Pak Sudarman: Menjaga Situs Duplang, Merawat Nenek Moyang

Hernawan | Moe
Pak Sudarman: Menjaga Situs Duplang, Merawat Nenek Moyang
Perawat situs duplang (DocPribadi/moemoe23).

Siang itu, mega mendung menyelimuti Hyang Argopuro, saat saya menemui seorang lelaki sepuh yang berjongkok di halaman rumahnya. Tangan kanannya memegang celurit, sementara jemari kiri mengapit rokok klobot. Sembari membersihkan rumput, sesekali ia menghisap rokok kuat-kuat.

Keriput di seluruh tubuh tak membuatnya patah arang. Tangannya begitu lihai menari-nari, memotong rumput yang tak seberapa banyak itu. Ia pun tersenyum tulus dan meminta saya duduk di ruang tamu.

Rumahnya begitu sederhana. Sebagian berdinding gedhek. Sebagian yang lain terbuat dari bata. Sungguh, saya menemukan keistimewaan di dalam sana.

Dari rumah ini, sejauh mata memandang, hamparan tanaman jagung dan ratusan pohon mahoni, menyeruak di atas lereng Hyang Argopuro. Udara begitu sejuk bahkan cenderung dingin ala pegunungan.

“Sejak dulu saya tinggal di sini. Saat kecil, rumah saya di sebelah barat situs,” kata Pak Sudarman, Juru Pelihara situs Duplang.

“Turun-temurun, ya, Pak?”

“Benar. Mula-mula, ya, kakek saya yang membabat. Lantas turun ke bapak saya. Bapak wafat, Ibu yang menjaga. Lalu sekarang saya.”

Cerita Pak Sudarman kian meluncur saat ia resmi menjaga situs sejak tahun 1985. Dari arsip daerah Kabupaten Jember, situs Duplang adalah salah satu peninggalan purbakala yang tersebar di berbagai tempat, khususnya Arjasa dan Jelbuk.

Duplang adalah nama padukuhan di Desa Kamal. Jaraknya sekitar 16 km dari pusat Kota Jember. Melalui jalan nasional Jember-Bondowoso, situs ini dapat ditempuh memakai kendaraan pribadi. Letaknya berada di lereng Hyang Argopuro.

Di dalamnya, terdiri dari batu menhir, kenong tunggal dan kenong kembar, serta dolmen.  Apabila beranjak ke dusun lain, niscaya akan ditemukan batu dengan jenis serupa atau jenis berbeda. Seperti batu mata angin, batu lesung atau batu tulis.

Sosok Pak Sudarman begitu hangat. Tak pelit cerita saat menjelaskan perjalanannya menjadi Juru Pelihara. Dulu, batu-batu purba banyak berserakan. Bahkan Pak Sudarman mencatat jika batu-batu purba berjumlah 3000-an.

Catatan Pak Sudarman sangat mencengangkan. Mengingat hasil penelitian yang dilakukan BP3 (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala) Trowulan, batu-batu zaman megalitikum ini diperkirakan muncul pada abad 10 M, bergantian dengan munculnya candi Borobudur di abad ke-9. Namun, tak sedikit yang berujar jika batu ini telah ada pada abad ke-4.

Hanya saja, banyak warga tak peduli. Batu-batu dibiarkan begitu saja. Bahkan ketika di perjalanan menuju situs, saya mendapati batu kenong di halaman rumah warga.

Ketidakpedulian tersebut berubah menjadi beringas di awal tahun 2000. Ketika itu, seorang warga hendak membuat pengairan di sawahnya. Ia pun menemukan batu mirip dolmen di situs, di mana sebuah batu nampar ditopang 6 tiang penyanggah.

Setelah didongkrak, di bawahnya muncul seekor ular. Binatang ini pun dibunuh dan dibuang, tapi tetap muncul kembali.

Meja batu itu tetap digali hingga akhirnya menemukan sebuah kotak berisi mahkota, kalung emas, emas lempengan, ikat pinggang emas dan manik-manik.

Kabar ini menyeruak ke permukaan. Hingga akhirnya, seorang pelancong yang mengaku dari Sitobondo datang dan berujar hendak membeli barang tersebut. Sayangnya, akal bulus berlaku. Pemilik sawah tertipu dan hilanglah barang penemuan itu.

Sejak itu, banyak orang berlomba-lomba menggali dan membongkar batu dolmen tanpa mengembalikan seperti semula. Bahkan, batu menhir yang berada di halaman rumah Pak Sudarman ditawar 1 milyar oleh kolektor asal Bali. Tapi Pak Sudarman tak tergiur. Ia tetap kukuh menjaga warisan nenek moyang sebagai bekal anak cucu ke depan.

Sialnya, sikap teguh Pak Sudarman tak sejalan dengan masyarakat. Batu-batu kenong yang jumlahnya sangat banyak dan berserakan di mana-mana, diambil dan dijual orang-orang.

Pada masa itu, harga satu batu kenong mencapai 15 juta. Pak Sudarman kecolongan. Batu-batu purba berhasil digerondol maling. Selaku Juru Pelihara ia tidak tinggal diam. Pak Sudarman meminta bantuan kepolisian yang kemudian mengusut tuntas batu ini.

Ternyata batu-batu kenong hasil curian berada di Bali dan dipajang di art shop. Akhirnya, batu-batu yang bisa digagalkan ditaruh di kantor Desa Kamal.

Akibat dari maraknya pencurian, jumlah batu yang semula 3.000 lebih, kini menurun drastis. Ada pula yang sengaja dipendam Pak Sudarman demi menghindari pencurian tangan. Bahkan, beberapa pendaman batu, kini berubah menjadi sawah yang digarap orang.

Kala saya bertanya, sejak kapan Pak Sudarman begitu mencintai batu-batu purba ini, beliau pun menatap langit-langit. Menarik napas agak panjang lantas bercerita panjang lebar.

Saat itu, Sudarman kecil sedang menempuh pendidikan di SR. Gurunya yang bernama Pak Karman bercerita, jika zaman dahulu, manusia purba tidak menggunakan besi seperti pisau atau celurit untuk peralatan memasak, melainkan menggunakan batu-batu.

Sudarman tercekat. Ia teringat akan batu-batu purba yang berserakan di halaman rumahnya. Tak ayal saat pulang sekolah, ia berlari-lari menghampiri ayahnya yang ketika itu sangat tua. Malah ada yang berujar jika usianya mencapai 180 tahun.

Pada sang ayah, Sudarman kecil bercerita tentang apa yang diucapkan sang guru. Ia pun bertanya, bagaimana bisa batu-batu di halaman rumahnya memiliki tonjolan? Dengan apa tonjolan tersebut dibuat?

Sang bapak meminta Sudarman kecil mengambil batu biasa di halaman rumah. Sudarman mengangguk lantas memungut sebongkah batu. Setelah diberikan pada sang Bapak, batu tersebut hancur lebur padahal bapaknya hanya menggenggam serupa memeras kelapa.

Sudarman tak putus asa. Ia mengulangi pertanyaan serupa. Dengan apa tonjolan pada batu dibuat? Akhirnya, bapaknya meminta Sudarman mengambil batu yang lebih besar.

Ia pun pergi ke hutan sebab saat itu, sekeliling rumahnya masih berbentuk hutan. Di sana ia mengambil sebongkah batu besar. Ia pikul dan ditaruh di hadapan ayahnya. Sang ayah pun meminta Sudarman memperhatikan seksama.

Betapa terkejutnya Sudarman kecil kala sang ayah memangkas batu bagian atas dan membentuknya sebagai tonjolan, tanpa menggunakan peralatan apa-apa. Ayahnya hanya menggunakan tapak tangan. Itu saja.

Sudarman kecil meminta ayahnya untuk mengajari ilmu tersebut. Sang ayah setuju, tapi Sudarman kecil mesti melanjutkan sekolah ke ST. Sayangnya, sang ayah keburu wafat dan belum sempat mewarisi ilmu tersebut.

Mendapati cerita yang dituturkan Pak Sudarman, saya mendapati raut muka penyesalan. Akan tetapi, Pak Sudarman lekas-lekas berujar, jika jalan tersebut adalah takdir yang tak bisa dipungkiri.

Sama seperti saat ini. Ketika nanti, penerusnya tak sama dengan dirinya, dalam melayani pengunjung, seperti apa yang Pak Sudarman lakukan saat saya berkunjung, itu adalah takdir yang tidak bisa diingkari.

Saya kira, Pak Sudarman adalah pahlawan masa kini. Ia rela menjaga situs tanpa bayaran tinggi. Ia ikhlas hidup teramat sederhana padahal memiliki peluang kaya-raya dengan menjual batu-batu purba. Tetapi Pak Sudarman tidak melakukannya.

Malah ia mengajak saya menelusuri batu-batu di tepi Kali Gumblung. Tepi kali yang menyimpan jenis batu purba yang lain. Pak Sudarman juga membuat peta yang dipajang di dinding rumahnya. Peta itu, kata Pak Sudarman, adalah warisan kepada pengunjung jika kelak ingin mencari di mana saja batu-batu purba berada, sedangkan dirinya telah tiada.

Saya terdiam. Bertanya pada diri sendiri; jika saya menjadi Pak Sudarman, mampukah saya mengabdi di jalan sunyi sedangkan banyak orang mengincar batu untuk dijual ke Bali?

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak