Jejak Toleransi dalam Semangkuk Soto Kudus

Tri Apriyani | Umi
Jejak Toleransi dalam Semangkuk Soto Kudus
Soto Kudus (Suara.com/Dinda)

Soto telah menjadi identitas kuliner kota Kudus. Selain rasanya yang kaya akan rempah, soto juga memiliki jejak toleransi dan kesejarahan yang menarik untuk dikaji.

Kilas cerita berupa jejak budaya kini menghantarkan soto dengan ragam rempah dan campuran di dalamnya.  Menjadikan soto sebagai kuliner yang hadir selaras dengan lidah dan selera masyarakat Indonesia.

Kelezatan kuliner Indonesia complete dengan ciri khas berupa kaya akan rempahnya yang saling beradu. Tak terkecuali soto, yang telah menjadi identitas kuliner salah satu daerah di Pulau Jawa yakni kota Kudus. Tentu saja, tidak secara ujug-ujug soto bisa hadir di tengah-tengah masyarakat dan menjadi kuliner yang paling wajib dicoba ketika berkunjung ke Kudus.

Bermula dari Negara tirai bambu, Cina, soto hadir dengan kata asli Caudo yang memiliki arti 'rerumputan' jeroan atau jeroan berempah. Oleh masyarakat Indonesia, Caudo bertransformasi menjadi soto.  Hidangan berkuah yang disajikan dalam mangkuk ini pertama kali dikenal di Semarang pada abad ke-19. Jika orang Makassar menyebut Coto, sedangkan orang Pekalngan menyebutnya Tauto. (Majalah Paradigma, 2016:12).

Jelajah Rasa

Siang itu, saya mencoba menjelajah rasa menuju warung Soto Kudus di berbagai sudut kota Kudus. Menjadi kuliner khas, Kota Kudus tentu memiliki berbagai warung soto yang legendaris. Warung Soto Kudus yang pertama saya kunjungi yakni Soto Kudus Bu Jatmi yang terletak di Jalan KH Wahid Hasyim Nomor 43, Panjunan, Kudus. Berdiri sejak 1982, Soto Kudus Bu Jatmi menyajikan soto kerbau dan juga soto ayam.

Menurut keterangan Pengelola Warung Soto Bu Jatmi, Ardi, menjelaskan, warung soto Bu Jatmi buka di jam 7 dan tutup pada jam 10 malam. Sementara itu, yang merintis soto ini adalah Bu Jatmi. "Bu Jatmi sendiri itu nama ibu saya, dan sekarang warung ini dikelola oleh generasi kedua, yakni kakak saya,” jelasnya.

Harga semangkuk soto memang terjangkau, cukup mengantongi uang 15 hingga 16 ribu rupiah, saya bisa menikmati sajian soto khas Kudus dalam sebuah mangkuk kecil. Semangkuk sajian soto berisikan nasi, irisan daging kerbau atau daging ayam, tauge, bawang putih goreng. Bahan pelengkap itu, disiram kuah dari kaldu daging kerbau yang panas, yang telah diberi bumbu rempah-rempah, bawang putih, bawang merah, terasi, taoge, laos, merica, pala, jinten, kemiri, dan perasan jeruk limau. Kesegaran soto Kudus yang kaya rempah menjadi makanan yang cocok dinikmati di waktu kapanpun baik itu musim penghujan maupun musim kemarau.

Salah satu pembeli asal Kudus, Abdurrohim, mengatakan, rasa Soto Kudus memang membuat ketagihan. Berbeda dengan soto khas Semarang yang menggunakan mie atau sohun, Soto Kudus asli yang kebanyakan dijual memang tidak menggunakan sohun. “Inilah yang membuat soto Kudus lebih khas”, katanya. 

Rohim, sapaan akrab Abdurrohim, yang mengaku sering membeli soto di warung Bu Jatmi, ia menyebutkan, hampir setiap hari warung Soto Bu Jatmi memang selalu ramai pembeli. Hal ini karena menurutnya, semangkuk soto yang dijual memang rasanya bisa menggoyang lidah. “Selera makan saya selalu naik jika memakan soto khas kota tercinta ini,” sebutnya.

Di Kudus, tidak hanya Soto Bu Jatmi. Warung soto Denuh yang terletak di Jalan AKBP Agil Kusumadya juga turut menjadi daftar soto legendaris Kota Kudus yakni dimulai sejak masa penjajahan Jepang. Hingga kini, warung Soto Pak Denuh dikelola oleh anaknya, Taram. 

Menu Soto Kudus yang dijual di warungnya saat ini dimasak dengan cara yang berbeda, yakni kuah soto dibuat agak bening. “Dulu, masakan soto berkuah kental memang sangat digemari, karena lidah merasakan enak karena lemak yang kental. Namun karena tren sekarang banyak orang yang takut lemak, kuah soto dibuat agak bening,” ujar Taram, pemilik warung

Bahan-bahan yang digunakan untuk Soto Kudus sebenarnya sama dengan soto lainnya. Dalam segi penyajian pun juga sama. Tidak ada resep khusus, karena yang membuat cita rasa suatu masakan itu berbeda adalah tergantung kokinya. Taram mengatakan, penggemar soto Kudus tidak hanya dari masyarakat lokal Kudus saja, banyak pejabat-pejabat dari tingkat provinsi sampai pusat yang selalu menyempatkan makan soto setiap kali berkunjung ke Kudus.

Meninggalkan warung soto Pak Denuh, saya menghampiri warung soto yang berbeda dari yang lain. Uniknya warung soto bernama Karso Karsi, yang didirikan dari tahun 1940 mempertahankan ciri khas berupa cara masaknya dengan menggunakan kayu bakar. Menurut penjelasan penerus warung soto Karso Karsi, Nanik Cahyani, adapun alasan mempertahankan penggunaan kayu bakar yakni karena memang dengan kayu bakar lebih awet panasnya.

Warung yang kini berdiri di desa Jati Kulon ini dulunya dijual dengan berkeliling menggunakan pikulan. “Dulu pada zaman dahulu memang ketika menjual soto dipikul dan keliling kampung, tapi sekarang lebih mudah karena sudah ada warung,” ujar Nanik Cahyani, penerus warung soto Karso Karsi

Nilai Kultural

Di Kudus, jejak toleransi seolah tertuang dalam semangkuk Soto Kudus. Pasalnya, Soto Kudus menjadi daya tarik karena khas akan nilai toleransi yang diajarkan oleh Sunan Kudus. Pemilihan daging kerbau menggambarkan toleransi antar pemeluk agama di Kudus, utamanya Islam dan Hindu. Sebagai wujud menghormati orang Hindu, Sunan Kudus melarang masyarakat untuk menyembelih sapi dan menggantinya dengan daging kerbau. Nilai toleransi  ini disebabkan pada masa itu masyarakat Kudus yang bermayoritas agama Hindu, menganggap sapi sebagai hewan suci yang dihormati.

Nilai keberagamaan dan menjadi tradisi sejatinya popular di masyarakat kemudian dikreasikan dalam sajian kuliner. Warisan tersebut menjadi semacam kultur yang pantang untuk dilanggar dan dalam kenyataan bisa menjadi sarana kesejahteraan dan perdamaian antar masyarakat.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak