Hari Guru Nasional telah diperingati beberapa hari yang lalu. Lebih tepatnya pada tanggal 25 November 2021. Ada banyak orang yang turut serta memeringati hari guru nasional, tentu dengan caranya masing-masing. Ada yang mengunggah foto-foto jadul bersama guru-guru, teman satu kelas, atau kenang-kenangan lain ketika masih bersekolah.
Beberapa dari kita mungkin memiliki kenangan dengan salah satu guru. Rasanya, guru tersebut membekas dalam ingatan dan susah dilupakan. Hal itu sejatinya sangatlah wajar. Pasalnya, sebagian besar waktu kita habiskan di sekolah. Mau tidak mau, kehidupan ketika di sekolah dan interaksi dengan guru di kelas memengaruhi pola interaksi kita ketika berada di lingkungan masyarakat.
Jika ada yang pernah melihat salah satu film berjudul “Hichki”, pasti tidak asing mengenai salah satu adegan di mana Naina Mathur yang diperankan oleh Rani Mukerji mengatakan “Tidak ada murid yang buruk, yang ada hanyalah guru yang buruk”. Sebelum lebih dalam lagi, perlu saya tekankan bahwa guru di sini dalam artian luas. Bukan hanya guru dalam artian tenaga pendidik yang digaji pemerintah saja. Kembali lagi, dalam film tersebut diberikan gambaran pendidikan saat ini yang masih dominan hierarki di dalamnya.
Masih melekat mungkin di dalam pikiran kita mengenai pemisahan persepsi antara kelas IPA-IPS. Sampai saat ini, IPA itu cenderung digambarkan sebagai anak-anak pintar kesayangan sekolah, dominan masuk OSIS, dan banyak menjuarai kejuaraan. Lalu untuk kelas IPS, condong dengan perspektif anak-anak pembuat masalah dan untuk prestasi akademiknya berada di bawah kelas IPA.
Meskipun dalam hal jatah materi tidak ada diskriminasi, tetapi entah mengapa perilaku labelling yang sudah terlanjur diberikan membuat anak berprestasi menjadi terhambat. Itu hanya satu di antara banyak problem pendidikan yang ada di Indonesia saat ini dan bisa dibilang, menurut banyak orang, mungkin tidak terlalu berpengaruh pada prestasi akademik siswa. Namun, dalam hal pendidikan, agaknya jangan sampai ada keterasingan atau memarginalkan salah satu kelompok.
Beralih ke lingkup yang lebih besar. Pendidikan kita dewasa ini, secara mental dan spiritual, serasa semakin tidak karuan. Terlepas dari materi yang diberikan, saya rasa tidak ada masalah. Namun, yang mungkin terlupakan adalah penanaman etika dan budi pekerti yang luhur. Salah satunya berpedoman pada semboyan yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara “ing ngarsa sing tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”.
Namun, kebutuhan mental yang anak-anak butuhkan serasa terlalu tidak dihiraukan. Hasil akhirnya, anak-anak zaman sekarang banyak yang kurang paham bagaimana bersikap dan memilih lingkungan. Sehingga, terkadang terjadi pergaulan yang tidak terkontrol. Bahkan, orang tua tahunya si anak pergi belajar kelompok bersama teman, padahal nyatanya hanya main dengan dengan orang-orang yang pergaulannya menjerumuskan ke arah kurang benar.
Pergaulan bebas sering kali rentan terhadap hal-hal buruk. Tentu saja tidak hanya tugas tenaga pendidik untuk menciptakan seorang siswa yang berbudi luhur, tetapi peran orang tua pun perlu disinggung.
Ada sedikitperbedaan antara pola asuh orang tua zaman sekarang dengan masa dulu. Letak perbedaan paling kentara adalah ketika orang tua menaruh kepercayaan menitipkan anaknya ke sekolah. Pada zaman dulu, ketika anak mendapat nilai jelek, selalu ia yang dimarahi. Namun, sekarang malah sekolah yang kena protes.
Jelas saja, pola pengasuhan semacam ini patut dibenahi. Pasalnya, orang tua juga harus ikut ambil bagian dalam pendidikan ketika anak sudah kembali dari sekolah dan pulang ke rumah. Tidak serta merta melimpahkan semua upaya pendidikan kepada sekolah.
Pasalnya, ketika berada di rumah, orang tua harusnya bisa memonitoring anak lebih baik dari pada guru di sekolahan. Hanya saja, kendala lainnya adalah orang tua terkadang terlalu lelah seharian bekerja ataupun mengurusi pekerjaan rumah tangga. Kendala lainnya adalah kecenderungan orang tua yang sudah lupa mengenai pelajaran.
Masalah tersebut muncul karena orang-orang beranggapan bahwa cara belajar yang tepat adalah dengan belajar. Namun, pengaplikasiannya kadang tak sesuai realitas. Kadang, kegiatan menghafal hanya dilakukan peserta didik saat menjelang ujian.
Tendensi untuk menghafal pelajaran adalah salah. Pasalnya, menghafal materi yang banyak dalam waktu sekejap itu hanya akan hilang. Berbeda dengan ketika kita mencoba memahami materi. Ketika sudah paham betul terhadap apa yang telah kita baca, ingatan akan menyimpannya sebagai memori jangka panjang. Jika pun sempat lupa, dengan sedikit pemantik ingatan itu akan dengan segera muncul sendiri.
Mengutip dari bbc diketahui bahwa peringkat pendidikan di Indonesia kalah telak dari negara tetangga, yaitu Malaysia dan Brunei. Data pendidikan itu disusun oleh PISA (Progamme for International Student Assesment) yang dilakukan pada 2019 silam.
Sementara dikutip dari cekaja bahwa dalam perangkingan tersebut, Indonesia berada di posisi 70 dari total 93 negara yang diurutkan. Dengan begitu, berarti Malaysia berada di urutan 54 dan brunei 57. Ini patut menjadi catatan untuk ke depannya agar pendidikan di negeri kita bisa lebih maju lagi. Bukan lagi memperbanyak materi belajar, tetapi efektifitas juga perlu diubah. Caranya bisa dengan menjadikan negara-negara luar sebagai pedoman tentang bagaimana proses pembelajaran.
Lebih lanjut lagi, masalah pendidikan lain yang masih menjadi kendala utama dunia pendidikan Indonesia adalah soal pemerataan. Banyak wilayah-wilayah yang tingkat pendidikanya sangat rendah dan itu selalu ada kaitannya dengan tingkat perekonomian di sana. Biasanya mereka lebih mementingkan untuk bekerja membantu orang tuanya daripada belajar.
Bagi yang mampu, mungkin akan merantau ke luar jawa untuk menempuh pendidikan. Kalau gap pendidikan luar jawa masih berlangsun,g akan berdampak tidak baik bagi proses kemajuan bangsa.
Kembali lagi, pendidikan adalah salah satu aset penting bagi pembangunan bangsa. Kesetaraan pendidikan sangatlah penting. Kekurangan fasilitas pendidikan yang terdapat di luar jawa harus menjadi perhatian utama, dalam rangka upaya memajukan pendidikan secara keseluruhan.
Tidak bisa hanya sebagian, siapa tahu di luar jawa sana banyak anak-anak yang sebenarnya mempunyai kualitas akademis menjanjikan. Namun sayangnya, masih terkendala fasilitas pendidikan yang kurang memadai. Apa karena wilayah kita yang terlalu besar sehingga hal itu sulid diwujudkan? Sampai-sampai, kita kalah dengan negara-negara yang cenderung memiliki wilayah cakupan lebih kecil. Ini adalah PR pemerintah tentunya.
Pendidikan juga tak melulu mengenai nilai akademik yang bagus. Akhlak juga menjadi nomor satu, bergandengan dengan logika yang terasah dari materi pelajaran. Cerdas dengan perilaku dan tutur kata yang baik akan sangat terhormat, daripada cerdas tapi tak berbudi baik. Ini adalah PR kita bersama demi membentuk perilaku anak, dengan pemahaman kemanusiaan yang benar dan tidak melupakan pentingnya masa depan pendidikan.