Opor Ayam Terakhir dari Eyang

Tri Apriyani | nurro
Opor Ayam Terakhir dari Eyang
Foto Eyang, Sept/2020

Suara adzan subuh terdengar cukup keras seperti biasanya. Cukup sakti hingga membuat anjing peliharaan milik tetangga depan rumah kami terbangun dan menyalak cukup lama. Samar-samar tercium aroma tak asing yang masuk melewati celah pintu kamar saya, tetapi entah bagaimana otak ini cukup lama untuk mengingat bahwa besok adalah Hari Raya Idul Adha.

Aroma tak asing ini rupanya berasal dari lontong yang sedang dikukus oleh Ibunda. Seketika saya langsung teringat bahwa esok hari kami akan pergi ke rumah Eyang untuk merayakan Idul Adha di sana.

Setiap tahun, Eyang selalu berusaha untuk memasak di hari-hari besar dengan lauk yang cukup banyak. Walupun Eyang hanya ibu rumah tangga, beliau sangatlah pandai dalam urusan dapur. Banyak dukungan dari tetangga ataupun keluarga yang menyuruhnya membuka tempat makan sendiri. Namun, Eyang menolak lantaran lebih memilih mengurus anak-anaknya.

Baginya, sehari tidak memegang panci serta bumbu-bumbu dapur andalannya merupakan hal yang pelik untuk dilakukan. Seringkali, Ibunda saya menegur beliau untuk berhenti memasak karena penyakit jantung yang dialaminya semakin parah.

Hal ini dilakukan Ibunda saya karena beliau cukup sering mengalami sakit di dadanya setelah terlalu lama berdiri di dapur dengan celemek merah muda kesayangannya itu. Celemek merah muda tersebut bagaikan benda pusaka bagi Eyang. Pasalnya, benda yang fungsinya melindungi dari noda dan kotoran itu adalah pemberian dari Opah kami tercinta yang telah meninggal lima tahun lalu.

Eyang selalu mempunyai semangat baru ketika memulai harinya. Ia tidak suka apabila satu hari yang ia lewati habis dengan hanya menyaksikan acara televisi yang tidak terlalu penting. Baginya, lebih baik tangannya teriris karena memotong bawang dibanding kupingnya dipakai untuk mendengar berita sensasi dari kalangan selebriti.

Eyang merasa lebih hidup ketika bisa menginjakkan kakinya di dapur dan mengotak-atik peralatan masak kesayangannya. Namun, kaki yang dahulu kuat berdiri di dapur selama berjam-jam itu kini harus menggunakan kursi roda untuk bisa melangkah.

Meskipun sekarang beliau harus susah payah untuk sekadar berdiri dan memindahkan panci, tetapi ia tidak pernah merasa keterbatasannya dalam berjalan menjadi penghalangnya untuk berhenti beraktivitas di dapur. Hanya saja baginya memang tidak mudah, dan tidak mudah bukan berarti tidak bisa dilakukan.

Saat perayaan Idul Fitri ataupun Idul Adha selalu disambut dengan penuh semangat oleh beliau. Tak pernah sekalipun baginya untuk absen membuat opor ayam, rendang, ataupun tekwan pada hari-hari besar tersebut. Semua lauk tersebut dibuat sendiri dengan jerih payah serta keterbatasan fisik dan staminanya.

Eyang memiliki sifat yang perfeksionis. Sehingga, ia selalu mengusahakan semuanya terlihat sempurna. Ia tidak terlalu suka dibantu dengan pekerjaan dapurnya. Terlebih lagi, ia tidak suka dihadapi perasaan bahwa dirinya merepotkan orang lain. Oleh sebab itu, Eyang selalu memastikan semuanya akan berjalan sesuai ekspetasinya. 

Memang terdengar sangat merepotkan dan melelahkan, tetapi semua tenaga dan keringat yang ia keluarkan akan terbayar ketika keluarga besar datang untuk bersilaturahmi. Kehangatan dalam rumah beliau tercipta begitu saja sembari semua tamu menyicipi masakkannya yang lezat. Dari tahun ke tahun, masakan Eyang lah yang paling dinantikan oleh sanak saudara yang datang untuk silaturahmi.

Namun, perayaan Idul Adha tahun ini tidak menyenangkan seperti  tahun-tahun sebelumnya. Pasalnya, Eyang meninggal dunia satu hari sebelum Idul Adha tiba. Beliau ditemukan pingsan di dapur dengan badan yang sudah dingin serta denyut nadi yang sudah tidak ada.

Beliau meninggal di dapur dengan celemek merah muda kesayangannya itu. Ia bahkan tidak mengucapkan satu kata pun sebelum kepergiannya. Yang tersisa saat kami datangi rumahnya hanyalah jenazah beliau dan Opor Ayam yang masih hangat di dalam panci.

Kepergian beliau membuat seluruh keluarga besar terpukul. Tak disangka bahwa Eyang akan pergi secepat itu. Namun, tak banyak keluarga ataupun kerabat yang berkesempatan datang untuk mengantar beliau ke tempat peristirahatan terakhir. Hal ini karena adanya kebijakan PPKM yang ketat dari pemerintah.

Selepas proses pemakaman selesai, para keluarga yang berkesempatan datang memutuskan untuk kembali ke rumah Eyang untuk menyantap Opor Ayam terakhir yang bisa kami rasakan. Kami tak banyak berbicara seperti biasanya pada hari itu. Ruang tamu dan ruang makan hanya terisi dengan suara sendok dan garpu yang beradu di piring. Keheningan yang memiliki makna tersendiri. Keheningan yang tidak kami sangka akan dipertemukan. 

Saya dan anggota keluarga lainnya akan selalu menganggap beliau sebagai pahlawan. Hal ini karena kami kagum dengan semangat beliau yang tak pernah padam dalam melakukan hal-hal yang ditekuni dan disukainya selama ini. Bahkan, ketika meninggalkan dunia ini beliau masih dikelilingi dengan hal-hal yang disukainya semasa hidup.

Dapur. Memasak. Idul Adha. Celemek Merah Muda 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

22 Agustus 2021 | 11:39 WIB

Badut Pandemi

Tampilkan lebih banyak