Sejujurnya saya sedang tidak ingin menulis. Bukan sekedar tidak ingin biasa. Benar-benar tidak ingin. Pikiran saya rasanya tidak mau mengerjakan sesuatu hal yang serius: tugas dan tugas. Sepertinya otak saya membutuhkan istirahat.
Tetapi sebuah celetukan istri memancing perhatian saya. Ada berita viral bahwa seorang mahasiswa ITB meninggal setelah tujuh hari berturut-turut tidak tidur malam demi mengerjakan skripsi.
Saya dan istri kemudian berdiskusi tentang beban berat skripsi (dan doktoral, karena saya sedang menempuhnya) serta pentingnya kesehatan dan kekuatan mental dalam menghadapinya.
Saya katakan pada istri, di luar negeri masalah kesehatan mental dalam penyelesaian doktoral sangat diperhatikan. Mungkin karena semakin banyak saja mahasiswa yang stres.
Salah satu penyebab stres ini dapat diduga adalah kurangnya istirahat. Termasuk istirahat dalam proses studi. Istirahat dari penelitian, dari ngelab, dari nulis naskah skripsi, disertasi, dan publikasi.
Karena itu, di sejumlah perguruan tinggi sangat ditekankan apa yang disebut sebagai work-life balance. Keseimbangan kerja dan kehidupan pribadi. Kehidupan pribadi sebagai waktu istirahat.
Saya mendapatkan cerita bahwa di sebuah perguruan tinggi asing, jika mahasiswa tidak mengambil libur saat waktunya libur, maka pembimbing akan menegur dan memaksanya untuk libur. Sebegitunya mereka memahami pentingnya istirahat.
Istirahat untuk Produktivitas
Supaya semakin meyakinkan dan semakin jelas di mata kita, saya akan paparkan sejumlah manfaat kecil istirahat menurut sains. Yang pertama, istirahat singkat membantu untuk tetap fokus. Yang kedua, istirahat membantu otak kita untuk mengumpulkan ulang informasi dan membuat pola hubungan.
Ketika kita dihadapkan atau mengerjakan satu tugas dalam waktu yang lama atau berulang-ulang, perhatian kita terhadap tugas tersebut cenderung menurun alias kita tidak bisa fokus. Ini seperti saat kita mengendarai kendaraan dalam jarak yang panjang, jalanan lurus, sepi tanpa kendaraan lain, pemandangan kanan kiri hanya sawah hijau membentang. Di tengah perjalanan, tiba-tiba saja mata kita menutup.
Pernah merasakan ini? Apa yang kita lakukan? Tentu saja meminggirkan kendaraan, lalu beristirahat. Untuk tugas atau aktivitas lain pun begitu. Kita perlu istirahat sejenak agar dapat fokus kembali, seperti yang juga dilaporkan di jurnal Cognition.
Ketika kita bekerja sangat dan memaksakan fokus, kita juga sebenarnya mengalami kerugian. Otak kita akan kesulitan menemukan dan bahkan melewatkan pola-pola penting dari beragam informasi yang masuk. Justru akan lebih baik jika kita istirahat sejenak sambil membiarkan pikiran berkelana sesukanya. Sedikit mirip dengan melamun.
Pernah dengar kan cerita penemuan besar yang terjadi saat kondisi begitu? Archimedes dengan “Eureka” saat berendam; atau Newton dengan kejatuhan apel saat beristirahat di bawah pohon. Penelitian menemukan bahwa area otak yang berkaitan dengan pemecahan masalah kompleks memang sangat aktif dalam kondisi mirip melamun ini, sebagaimana dilaporkan pada jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences.
Begitulah sejumlah manfaat istirahat. Saya berikan beberapa saja yang berkaitan dengan produktivitas, bukan yang berkaitan dengan kesehatan fisik dan mental. Supaya manfaat istirahat menjadi gamblang dan menarik.
Karena jika yang dipaparkan berkaitan dengan kesehatan, bisa jadi kita merasa lebih tau tentang tubuh dan jiwa kita sendiri. Sejatinya, secara insting kita pun tau bahwa istirahat itu penting untuk kesehatan fisik dan mental.
Harus Istirahat, Meskipun Dikejar Waktu
Memang harus diakui, waktu kita terasa semakin sempit. Dengan pengaruh teknologi yang semakin canggih, rasanya ada saja tugas-tugas yang harus kita kerjakan. Selesai satu, yang lain datang. Ambisi kita pun seakan tiada akhir, ditimpali oleh kemudahan-kemudahan modern.
Kita berpikir, zaman dulu di malam hari tidak bisa bekerja karena tidak ada listrik, sedangkan sekarang sudah ada listrik maka bisa bekerja di malam hari. Waktu yang tersedia harus digunakan baik-baik semaksimal mungkin.
Sistem hidup kita di masa ini seolah memaksa agar kita selalu aktif, kalau bisa bahkan saat tidur pun. Kita lalu lupa bahwa tubuh dan pikiran kita harus, seharus-harusnya, beristirahat.
Nah, mahasiswa ITB yang tadi diceritakan, sebelum meninggal, sempat mengingatkan di media sosialnya agar sesibuk apapun mengerjakan skripsi, tetap harus istirahat cukup. Jangan memforsir diri secara berlebihan.
Maka, sebagaimana mahasiswa luar biasa tersebut, saya akan mengakhiri tulisan di sini dan bersegera untuk istirahat.
* Penulis merupakan mahasiswa doktoral Fakultas Biologi UGM