Mengenal Haji Samanhudi, Pendiri Organisasi Sarekat Dagang Islam

Hernawan | Budi Prathama
Mengenal Haji Samanhudi, Pendiri Organisasi Sarekat Dagang Islam
Foto Haji Samanhudi. (Twitter/@khsamanhudi)

Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, saat itu sistem perdagangan dimonopoli oleh bangsa luar seperti dari China dan Belanda. Hal itu membuat nasib pedagang pribumi mengalami kemerosotan dan tergeser dengan pedagang dari bangsa luar, padahal berada di dalam negeri sendiri.

Sekitar tahun 1900, pedagang dari China memperoleh banyak bantuan dari pemerintah kolonial Belanda untuk melancarkan usaha dagangnya. Sementara, pedagang dari pribumi justru tidak mendapatkan perlakuan yang adil. Bahkan sering kali mendapatkan tekanan dari pemerintah dalam mengembangkan usahanya. Perlakuan yang tidak adil itulah yang membuat Haji Samanhudi tergerak hatinya untuk membela kaumnya, rakyat pribumi yang sering kali direndahkan. 

Dalam catatan sejarah, Haji Samanhudi telah banyak menaruh sumbangsih besar terhadap perjuangan bangsa Indonesia dan rakyat pribumi yang sering kali dikucilkan. Sosok Haji Samanhudi yang banyak terlibat aktif dalam pergerakan nasional dan berteman akrab beberapa pejuang Indonesia lainnya. 

Haji Samanhudi dikenal dengan nama Wiryowikoro atau Sudarno Nadi lahir di desa Sondokoro, Karanganyar, Solo pada tahun 1868. Beliau anak dari Haji Muhammad Zen, salah satu pedagang batik yang terkenal di Solo.

Nasib Haji Samanhudi untuk menempuh pendidikan tidaklah terlalu baik. Beliau hanya dapat menempuh pendidikan di sekolah Kelas Dua (Ongko Loro), itu pun tidak tamat. Alhasil, Haji Samanhudi memutuskan belajar agama di Surabaya sambil berdagang batik. 

Keprihatinan Haji Samanhudi untuk mengangkat martabat pedagang pribumi, beliau lakukan dengan menyusun kekuatan di bidang perdagangan dan agama. Namun, hal itu tidak cukup jika tidak memiliki wadah tersendiri yang dapat menghimpun padagang-padagang pribumi.

Haji Samanhudi merasa perlu ada organisasi yang dapat membela kepentingan mereka. Akhirnya pada tahun 1911, Haji Samanhudi mendirikan organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI) di Solo. 

Alasan mendasar didirikannya organisasi tersebut, yakni karena meningkatnya persaingan dalam bidang perdagangan batik terutama dari orang-orang China yang memiliki sifat superior, dan juga ada tekanan dari kaum bangsawan. Lahirnya SDI mendapat sambutan hangat dari masyarakat, hal itu ditandai dengan banyaknya terbentuk cabang-cabang di luar kota Solo dalam waktu relatif singkat. 

Pesatnya perkembangan SDI, justru membuat pemerintah Belanda khawatir. Sementara, dorongan dan dukungan dari masyarakat dan anggota, membuat SDI semakin agresif untuk mengembangkan organisasi dan terlibat dalam perjuangan menentang pemerintah. Akhirnya, SDI pun merubah menjadi partai politik dengan ditandainya adanya perubahan nama SDI menjadi SI (Sarekat Islam) pada tanggal 10 September 1912. 

Anggota SI pun terus bertambah setipa tahun. Menjelang kongres pertamanya pada tanggal 25-26 Januari 1913 di Surabaya, anggota SI berjumlah sekitar 80.000 orang. Tiga tahun berikutnya kembali bertambah yang berjumlah 360.000 orang. Sementara pada tahun 1918, kembali meningkat menjadi 450.000 orang.

Melihat perkembangan partai SI yang terus meningkat ke daerah-daerah di Jawa, dan setelah kegiatan-kegiatan para anggotanya pun di Solo terus meningkat tanpa pengawasan dari pemerintah Kolonial, membuat Residen Raja Kusunanan Surakarta segera membekukan SI.

Pembekuan tersebut menuai kerusuhan dan pergolakan dari rakyat. Akhirnya, pemerintah Belanda mencabut pembekuan tersebut pada tanggal 26 Agustus 1912 dengan beberapa catatan bahwa SI hanya terbatas di wilayah Surakarta saja. 

Haji Samanhudi menyadari, untuk menghadapi pemerintah kolonial Belanda diperlukan pemimpin yang andal. Beliau melihat sosok Cokroaminito yang bergabung dengan SI pada Mei 1912 dianggap orang yang tepat melanjutkan estafet kepemimpinan. Cokroaminoto segera ditugaskan untuk menyusun Anggaran Dasar baru SI di seluruh Indonesia sekaligus meminta pengakuan pemerintah untuk menghindari “pengawasan preventif dan represif secara administratif.” 

Pada tanggal 18 Februari 1914 di Yogyakarta, diputuskan dibentuk pengurus pusat. Haji Samanhudi sebagai ketua kehormatan, Cokroaminoto sebagai ketua, dan Gunawan sebagai sekretaris. Hingga akhirnya, pengurus central SI diakui pemerintah Belanda pada tanggal 18 Maret 1916.   

Mengingat kesehatan Haji Samanhudi mulai terganggu, maka terhitung sejak tahun 1920, beliau pun tidak aktif lagi dalam kepengurusan partai. Usaha dagangnya juga mengalami kemerosotan. Namun, kepeduliannya terhadap pergerakan nasional tidaklah pernah padam. 

Setelah Indonesia merdeka, beliau pun kembali terlibat dalam mempertahankan kedaulatan negara. Ketika terjadi Agresi Militer Belanda II, Haji Samanhudi membentuk Laskar Gerakan Kesatuan Alap-alap yang bertugas menyediakan perlengkapan, khususnya bahan makanan bagi perajurit yang sedang berjuang. 

Haji Samanhudi meninggal pada 28 Desember 1956 di Klaten dan dimakamkan di Desa Banaran, Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Sosok beliau perlu untuk dikenang sebagai perintis kemerdekaan bangsa Indonesia dan juga sebagai pemimpin besar di zamannya.

Walau, nama Haji Samanhudi hari ini sudah mulai terkikis, tetapi perjuangan beliau tak akan pernah mati. Bangsa tidak akan besar jika generasinya tidak menghargai jasa para pahlawan-pahlawannya, seperti itulah ciutan dari Ir. Soekarno. 

Referensi: 

Prasetya, Johan. “Pahlawan-Pahlawan Bangsa yang Terlupakan.” Penerbit Saufa, halaman 34-38. 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak