Bebasnya Saipul Jamil secara resmi pada 2 September 2021 lalu, setelah menjalani pesakitan selama delapan tahun penjara (menjadi lima tahun setelah dikurangi masa potongan tahanan dan remisi), kasus pencabulan anak alias pedofilia dan penyuapan terhadap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Utara, menjadi sorotan.
Pasalnya, Saipul Jamil disambut oleh mobil Porsche merah hingga pengalungan bunga (glorifikasi) yang disiarkan stasiun TV swasta nasional. Hal itu menuai reaksi penolakan dari berbagai kalangan masyarakat.
Bahkan hal itu memicu adanya petisi di change.org. Kemudian viral di media sosial petisi boikot Saipul Jamil mantan narapidana pedofilia tampil di Televisi dan YouTube.
“Jangan biarkan mantan narapidana pencabulan anak di usia dini (pedofilia) masih berlalu-lalang dengan bahagia di dunia hiburan, sementara korbannya masih terus merasakan trauma,” begitu potongan isi petisinya.
Petisi ini sudah mendapat lebih dari 300.000 tanda tangan. KPAI sebagai organisasi yang konsen terhadap perlindungan tentu saja jelas-jelas menyayangkan glorifikasi terhadap Saipul Jamil bahkan diliput besar-besar bak pahlawan. Padahal dia adalah napi pedofilia.
Sementara kalau kita menilik psikis korban, pasti akan tambah terpukul atas euphoria seperti ini dan disiarkan pula. Menurut KPAI hal ini dapat membahayakan semua masyarakat. Jangan sampai masyarakat membenarkan apa yang telah dilakukan oleh Saipul Jamil.
Belum lagi tanggapan beberapa selebriti yang ikut-ikutan mengecam dan mengajak pemboikotan terhadap stasiun TV swasta nasional yang telah menyiarkan program euphoria kebebasan Saipul Jamil seperti pahlawan, padahal ia seorang napi pedofilia.
***
Mari kita mengkritisi kejadian tersebut dengan beberapa perspektif. Perspektif pertama, pendekatan aturan penyiaran ini menjadi ranahnya Komisi Penyiaran Indonesia. Monggo terkait euphoria kebebasan seorang napi pedofilia dengan berlebihan (glorifikasi) yang disiarkan oleh salah satu stasiun TV, ini wewenang dari KPI.
Kita serahkan saja persoalan ini kepada lembaga KPI. KPI harus menindak tegas kepada Stasiun TV yang melanggar etika jurnalistik dan penyiaran. Dari sini juga kita dapat mengetahui lebih dekat bagaimana selama ini manajemen penyiaran baik stasiun radio maupun televisi dijalankan. Apakah kebijakan tentang peyiaran stasiun radio dan stasiun TV sudah dijalankan sesuai dengan SOP KPI. Bagaimana langkah-langkah tegas yang sudah dilakukan KPI apabila ada stasiun TV swasta yang melanggar SOP KPI. Kemudian, terkait adanya petisi cancel culture (pemboikotan) terhadap stasiun TV swasta nasional tersebut, menurut saya tidak tepat sasaran.
Perspektif kedua, dilihat apa yang telah dilakukan oleh para fans Saipul Jamil dan stasiun TV yang memberikan glorifikasi. Jika dianggap membahayakan terkait pandangan masyarakat terhadap psikologi korban pelecahan seksual, maka KPAI selaku lembaga perlindungan terhadap hak-hak anak Indonesia sebaiknya bisa saja mensomasi siapa-siapa yang paling bertanggung jawab dalam penyambutan kebebasan Saipul Jamil. Bukan ikut-ikutan untuk memboikot stasiun TV swasta tersebut. Menurut saya juga tidak tepat sasarannya.
Urusan KPAI adalah menjamin hak-hak asasi anak dari perlakuan semua pihak, termasuk pihak-pihak terkait, seperti koordinator fans Saipul Jamil dan manager program acara stasiun TV swasta sebagaimana dimaksud.
Perspektif ketiga, justifikasi (penghukuman) terhadap manusia. Soal siapa yang berhak menghukum manusia bersalah atau tidak, bertobat atau tidak, bahagia atau tidak, memaafkan atau tidak.
Perspektif ketiga ini adalah pelaku dan korban. Dari pihak pelaku pedofilia selama ini, sudah mempertanggung jawabkan secara hukum. Ia menjalani hukuman penjara selama 5 tahun. Secara psikologis, saya yakin bahwa Saipul Jamil selama menjalani penjara pasti tidak bahagia, belum lagi besok di hari kiamat masih akan mempertanggungjawabkan dosa-dosanya.
Dari sisi psikologi korban, saya yakin korban pelecehan seksual membutuhkan waktu yang lebih lama untuk bisa tidak ada apa-apa dengan penderitaan yang disebabkan oleh pelaku. Tetapi dengan selalu husnudzon terhadap Allah, insya Allah akan diberikan jalan keluar yang terbaik.
Barangkali melupakan, menghilangkan jauh-jauh, dan juga berusaha memaafkan pelaku sedikit demi sedikit itu perlu. Allah saja Dzat Yang Maha Pemaaf. Walaupun sebesar apa kesalahan, dosa, maksiat dan khilaf yang dilakukan secara sengaja oleh manusia, Allah membuka pintu taubat dan pintu maaf untuk mereka yang mau berubah.
Manusia tidak berhak untuk menghukumi manusia yang salah selalu salah terus. Manusia tidak berhak memberikan penilaian tidak mau menerima tobat terhadap manusia yang mau bertobat dan memohon ampunan kepada Allah.
Allah Yang Maha Tahu akan segala sesuatu yang manusia kerjakan. Dan juga manusia tidak berhak memberi penilaian terhadap korban tidak akan mungkin memberikan maaf kepada pelaku. Sementara Allah saja Maha Pemaaf. Manusia juga tidak berhak menghakimi kalau persoalan yang dihadapi oleh korban akan melupakan setelah Allah memberikan solusi hidup yang lebih baik. Dalam perspektif ketiga ini, adanya campur tangan (ranah) Allah SWT.
***
Terakhir, soal indakan boikot atau cancel culture sebagai tindakan perang terhadap pelaku pedofilia, dengan menutup jalan rezeki lewat cara boikot yang bersangkutan tampil di acara stasiun TV swasta dan YouTube. Apakah itu tindakan tidak bijaksana dan tidak adil?
Juga ketika cancel culture benar-benar dilakukan oleh orang-orang secara masif dan jika di kemudian hari berdampak negatif. Misalnya stasiun TV swasta tersebut berujung kebangkrutan, maka persoalannya merambah kemana-mana, bisa jadi banyak rezeki orang yang tidak bersalah ikut terkena dampaknya pula
Sudah serahkan persoalan besar tersebut kepada pihak berwenang saja. Kita bersimpati atas dasar kemanusiaan itu sah-sah saja, tetapi jangan berlebih-lebihan. Demikian pula bagi semua fans Saipul Jamil. Anda memotivasi idolanya untuk bangkit itu juga sah-sah saja.
Akan tetapi, hati-hati dengan pemberian glorifikasi kepada Saipul Jamil, idola Anda, karena ada hati nurani korban dan keluarganya yang masih luka dan sampai saat belum bisa hilang.
JUNAEDI SE, esais Mbantul