Bayangkan Anda sedang duduk di rumah kecil di pinggiran Jakarta. Hujan deras di luar, udara dingin, dan tiba-tiba telepon berdering. Di ujung sana, seseorang berkata ada paket misterius untuk Anda—tanpa nama pengirim, tanpa petunjuk. Di dalamnya, sebuah kompas kuno yang bisa membawa Anda ke masa lalu.
Itulah yang dialami Lasja Kirana, tokoh utama novel Time After Time: Jatuh Cinta Sekali Lagi karya Aditia Yudis. Beberapa hari setelah ayahnya meninggal, Lasja menerima paket aneh itu, dan hidupnya berubah seketika. Kompas itu membawanya ke masa lalu—ke tahun 1990-an, ke sebuah desa kecil tempat ibunya, Leila, masih muda dan penuh mimpi. Sejak saat itu, Lasja mulai menggali rahasia keluarga yang selama ini disembunyikan, dan sekaligus menemukan cara baru untuk memaknai cinta dan kehilangan.
Novel ini, diterbitkan GagasMedia pada 2015 dengan 280 halaman, bukan kisah fantasi romansa biasa. Ia memadukan time travel, isu keluarga, dan kisah cinta dalam satu naskah yang lembut tapi menyentuh. Di tangan Aditia Yudis, waktu bukan sekadar mesin ajaib—ia adalah ruang penyembuhan, tempat luka dan cinta bertemu kembali.
Kompas Waktu: Alat untuk Hadapi Duka dan Mencari Identitas
Yang membuat Time After Time berbeda adalah cara Aditia Yudis menggunakan perjalanan waktu bukan sebagai alat untuk petualangan seru, tetapi sebagai medium refleksi batin. Kompas waktu dalam cerita ini tidak membawa Lasja menuju pertempuran besar atau masa depan penuh teknologi; ia malah mengantarnya menelusuri kenangan yang belum selesai.
Lasja tidak sedang berusaha menyelamatkan dunia. Ia hanya ingin memahami dirinya sendiri—menghadapi kehilangan, memeluk masa lalu, dan menuntaskan duka yang ia simpan sejak kecil. Dalam perjalanannya, ia menyadari bahwa waktu bisa jadi teman yang bijak, tapi juga guru yang keras.
Konsep waktu di sini bukan sekadar perjalanan linier, tapi siklus yang menuntun manusia untuk berdamai dengan takdir. Ini yang membuat ceritanya terasa dekat dengan pembaca Indonesia. Kita terbiasa melihat keluarga sebagai pusat kehidupan, dan ketika kehilangan terjadi, waktu sering kali jadi satu-satunya jalan untuk mengerti maknanya.
Romansa yang Muncul dari Misteri Keluarga dan Peluang Baru
Di tengah upayanya menelusuri masa lalu, Lasja menemukan berbagai rahasia keluarga yang mengubah pandangannya. Ia menyaksikan bagaimana kedua orang tuanya dulu pernah berjuang dan salah mengambil keputusan. Ia menemukan bahwa cinta tak selalu seperti yang ia bayangkan.
Lalu muncullah Mira, seorang perempuan yang ia temui dalam salah satu lompatan waktunya. Pertemuan itu tampak kebetulan, tapi semakin lama hubungan mereka berkembang menjadi sesuatu yang hangat dan jujur. Dari situ, Lasja belajar bahwa cinta kedua bisa datang dari rasa penasaran, bahkan dari luka.
Berbeda dari romansa urban yang umum dalam novel Indonesia, hubungan Lasja dan Mira tidak dilandasi drama sosial atau kisah cinta modern. Ia tumbuh dari keheningan masa lalu—dari keinginan untuk memahami, bukan sekadar memiliki. Kisah cinta ini justru menjadi cermin bagaimana seseorang bisa jatuh cinta lagi setelah kehilangan segalanya.
Pelajaran tentang Waktu, Rasa Penasaran, dan Luka Emosional
Nilai filosofis yang muncul dari novel ini terasa sederhana, tapi dalam. Lasja digambarkan sebagai sosok biasa yang hidup dalam rutinitas dan kesepian. Duka karena kehilangan ayahnya membuat hidup terasa penuh tekanan—seperti telinga yang terasa tersumbat, metafora kecil untuk stres dan beban emosional yang sering kita alami.
Saat ia menelusuri masa lalu, Lasja belajar bahwa mengubah sejarah bukanlah solusi. Setiap tindakan punya konsekuensi, dan setiap pilihan memunculkan kehilangan baru. Dalam perjalanan itu, Aditia Yudis menyampaikan pesan bahwa waktu adalah guru yang tidak memberi tahu jawabannya secara langsung, tapi membiarkan manusia belajar lewat kesalahan.
Di balik kisah fantasinya, Time After Time terasa seperti sesi terapi yang hangat. Ia mengajak pembaca menengok kembali “paket misterius” dalam hidup masing-masing — kenangan, luka, atau rahasia lama yang mungkin masih belum selesai.
Gaya Penceritaan yang Tenang tapi Menyentuh
Alur Time After Time memang tidak cepat. Bab-bab awal berjalan perlahan, memberi ruang bagi pembaca untuk mengenal Lasja dan memahami dukanya. Tapi justru di situlah kekuatannya: Aditia Yudis tidak terburu-buru. Ia membiarkan cerita mengalir seperti hujan sore—pelan, tapi menembus hati.
Bahasanya ringan, emosional tanpa berlebihan. Setiap detail terasa punya makna: paket yang datang di hari hujan, kompas yang berputar ke arah tak terduga, dan tatapan Lasja pada ibunya muda yang penuh rahasia. Semua itu membangun atmosfer yang hangat sekaligus misterius.
Twist tentang efek perubahan waktu—bahwa satu keputusan kecil bisa menghapus seseorang dari masa kini—menambah kedalaman cerita. Tidak ada aksi besar, tapi ada perasaan tegang yang terus tumbuh.
Ketika Waktu Mengajarkan Cara Baru untuk Mencinta
Pada akhirnya, Lasja kembali ke masa kini. Tidak dengan kehidupan yang sempurna, tapi dengan pemahaman baru. Ia belajar bahwa kehilangan tidak bisa dihindari, dan masa lalu tidak perlu diubah agar hidup terasa lebih baik. Yang penting adalah bagaimana kita memahami setiap kejadian dan menjadikannya bagian dari diri kita.
Pesan ini sederhana tapi kuat: waktu memang bisa mengambil banyak hal, tapi rasa ingin tahu dan keberanian untuk menghadapi masa lalu adalah yang membuat hidup tetap berjalan.
Time After Time bukan hanya kisah cinta dengan elemen fantasi, tetapi juga cermin kehidupan—tentang keluarga, duka, dan keberanian untuk membuka luka lama. Di dunia yang serba cepat ini, buku ini mengingatkan kita bahwa kadang untuk maju, kita perlu menoleh ke belakang terlebih dahulu. Karena di sanalah, sering kali, jawaban yang kita cari disembunyikan waktu.