Perempuan yang Tak Bisa Memilih

Tri Apriyani | Moe
Perempuan yang Tak Bisa Memilih
Ilustrasi Perempuan (Pixabay/Kellepics)

Maafkan aku, kisahmu kutuangkan dalam kata-kata. Sebagai teman yang miskin harta dan tak tahu apa-apa, modalku hanya kata-kata yang dibingkai etika. Dengan begitu, kamu tahu kalau aku temanmu. Dan kamu, kawanku.

***

Nanda, begitu kamu sebut kekasihmu. Seorang lelaki gagah yang menjaga pandangannya dengan banyak perempuan dan hanya terpusat pada satu. Dan itu, kamu. Selain paras yang menunjang, silsilah keluarganya pun terpandang. Putera seorang ketua instansi di kota, dengan jabatan yang siap menggeser para lawan.

Tak ada yang aneh dengan hubunganmu. Dan sebagai teman yang tak punya ruang kedekatan di dalam hidupmu, bisaku hanya berdoa. Semoga kamu benar-benar memilih Nanda sebagai pasangan yang tepat.

Begitu pula dengan doa kawan-kawan yang lain. Meski ada yang menyinyir dengan sikap dingin kekasihmu itu, aku yakin ini hanya soal selera. Dan selera seseorang, tak bisa dipaksakan kepada orang lain.

Hingga akhirnya, tadi siang, salah seorang kawan kita yang sudah bekerja di pulau seberang, datang menghubungiku dengan bahasa terbata-bata.

“Kamu tahu kabar Melati?” tanyanya di ujung telfon.

“Katanya sedang demam. Soalnya diet, lalu tumbang.”

“Bukan. Maksudku, hubungannya dengan Nanda?”

“Oh, aku tak tahu. Ada apa?” tanyaku. Padahal, sebenarnya aku tak mau tahu. Sebab aku sudah tahu, kalau teman yang di seberang pulau ini sudah memancing pembicaraan, arahnya pasti sisi negatif.

“Semalam Nanda nelfon. Dia cerita.”

“Nelfon kamu?” tanyaku memastikan.

“Iya. Nelfon aku.”

“Cerita apa?”

“Cerita, kalau Melati sedang dilamar senior kita yang ada Ibukota. Melati bingung. Dia mengajak serius, tapi Nanda gak bisa berkomitmen.”

“Terus?”

“Kamu tahu sendiri keluarganya Nanda seperti apa. Bibit, bebet, bobot itu nomor satu. Mungkin Melati tidak termasuk dalam kriteria keluarganya.”

Aku diam. Bukan ke soal bibit, bebet dan bobot yang menjadi persoalan. Tetapi aku sudah bisa menebak, kalau Nanda memang bukan lelaki yang pandai berkomitmen.

Itu sudah bisa ditebak dalam sikap sehari-hari. Meskipun ini bukan patokan yang sah, tetapi sikap sehari-hari sedikit mencerminkan pribadi sebenarnya.

Usai menerima cerita itu, aku tak jadi mengubungimu. Padahal aku sudah janji menelfon soal keberangkatanmu ke Belanda untuk meneruskan S2.

Entah kenapa, kata-kata teman kita di pulang seberang itu terus terbayang sampai sekarang. “Melati itu bukan orang baik. Percayalah. Dia hanya sekedar menempel ke Nanda. Kamu tahu, kan keluarganya bukan orang baik-baik? Dan buah tak bakalan jauh dari pohonnya.”

Sungguh. Seandainya pembicaraan ini berada di kafe tempat kita bertemu dulu, barangkali minuman di depanku sudah kusiram ke muka teman kita ini.

Aku juga bingung, pantaskah dia sebut teman sedangkan dia seringkali cerita hal-hal buruk tentang banyak orang, yang dia sendiri hanya bermodal menebak lalu mencibir.

Bahkan, kamu tahu, dia juga sebenarnya bukan orang baik-baik. Aku rasa, dia perempuan yang bejat. Bagaimana tidak bejat, dia sendiri meninggalkan tunangannya hanya karena tak sanggup memenuhi keinginannya.

Seperti membeli mobil, rumah dan beragam perhiasan. Aku tahu sendiri, tunangannya itu pekerja keras. Memang, pekerjaannya tak berada di satu tempat. Dan tidak paten di satu kantor. Tetapi cukup untuk membangun rumah tangga yang baik.

Kecuali, membangun rumah tangga yang bakalan uangnya dikeluarkan untuk keinginan istrinya saja, aku rasa, lama kelamaan bakal bangkrut juga. Seandainya tunagannya itu orang kaya, tak apa.

Nah ini, teman kita ini hanya melihat kekayaan saja, tanpa mau melihat sikap dan pengorbanan mantan tunangannya itu. Ah, sungguh. Aku tak bermaksud menceritakan keburukan teman kita ini.

“Jadi meet up, kan?” tiba-tiba kamu mengirim pesan di WhatsApp. Sebenarnya aku ingin menolak, tapi baiklah, sebagai teman yang tak punya apa-apa, bisaku hanya membantumu seperti ini. Setelah mengiyakan pertanyaanmu, aku langsung berangkat ke kedai kopi, tempat biasa kita bertemu.

Setelah menunggu beberapa lama, kamu datang dengan wajah agak lusuh. Tak seperti biasanya yang selalu memasang wajah ceria.

“Kenapa?” tanyaku.

“Gak apa-apa. Ayo, kita diskusi,” jawabmu mengalihkan pembicaraan.

Baiklah, aku rasa kamu tak mau berbagi cerita. Tak apa. Aku tak bakal memaksa. Sayangnya, di sepanjang diskusi tentang materi tesis yang bakal kamu ajukan ke kampus tujuanmu itu, tak berjalan mulus. Kamu lebih banyak diam dan pasif.

“Sepertinya kamu tak fokus.”

“Maafkan aku. Ayo, kita lanjutkan. Atau, kamu mau nambah kopi lagi?”

Aku menggeleng pelan. “Kamu sedang ada masalah. Percuma kita diskusi, kalau pada akhirnya kamu tak fokus.”

Kamu diam. Menunduk agak lama.

“Kamu ada masalah dengan Nanda?” tanyaku memberanikan diri. Sedang kamu menggeleng.

“Dengan lamaran senior kita yang ada di IbuKota?”

Kamu mendadak menoleh. Raut mukamu terlihat penasaran.

“Kamu tahu darimana?”

“Sebaiknya, mantapkan pilihanmu. Pilihlah yang sekiranya terbaik dan tak bakal kamu sesalkan saat menoleh ke belakang.”

“Aku tak tahu. Bingung.”

Sungguh. Aku ingin menanyakan keseriusan Nanda denganmu. Tapi aku takut. Takut menyakiti perasaanmu. Tiba-tiba saja kamu mendadak diam. Dan sesekali melihat langit-langit. Menahan kedua matamu agar tak menangis.

“Ceritalah. Tak baik memendam emosi. Tak bakalan lega.”

“Nanda tak berani mengambil komitmen. Dia memiliki banyak pertimbangan.”

“Kalau tak berani berkomitmen serius, lebih baik lepas saja.”

“Tapi, aku mencintainya.”

“Yang di Ibukota? Bukankah kamu sempat menaksir senior itu sewaktu awal kuliah?”

“Itu dulu. Sekarang aku sudah memiliki Nanda.”

“Lelaki yang tak bisa menjanjikan apa-apa?”

Kamu menatapku lekat.

“Maafkan aku,” ucapku datar. “Tapi percayalah, sebagai teman bisaku hanya seperti ini. Segala keputusan ada di tanganmu. Bukan di tanganku.”

“Entahlah. Aku bingung.”

“Baiklah. Fokuskan saja dengan mimpimu. Setidaknya, jangan jadikan mimpimu sebagai korban.”

Semenjak malam itu, aku tak pernah bertatap muka lagi denganmu. Kudengar, kamu sudah berhasil mendapatkan beasiswa ke Belanda. Negara tulip yang menjadi impianmu sejak dulu. Baguslah itu.

Setidaknya kamu berhasil meraih cita-citamu. Dan malam ini, tetiba kamu menghubungiku lewat pesan singkat.

“Terima kasih banyak. Kalau aku sudah liburan, kita harus ketemu. Ada satu hal yang bakal kuceritakan padamu.”

Aku tersenyum mendapati pesan itu. Baiklah. Aku bakal menunggu masa itu. Entah kapan waktu liburanmu, sengaja aku tak bertanya. Tetapi aku sangat antusias menanti hari itu.

Kamu tahu kenapa? Karena kamu bakal cerita mengapa kamu tak bisa memilih antara Nanda dan senior itu. Aku sudah bisa menebak sebab sebenarnya aku tahu alasan di balik itu semua.

Aku tahu, kamu tak bisa memilih senior itu, sebab dia tak merestuimu untuk lanjut pendidikan di luar negeri. Sedang kamu tak pilih Nanda, sebab keluarganya tak setuju memiliki menantu dari keluarga yang ada di bawahnya.

Dan kamu, memilih meneruskan mimpi untuk membuktikan, kalau kamu anak korban dari pasangan broken home, yang memilih jalur positif dibandingkan bergabung dengan dunia obat-obatan.

Alasan ini, kudapati dari mulut teman kita di pulau seberang itu. Dia yang cerita semuanya. Entah dia mendapatkan ini semua darimana. Kali ini, aku tak ingin mencibir teman kita ini.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak