, 2018). Jepang yang sebelumnya sudah bertanggung jawab terhadap pembangunan ASEAN juga meningkatkan skeptisme negara-negara Asia Tenggara terhadap Cina (Ba, 2014).

Citra investasi Cina yang negatif mendorong kekhawatiran ASEAN akan keberlanjutan pendanaan untuk merealisasikan visi BRI sehingga muncul lebih banyak penawaran inisiatif alternatif lain untuk mendiversifikasi hubungan ekonominya dan memenuhi kepentingan pendanaan eksternalnya (Gong, 2018).

Pra-reformasi tarif ACFTA sudah merugikan ASEAN karena peningkatan defisit perdagangannya terhadap Cina—pembuatan infrastruktur baru juga meningkatkan arus masuk impor Cina (Chakraborty & Kumar, 2012). Dengan demikian, diketahui urgensi strategi ASEAN hedging—dengan meningkatkan kolektivitas respons dan konektivitas intra-jaringan—guna meningkatkan daya tawar dan global value chain-nya serta implementasi honest brokerage guna mendiversifikasi bantuan ekonominya. 

Merespons ekspansi pengaruh Cina, Jepang menawarkan strategi pembangunan infrastruktur baru—Partnership for Quality Infrastructure—yang lebih menekankan pada peningkatan kualitas infrastruktur mitranya. Secara spesifik, ADB mengakomodasi $110 sebagai investasi pengembangan inovasi dan kualitas infrastruktur yang melibatkan sektor publik dan privat (Bhagawati, 2016).

Diidentifikasi, Jepang yang berkontestasi dengan Cina telah mengimplementasikan smart power (Pascha, 2019). Jepang juga berkomitmen untuk membangun kerja sama infrastruktur yang lebih kolaboratif dan konstruktif dengan memprioritaskan permintaan dan kepentingan ASEAN (Wallace, 2019). Bahkan, Jepang juga membangun kemitraan strategis yang mengintegrasikan kerja sama sektor keamanan dan ekonomi—mendorong partisipasi SDF, ODA, dan JICA—salah satunya dengan memberi bantuan pelatihan dan transfer of knowledge pada negara yang bersengketa dalam Laut Cina Selatan (Trinidad, 2018).

Terlepas dari itu, skeptisme masyarakat Asia Tenggara terhadap respons Jepang masih dominan—Jepang dengan karakteristiknya yang misterius dianggap berpotensi menjadi ancaman militer, melakukan dominasi ekonomi, eksploitatif, dan memunculkan ketimpangan metode bisnis yang hanya menguntungkan Jepang (Emmerson, 1971).

Namun, Jepang yang kesulitan menyeimbangi hard power Cina memilih untuk berkolaborasi dengan Cina belakangan ini—dengan ketentuan yang berlaku—salah satunya Jepang menyediakan konsultasi AIIB dan ADB terkait aspek prosedural, administratif, dan pendanaan proyek infrastruktur (Wallace, 2019). Kolaborasi keduanya berhasil mendorong Thailand menjadi pusat logistik dan produksi (Wallace, 2019). 

Dianalisis lebih lanjut, rivalitas dari Cina-Jepang tetap menguntungkan bagi ASEAN. Cina yang berusaha mempersuasi negara-negara Asia Tenggara dengan tujuan mengekspansi pengaruhnya telah mengamplifikasi skeptisme ASEAN terhadap kerja sama investasi infrastruktur Cina-ASEAN. Namun, ketika strategi hedging diimplementasikan, kekuatan Cina dapat dibendung, sementara ASEAN mengimplementasikan kebijakan honest brokerage-nya.

Menarik Jepang yang merupakan mitra kerja sama ASEAN terdahulu memunculkan respon yang lebih asertif dari Jepang untuk menginisiasi alternatif kerja sama investasi infrastruktur yang lebih egaliter, inovatif, dan berkualitas. Meskipun begitu, satu rekomendasi penting yang harus diperhatikan kembali oleh ASEAN adalah aspek konektivitas dan kolektivitas dalam pengambilan keputusan sehingga akan terbangun aliansi regional yang lebih kuat terlepas dari eksistensi ancaman negara-negara hegemon lainnya.

Referensi

  • Ba, A. D. (2014). Is China leading? China, Southeast Asia and East Asian integration. Political Science, 66(2), 143-165. doi: 10.1177/0032318714557142 
  • Bhagawati, J. (2016). Japan’s Grand Strategy to Counter China: An Analysis of the “Partnership for Quality Infrastructure”. ICS Analysis, 41, 1-8.
  • Boon, H. T. (2017). Anatomy of a rivalry: China and Japan in Southeast Asia. In The Routledge handbook of Asian security studies (pp. 345-356). Routledge.
  • Chakraborty, D., & Kumar, A. (2012). ASEAN and China: New dimensions in economic engagement. China Report, 48(3), 327-349. doi: 10.1177/0009445512462300.
  • Emmerson, J. (1971). Arms, Yen and power: The Japanese dilemma. New York: Dunellen.
  • Gong, X. (2019). The Belt & Road Initiative and China’s influence in Southeast Asia. The Pacific Review, 32(4), 635-665. doi: 10.1080/09512748.2018.1513950
  • Hall, I. P. (1996). Japan’s New Cultural Push Toward Asia: Partner, Hegemon, or Perpetual Outsider?. Pacific Rim Report 3.
  • Mishra, R. (2016). Asian Infrastructure Investment Bank: An Assessment. India Quarterly, 72(2), 163-176. doi: 10.1177/0974928416643582.
  • Pascha, W. (2019). The new dynamics of multilateral cooperation mechanisms in East Asia—China’s belt and road initiative, the Asian infrastructure investment Bank, and Japan’s partnership for quality infrastructure. In How China’s Silk Road Initiative Is Changing the Global Economic Landscape (pp. 166-186). Routledge.
  • Rahmadoni, E., & Waluyo, T. J. (2016). "Kebijakan Ekonomi dan Politik Indonesia Memilih Bekerjasama dengan Tiongkok dari pada Jepang dalam Proyek Kereta Cepat Jakarta-bandung Tahun 2015." Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau, 3(2), pp. 1-15.
  • Shekhar, V. (2012). ASEAN’s Response to the Rise of China: Deploying a Hedging Strategy. China Report, 48(3), 253–268. doi: 10.1177/0009445512462314
  • Trinidad, D. D. (2018). What Does Strategic Partnerships with ASEAN Mean for Japan’s Foreign Aid?. Journal of Asian Security and International Affairs, 5(3), 267-294. doi: 10.1177/2347797018798996
  • Wallace, C. (2019). Japan’s strategic contrast: continuing influence despite relative power decline in Southeast Asia. The Pacific Review, 32(5), 863-897. doi: 10.1080/09512748.2019.1569115
  • Yoshimatsu, H. (2018). New dynamics in Sino-Japanese rivalry: Sustaining infrastructure development in Asia. Journal of Contemporary China, 27(113), 719-734. doi: 10.1080/10670564.2018.1458059
  • Zhao, H. (2019). China–Japan Compete for Infrastructure Investment in Southeast Asia: Geopolitical Rivalry or Healthy Competition?. Journal of Contemporary China, 28(118), 558-574. doi: 10.1080/10670564.2018.1557946

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak