Ada salah satu kalimat terkenal yang bahkan orang awam pun tahu, yakni “Peraturan dibuat untuk dilanggar.” Pernyataan ini sedikit menimbulkan pertanyaan mengenai asal dari kata-kata tersebut berasal, tapi jika kita teliti lagi memang benar adanya.
Tidak perlu jauh-jauh ke negara lain sebagai contoh dari pembicaraan ini. Peraturan yang bahkan oleh penegak peraturan atau biasa disebut sebagai hukum itu sendiri pun ikut-ikutan melanggar.
Ini entah bagaimana mental masyarakat kita yang sudah terbiasa hidup untuk melanggar aturan, dikarenakan aturannya yang terlalu memberatkan sehingga harus melanggar atau bagaimana. Jangan-jangan, karena sudah sering melanggar aturan Tuhan jadi terkesan biasa melawan aturan manusia.
Jadi, untuk takut dengan Tuhan saja berasa biasa saja apalagi dengan manusia. Sedikit mengingatkan saya dalam acara di salah satu stasiun televisi, ada seorang yang mengatakan kurang lebih seperti ini, “bagaimana negara mau maju Tuhan pun tidak ditakuti.”
Sebenarnya, penegakan hukum akhir-akhir ini sedang sakit, akibatnya banyak orang yang memanfaatkan penegakan hukum demi kepentingan diri mereka sendiri. Seperti yang sempat viral mengenai seorang istri yang memarahi suaminya dan berujung sang istri terancam penjara satu tahun.
Hal tersebut pada akhirnya jadi perbincangan banyak khalayak umum, terutama para netizen yang cenderung kontra terhadap apa yang terjadi dalam proses peradilan tersebut. Salah satu kasus yang menjadi bukti bahwa dunia hukum negeri pancasila ini sedang sakit.
Tak lama juga muncul sebuah video mengenai salah seorang bupati dalam pidatonya mengatakan takut terkena OTT sebagai perwakilan beberapa kepala daerah, disambung dengan mengatakan bahwa jika ada yang mau di OTT harusnya diberitahu dulu dan diberi kesempatan untuk berubah. Jika berubah maka lepaskan, jika tidak bisa berubah silahkan untuk ditangkap.
Beliau juga menambahkan bahwa ke depannya, jika seperti ini terus maka akan berpotensi menghambat perkembangan dari sautu daerah. Sebab, bisa jadi salah satu petinggi daerah yang terkena OTT mempunyai potensi untuk membangun daerah tersebut dan hal tersebut akan sangat menghambat kinerja pemerintahan jika salah satu dari pejabat pemerintahan terkena OTT.
Jelas saja ini sangat tidak masuk akal, sama tidak masuk akalnya dengan alasan doi yang minta putus tapi alasannya jadi kakak-adek aja. Agaknya seperti menonton komedi, yang membedakan adalah komedi satu ini disajikan di panggung kekuasaan elit pemerintah daerah. Peraturan seakan cuma untuk permainan belaka oleh orang-orang yang berkuasa, yang bisa mereka kendalikan semaunya.
Peraturan pada akhirnya hanya seperti santapan nikmat lainnya yang tertata rapi di piring-piring mewah dan hanya bisa dinikmati oleh orang-orang berduit. Hukum sekarang bisa diatur mode request semaunya asal ada uangnya, seakan kebebasan tak lebih dari tiket yang bisa dibeli oleh uang.
Namun, problematikanya adalah dewasa ini kita sedang ada dalam lingkaran perkembangan revolusi industri 4.0, di mana pekerjaan banyak menggunakan kemajuan teknologi sebagai pengganti tenaga manusia. Semakin ke sini, lapangan pekerjaan yang tersisa semakin sempit dari pada sebelumnya.
Namun sepertinya, di mana pun itu, manusia masih dapat menemukan cara lain untuk mencari uang. Misalnya saja yang banyak dilakukan orang di dalam lini Youtube. Di laman tersebut, mereka membuat konten dengan tujuan mendapatkan uang melalui tolak ukur banyaknya subsciber.
Tentu saja, dalam pembuatan konten tersebut mereka harus mencurahkan segala ide guna mendongkrak kepopuleran dengan cara apa pun. Namun, patut disayangkan seringkali beberapa orang di antara mereka bukan lagi melanggar aturan atau hukum, malahan mereka sudah mulai melanggar nilai moral dan etika yang ada hanya demi meningkatnya jumlah subsciber yang ada.
Tingkat kebutuhan masyarakat yang semakin bertambah juga turut menghadirkan niatan untuk sedikit melanggar aturan demi tercapainya tujuan atau pun target yang diinginkan. Alhasil, semakin sering melakukan hal tersebut maka menjadi sebuah tindakan yang dianggap biasa saja.
Misal contoh kecilnya adalah melanggar lampu lalu lintas hanya untuk datang tepat waktu. Padahal, nyawa bisa jadi taruhannya dan banyak lagi pelanggaran lalu lintas lainnya. Melansir dari databoks.katadata.co.id, jumlah tilang lalu lintas terhitung dari Januari sampai Oktober 2021 mencapai angka 1,77 juta.
Aturan apa pun itu memang terlihat menggiurkan, seperti kebanyakan makanan junkfood lainnya. Namun, perlu diketahui bahwa junkfood meski terlihat begitu menggiurkan, tapi ancaman kesehatan yang dibawa juga tidak bisa dianggap enteng. Begitupun dengan melanggar aturan.
Memang sangat menyenangkan ketika terbebas dari aturan, tapi seperti yang kita ketahui bahwa ketika kita melanggar aturan, tertentu akan ada imbalannya cepat atau lambat. Misalnya, kalau kita melanggar lampu lalu lintas, bisa jadi kita terkena kecelakaan berupa tabrakan antar pengendara/pengemudi, atau melanggar aturan lain yang bisa mendapat sanksi penjara.
Tindakan tersebut, tentu dapat berimbas dengan tercemarnya nama keluarga, yang saya yakin untuk masa depan juga membersihkan nama akan sangat sulit.