Korea Selatan memiliki budaya yang kaya akan sejarah. Kebudayaan Korea Selatan lahir dari kontak peradaban besar yakni Tiongkok, sehingga unsur-unsur spiritualisme dan moral yang diturunkan dari Konfusianisme ataupun Taoisme. Meskipun berada di tengah megahnya industri dan modernisasi yang masif, beberapa penduduk di Korea Selatan masih berpegang teguh pada nilai-nilai spiritualisme. Mereka mencari sebuah kebenaran hakiki melalui ajaran nenek moyang dan juga melalui ajaran agama.
Meskipun spiritualitas peradaban dibangun dari jiwa Konfusianisme dan Taoisme, Korea Selatan pernah menjadi salah satu tempat singgah para misionaris Eropa yang membawa ajaran Kekristenan. Jumlah penduduk Korea Selatan yang memeluk agama Kristen adalah sekitar 29 persen dari keseluruhan total penduduk di Negeri Ginseng tersebut. Tentu jumlah tersebut adalah angka yang signifikan, dan di balik tingginya angka itu tersimpan sejarah yang kaya.
Kekristenan masuk ke semenanjung Korea pada abad ke-18 dan dibawa oleh misionaris Katolik dari Italia, yakni Matteo Ricci yang juga sempat singgah di Tiongkok pada era dinasti Ming. Ia menulis puluhan buku berisi penelitian mengenai spiritualisme dalam peradaban Tiongkok, sekaligus memperkenalkan nilai-nilai Gereja yang sejalan dengan semangat spiritual Konfusianisme.
Buku-buku yang ia tulis menggunakan bahasa Mandarin dan dipelajari oleh para cendekiawan Konfusius. Salah satu cendekiawan yang membawa karya Ricci ke kekaisaran Joseon adalah Yi-Suwang, dan oleh para kelompok cendekiawan menyebut ajaran Kekristenan sebagai Seohak yang berarti “ajaran dari Barat.”
Kekristenan yang dibawa oleh misionaris Katolik sempat mendapatkan tekanan dari kekaisaran karena dianggap mengubah nilai-nilai Konfusianisme yang murni. Namun, ajaran Gereja cukup mendapatkan simpati oleh rakyat, dan bangsawan lambat laun menerima Kekristenan dan bersedia untuk dibaptis sebagai seorang Kristiani. Puncak kekristenan Katolik di Korea Selatan memuncak ketika dibentuknya Keuskupan Korea pada 1831. Sejak itu pemeluk agama Kristen meningkat secara signifikan.
Ajaran Protestan masuk dibawa oleh misionaris Amerika pada zaman yang lebih modern, yakni akhir abad ke-19. Para misionaris aliran metodis dan presbyterian mendirikan berbagai sekolah dan yayasan pendidikan berbasis agama, serta turut memajukan pendidikan modern di Korea yang dapat diakses oleh masyarakat luas.
Pada awalnya institusi pendidikan hanya diperuntukan untuk para anak bangsawan laki-laki. Namun, para misionaris protestan turut membantu mendirikan yayasan pendidikan yang menerima rakyat biasa dan juga perempuan. Sekolah-sekolah tersebut dipisah berdasarkan jenis kelamin, yakni ada sekolah khusus laki-laki dan sekolah khusus perempuan.
Kehadiran ajaran Kekristenan pada masyarakat Korea (khususnya Korea Selatan) telah berdiri kokoh hingga zaman modern. Para pemeluk Kekristenan lebih banyak di Korea Selatan karena politik di Korea Utara memberikan tekanan pada kehidupan beragama, akibat ideologi yang diterapkan oleh negara tersebut. Hal itu membuat para umat Kristiani berbondong-bondong pindah ke selatan.
Hingga kini, ajaran gereja di Korea Selatan telah menjadi sebuah solusi akan kejenuhan dunia modern, dan memberikan rasa selamat bagi mereka yang mencarinya. Banyak kita temukan tokoh terkenal di Korea Selatan yang memeluk agama Kristen, salah satunya adalah presiden Moon Jae-in, dan Kim Dahyun, salah satu anggota dari grup K-Pop Twice.
Referensi
- Buswell, Robert E., Jr & Timothy S. Lee. 2005. Christianity in Korea. Hawaii : University of Hawai’i Press
- Nahm. Ph. D, Andrew. 2009. A Panorama of 5000 Years: Korean History. Elizabeth, New Jersey: Hollym International Corp.
- Pewresearch. 2014. "6 facts about Christianity in South Korea"