Sudah sejak lama saya ingin marah, tapi baru kali ini saya rasa sudah saatnya kemarahan ini disalurkan melalui tulisan. Kita tengah hidup di tengah-tengah sistem Pendidikan yang sangat amburadul tapi tetap memaksakan terus menerus merasa sok modern. Pemerinta, sekolah, bahkan orang tua seolah-olah saling bahu-membahu dalam berbagai kepura-puraan: berpura-pura bahwa semuanya ini baik-baik saja, bahwa kurikulum berganti merupakan sebuah tanda kemajuan, bahwa jargon dari “Merdeka Belajar” benar-benar membebaskan, bahwa tanpa Ujian Nasional kita jadii lebih manusiawi, tapi apakah semua itu benar adanya?
Mari kita semua jujur, di balik semua sloga indah itu kita seddang memelihara generansi yang kehilangan orientasi belajar. Mereka lebih paham akan tren TikTok terbaru ketimbang isi Pembukaan UUD 1945. Lebih handal membuat video lipsync dan dance velocity ketimbang menulis paragraf argumentatif. Kita menginginkan mereka mejadi pelajar Pancasila, tapi tidak pernah sekalipun memastikan mereka bisa membaca dengan lancer. Ini bukanlah sebuah hiperbola, coba saja turun ke lapangan, atau hanya sekedar membaca laporan Pendidikan Dasar: masih banyak ditemukan anak-anak diusia SMP, bahkan yang sebentar lagi menginjak masa remaja dewasa yang masih belum bisa membaca dan berhitung dengan baik. Bayangkan saja, kita tengah membiarkan generasi kita untuk tumbuh dalam kegelapan, dan lebih parahnya lagi kita tidak merasa bahwa itu darurat.
Pendidikan kita saat ini bukan hanya gagal dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, tapi malah menjadi sebuah ladang kesenjangan yang baru. Mereka yang lahir di kota, di keluarga mampu, tetap bisa belajar melalu bimbel, les privat, maupun sekolah swasta yang notabenya merogoh kocek dana yang tidak sedikit. Sedangkan anak-anak yang terlahir di keluarga biasa? Yang hanya bergantung kepada Pendidikan sekolah negeri, justru menjadi korban dari sistem yang membingungkan. Kurikulum yang terus berganti, guru yang bingung harus berbuat apa, apalagi siswa. Lalu kita berharap kepada mereka untuk memiliki karakter yang unggul? Ini sangat lucu.
Kita sering mengagumi pendidikan Eropa, terutama Finlandia. Tapi kita cuma meniru kulitnya. Mereka menghapus ujian nasional setelah memastikan kualitas guru mereka setara dokter. Kita malah menghapus UN saat standar kualitas sekolah masih seperti tambal sulam. Hasilnya? Sekolah menilai siswa seenaknya. Murid yang tak bisa membaca tetap naik kelas karena sekolah takut terlihat buruk. Semua lulus, semua senang, semua palsu.
Zonasi juga jadi bencana yang dibungkus nama keadilan. Di atas kertas, sistem zonasi ingin memeratakan akses pendidikan. Tapi dalam praktiknya, ini adalah sabotase terhadap kesempatan anak-anak untuk tumbuh lewat sekolah terbaik. Anak cerdas dari keluarga biasa tak bisa masuk sekolah unggulan hanya karena alamat rumah. Sementara anak yang tinggal di dekat sekolah favorit, walau prestasinya minim, bisa masuk dengan mudah. Kita berbicara soal pemerataan, tapi tak pernah serius meratakan kualitas sekolahnya. Zonasi akhirnya bukan alat keadilan, melainkan pagar diskriminasi diam-diam. Memaksa anak untuk puas dengan sekolah seadanya, padahal dia bisa lebih dari itu.
Dan yang lebih mencemaskan akhir-akhir ini adalah menjamurnya semangat unschooling tanpa pemahaman mendalam. Anak-anak sekarang, banyak yang menganggap sekolah adalah penjara, guru adalah penjaga, dan belajar adalah tekanan. Lalu muncul ide unschool (belajar tanpa kelas, tanpa tekanan, katanya mengikuti ritme alami anak). Di atas kertas memang terdengar ideal. Tapi saat diterapkan setengah hati, yang terjadi justru pembiaran. Anak-anak tak diarahkan, tak dituntun, hanya dibiarkan “mencari sendiri” apa yang ingin mereka pelajari. Mereka jadi seperti bukan pelajar, hanya konsumen informasi acak dari internet, menonton video edukatif sambil rebahan, berpikir itu sudah cukup disebut belajar.
Unschool yang diimpor tanpa nalar ini justru menciptakan kebingungan identitas. Murid jadi tidak merasa diri mereka seorang pelajar, tidak punya kerangka sistematis untuk tumbuh. Mereka tidak punya patokan, tidak ada standar evaluasi, tidak ada proses pembentukan mental belajar. Akibatnya, banyak yang justru tumbuh jadi manusia bingung: tidak terbiasa disiplin, tidak terbiasa berpikir kritis, dan pada akhirnya tidak siap menghadapi dunia nyata yang penuh struktur dan tanggung jawab.
Semua ini makin menyakitkan karena negara seolah tak merasa sedang krisis. Pemerintah seperti sibuk mengganti kurikulum, membuat aplikasi, menyusun profil pelajar, tanpa benar-benar menyentuh jantung masalah: bahwa pendidikan kita timpang, tidak adil, dan semakin absurd.
Solusinya bukan sekadar “revisi kurikulum” atau “pelatihan guru.” Kita butuh revolusi cara pandang. Pendidikan harus kembali ke rohnya: mendidik manusia, bukan mencetak angka. Kita perlu akui bahwa menghapus UN tanpa sistem evaluasi nasional yang adil adalah bunuh diri. UN boleh kembali, tapi dengan format baru yang menilai nalar dan proses berpikir, bukan hafalan. Kita juga harus hentikan sistem zonasi yang mematikan peluang mobilitas sosial. Biarkan anak-anak bersaing sehat, dengan tetap memperhatikan akses dan pemerataan. Tapi pemerataan tidak bisa terjadi kalau kualitas sekolah tetap jomplang. Artinya, pemerintah harus habis-habisan membangun sekolah, melatih guru, dan memberi insentif ke pelosok, bukan sibuk mengejar akreditasi semu.
Lebih dari itu, kita perlu darurat literasi. Tidak boleh ada lagi anak kelas 6 SD yang belum bisa membaca. Tidak boleh ada remaja yang tidak bisa berhitung. Jika ini masih terjadi, maka kita bukan sedang membangun negara, tapi sedang mempermainkan masa depannya. Dan untuk para penggiat pendidikan alternatif: jika ingin mendorong unschool, pastikan itu bukan cuma romantisme kebebasan belajar. Pastikan ada ekosistem yang mendukung, kurikulum fleksibel yang tetap logis, mentor yang kompeten, dan arah yang jelas. Jangan jadikan kebebasan belajar sebagai alasan untuk tidak belajar sama sekali.
Sekolah harus kembali menjadi tempat yang memanusiakan manusia. Tempat anak-anak bisa belajar berpikir, merasakan, bertanya, dan gagal tanpa takut. Bukan pabrik nilai. Bukan tempat hafalan. Dan bukan pula arena kontes rangking. Kalau sistem ini tidak berubah, maka jangan heran jika kita akan melihat generasi yang kehilangan arah. Mereka tidak bodoh. Mereka hanya dikhianati oleh sistem yang tidak peduli. Dan ketika suatu generasi gagal dididik karena sistem yang dungu, kita semua bertanggung jawab, termasuk saya, termasuk Anda.