Benarkah Aku Mati Usai Mencium Bibirmu?

Munirah | Moe
Benarkah Aku Mati Usai Mencium Bibirmu?
Ilustrasi Bibir. (Pixabay//Clkr Vektor)

Malam itu kau datang dengan tubuh terkulai. Raut mukamu kian pudar. Rambut dan pakaian tak kalah kusut. Tatapanmu mengambang seakan memeluk kekosongan. Seakan kau menyelesaikan perjalanan panjang.

“Aku harus merasakan bibir Sumi,” katamu dengan jeda napas satu-satu.

“Kalau kamu hendak menyentuh Sumi, basuh dulu mulutmu dengan ayat suci, basahi kerongkonganmu dengan wudu di pagi hari. Baru Wan Anwar memberimu izin. Itu pun, harus dites bacaan salat dulu,” kataku sambil membuka kelambu warung.

“Persetan dengan segala macam syarat! Tak peduli caranya, aku harus jadi orang pertama yang merasakan bibir Sumi.”

“Lalu?”

“Akan kuberikan padamu usai kucumbu.”

Bah! Keadaan ringkih begini, kau masih saja mengidam bibir Sumi. Kau tahu, ketika kau mengatakan kalimat begitu, sesungguhnya aku hendak menikamkan belati yang kugunakan mengupas pisang.

Sekalian kau mati dikoyak-koyak kesakitan. Sebagai mantan napi yang baru keluar dari lapas, aku tak hanya merasakan seluk-beluk derita di penjara. Aku juga menerima takdir saat perjanjian di malam itu. Perjanjian yang sangat kusesali sampai mati. Sampai kau mati.

Betapa bodohnya diri ini, manakala Sumi berjalan seorang diri usai mendatangi rumah Rahma, kau mendekap Sumi dari belakang. Ditutuplah kedua matanya dibawa ke rumah kosong di perempatan.

Seandainya tak ada teriakan Wan Anwar yang tengah mencari anaknya, barangkali hasratmu mencicipi bibir Sumi terlaksana. Sialnya, aku berada di belakang rumah kosong itu mencari jangkrik pangan burung.

Kalau sudah nahas rasanya tak bisa dihindar. Kau menyuruhku berdiam diri sedangkan aku menatap kebingungan saat kau lari tunggang-langgang. Pada adegan selanjutnya, aku ditangkap karena berada di tempat yang sama.

Diserahkan pada polisi usai dicaci dan dipukuli. Dan kamu berjanji akan membayar pengobatan ibuku sebagai ganti rugi. Padahal apa yang kualami di penjara tak sejajar dengan pengobatan ibu.

Bagi penghuni lapas, tahanan kasus asusila adalah kejatahan terendah dan terbodoh. Tak ayal, aku jadi bulan-bulanan. Selain ditikam, aku kerap jadi pesuruh.

Selain makan paling sedikit, aku juga sering meminum air kencing mereka. Semata-mata karena aku mempermainkan perempuan. Katanya, perempuan itu bukan mainan. Harus dihormati. Padahal aku tak melakukan apa-apa pada Sumi.

Sebagai lelaki normal, aku juga menginginkan bibir Sumi. Bibir manis, tak lebar dan tak tebal, benar-benar serasi dengan parasnya yang rupawan. Kalau disejajarkan dengan artis, mirip Song Hye Kyo di Korea. Tetapi, bibir Sumi tak dipolesi gincu. Wajahnya juga tak dirias banyak make up. Kecantikan Sumi benar-benar alami. Tak disulap bedak dan segala tetek bengeknya itu.

Kabar kemolekan bibir Sumi bahkan terdengar ke desa sebelah. Banyak lelaki berbondong-bondong nongkrong di warung. Meski berstatus mantan napi, mereka tak peduli. Yang mereka pedulikan adalah rumor bibir Sumi.

Mereka mencari informasi terbaru sembari menikmati kopi dan pisang goreng. Mereka takkan pulang sebelum Sumi berangkat mengajar sampai dia selesai mengajar. Beginilah keadaan desa ini setiap hari kecuali hari libur.

“Andai Sumi jadi istriku, aku yakin anakku cantik seperti ibunya,” kata seorang lelaki berperut tambun.

“Iya, kalau mirip ibunya. Kalau mirip kamu?” timpal salah seorang yang lain disusul gelak tawa.

Demikian pemandangan di warungku. Makin hari, makin banyak perbincangan yang tak bisa kupastikan, apakah sekadar rumor atau benar-benar terjadi. Tiap kali Sumi muncul di perempatan, lelaki-lelaki ini berlomba memasang tampang paling gagah.

Ada yang menyisir rambut lalu diberi campuran minyak nyiur biar mengkilap. Ada yang menyemproti tubuhnya dengan parfum, padahal aromanya membuat mual. Ada yang membawa mawar. Seruni. Tulip. Kecuali kamboja lambang orang mati.

Semua tampak tergila-gila merebut hati perempuan itu. Dan kau, seperti cacing kepanasan yang meronta-ronta di atas tanah. Seakan tak terima kalau banyak lelaki mengejar-ngejar bibir Sumi.

“Kalau tak percaya, akan kutunjukkan padamu bagaimana caranya memiliki bibir anak Wan Anwar,” tiba-tiba kau terbangun. Tak lagi di atas kursi. Tatapanmu bahkan berbinar.

“Lihat! Ini adalah jimat. Warisan Simbah yang berisi jampi-jampi. Sumi bakal jadi milikku. Sebagai tanda persahabatan, akan kuberikan padamu bibir Sumi setelah kucecap pertama kali.”

Persahabatan? Dengan menjual bibir Sumi? Sungguh, kau tak paham persahabatan dan bagaimana memperlakukan perempuan. Bisa-bisanya kau menjadikan Sumi seperti barang dagangan. Sialnya, aku tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan bertemu Sumi dan kerabatnya saja aku malu. Malu kupanggul sampai mati.

Entah dukun mana yang Simbahmu datangi, nyatanya, mantra itu benar-benar mujarab. Wan Anwar seolah-olah bukan orang terhormat. Begitu mudahnya ia merestui. Katanya, kau juga manusia. Lahir dari rahim seorang ibu dan terbuat dari mani seorang ayah. Pasti  berubah jua.

Begitupula Sumi. Ia terhipnotis dengan gaya pikatmu dan ah, kau tahu sendiri. Orang-orang yang setiap hari berkerumun di warung kopi, kecewa sekaligus penasaran bagaimana anak muda ugal-ugalan sepertimu berhasil menggandeng Sumi.

Keadaan makin genting, manakala gerimis menujukkan dirinya makin deras. Kulihat kau menepikan sepeda dan menurunkan Sumi di rumah kosong tempat kejadian tempo hari. Aku yakin, kau bakal beraksi.

Entah mengapa dadaku berdebar-debar. Tak sanggup membayangkan kalau engkaulah yang menyentuh bibir itu. Bukan lelaki lain yang aku rasa lebih pantas merasakannya.

Hingga beberapa waktu aku menunggu. Menunggu hujan reda sekaligus menunggumu yang terasa lama di dalam. Sayang beribu sayang, hanya Sumi yang keluar berbasah-basahan. Sorot matanya ketakutan tapi aku takut menanyakan.

***

Kabar kematianmu cepat menyebar. Anak juragan kopi mati usai mencium bibir Sumi. Ditemukan di rumah kosong dengan mulut hendak bercumbu. Begitu kata orang. Aku senang mendengar kematianmu yang menggelikan.

Tuhan betul-betul adil. Maka, demi merayakan kematianmu ini, aku siapkan segala perkakas dapur. Aku siapkan untuk sesiapa pun yang hendak ngopi di warung tanpa bayar. Syaratnya hanya satu; membicarakan kematianmu yang amat menggelikan.

“Aku belum sepenuhnya dicium,” kata Sumi yang lewat di depan warung. Entah dewa mana yang memberinya kekuatan. Kenyataannya, Sumi benar-benar di depanku. “Dia jatuh pingsan saat bibirnya berada tepat di depanku. Kejang-kejang lalu meninggal.”

Aku mencoba menenangkan Sumi. Batinnya begitu terguncang. Pasti dia ketakutan. Saat seseorang hendak melakukan suatu perbuatan yang harusnya berjalan nikmat, tetiba meninggal di depan mata.

“Aku juga tahu, kalau kamu bukan pelakunya malam itu.”

“Oh, ya?”

Sumi mengangguk. “Apa bibirku beraroma racun sampai-sampai dia meninggal?”

“Tidak. Tidak,” tukasku cepat. “Justru bibirmu mengandung madu sampai-sampai banyak lebah berebutan.”

“Lantas, mengapa dia meninggal?”

“Sebab dia tak bermoral. Tak paham adab dan etika.”

“Kira-kira, kalau aku mencium bibirmu, apa kamu beretika jua?”

Alamak, mengapa Sumi melontarkan pertanyaan macam ini? Apalagi ia kian mendekat. Kian merapat.

“Kamu takkan mati usai mencium bibirku, bukan?” bisiknya di telinga. Dadaku berdebar. Aku menggeleng pelan.

“Aku takkan mati usai mencium bibirmu,” kataku bersiap-siap menyambut bibir Sumi yang sangat dekat.

Sial, lelaki bertubuh gempal yang mengenakan parfum memualkan memukul dengan bantal. Aku terjaga dari lamunan belaka.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak