Menjelang Hari Kemerdekaan RI yang ke-80 pada 17 Agustus 2025 mendatang, sejumlah wilayah di Indonesia justru tengah ramai dengan berkibarnya bendera Jolly Roger One Piece.
Fenomena ini dianggap sebagai bentuk kritik sosial dan simbol perlawanan untuk mengkritisi situasi politik dan sosial di Indonesia yang tidak stabil. Bersamaan dengan itu, aksi ini manfaatkan oleh masyarakat untuk menjamin hak kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Meskipun gerakan ini baru masif terjadi menjelang HUT RI yang ke-80, penggunaan budaya pop sebagai ajang untuk mengemukakan pendapat, kritik sosial, dan simbol perlawanan bukanlah hal yang baru terjadi.
Tidak kalah heboh dari fenomena ini, band Sukatani pernah meramaikan jagat media sosial berkat lagu berjudul Bayar Bayar Bayar karena penuh kritikan terhadap sistem pungli, terutama yang melibatkan oknum polisi.
Bahkan, di media sosial kerap berseliweran meme yang lucu, tetapi tajam menyuarakan keresahan masyarakat perihal kebijakan politik, hukum, hingga kesejahteraan.
Sebagai media hiburan yang berlandaskan humor, meme lantas menjadi saran yang bisa menjangkau berbagai kalangan karena cara penyampaiannya yang menyenangkan. Lewat konten bergambar dan kata-kata yang menarik, konteks di dalam meme bisa memicu diskusi publik yang lebih mendalam.
Hal yang sama pun terjadi pada bidang sastra. Sebagai media berkarya, sastra tidak lepas dari budaya dan situasi sosial politik yang menginspirasi konten di dalamnya.
Sejak dulu, penulis dan sastrawan Indonesia kerap memanfaatkan media tulisan sebagai ajang untuk berpikir kritis dan menyampaikan pendapatnya.
Misalnya, puisi-puisi yang ditulis Wiji Thukul hingga kini masih menjadi karya sastra yang kuat untuk menyuarakan isu perlawanan. Lewat tulisannya pula, lahir sastrawan muda yang tidak ragu untuk bersuara lewat karya tulisan.
Di era digital ini, penggunaan media sosial yang makin masif turut memengaruhi perkembangan budaya pop. Jika pada mulanya budaya pop dimanfaatkan hanya sebagai hiburan semata, kini ia bertransformasi menjadi media untuk bersuara dan menyampaikan kritik terhadap kondisi sosial dan politik.
Hal ini sejalan dengan kondisi budaya global yang turut membesarkan generasi muda lewat musik, film, sastra, seni gambar, hingga influencer di media sosial.
Tak jarang generasi muda juga memanfaatkan produk hiburan dari luar negeri sebagai media penyampaiannya. Berkibarnya bendera Jolly Roger One Piece sebagai contohnya.
Masyarakat mengadopsi makna bendera dari animasi Jepang itu sebagai lambang keprihatinan terhadap kondisi Indonesia yang dinilai makin mengkhawatirkan.
Sama halnya dengan budaya K-Pop yang mendorong para penggemar musik dan idola Korea Selatan itu untuk turun gunung mengadakan aksi menolak kenaikan PPN 12 persen pada Desember 2024 yang lalu.
Berdasarkan fenomena-fenomena yang ada, budaya pop kini tidak lagi diartikan dalam pengertian yang sempit. Lewat film, musik, gambar, atau tulisan, isu-isu yang terjadi di kehidupan manusia lantas disampaikan.
Dibandingkan dengan pidato formal atau orasi yang penuh semangat, kini penyebaran isu lewat budaya pop lebih mudah tersebar dan diterima karena ia lahir dari kebutuhan dasar manusia, yaitu hiburan sehingga keberadaannya terasa dekat dengan masyarakat.
Perkembangan digital dan arus pertukaran budaya global lantas memengaruhi cara pandang generasi muda terhadap budaya pop. Mereka memiliki pandangan yang lebih luas untuk merepresentasikan pesan yang terkandung dalam sebuah media hiburan.
Representasi visual, musik, meme, hingga simbol dari berbagai belahan di dunia kini bisa dimanfaatkan untuk membangun kesadaran kolektif dengan cara yang kreatif.
Dengan tumbuhnya kesadaran akan hak asasi, generasi muda tidak lagi takut menyuarakan keresahannya. Budaya populer kemudian menjelma jadi media penting dalam pergerakan sosial dan simbol untuk perlawanan terhadap ketidakadilan. Fenomena ini lantas menegaskan bahwa budaya pop adalah ruang aman untuk beropini dan mendorong perubahan sosial.