Beberapa waktu yang lalu, seorang teman mencurahkan isi hatinya melalui pesan WhatsApp, perihal sekolah tatap muka yang akan segera dibuka kembali. Teman saya merasa kesal karena pihak sekolah mengharuskan anak-anak memakai seragam dihari pertama sekolah. Itu artinya teman saya harus membelikan seragam baru untuk anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar, karena seragam yang lama sudah tidak muat dipakai. Tak hanya baju dan celana seragam, tapi juga membeli sepatu baru karena sepatu yang lama sudah tidak muat di kaki.
Bagi para wali murid yang memiliki banyak uang atau dari kalangan berada, hal tersebut tentu tak menjadi masalah. Namun bagi wali murid yang selama ini hidup dalam garis kemiskinan, tentu akan menjadi persoalan yang sangat serius. Sebagaimana dialami oleh teman saya yang ketika itu belum memiliki uang untuk membeli seragam sekolah dan sepatu buat anaknya. Akhirnya, dia pun mencari utangan untuk membeli seragam sekolah dan sepatu baru buat anaknya tersebut.
Curahan hati teman saya tersebut sontak membuat saya merenung dan bertanya-tanya. Kenapa sih pihak sekolah terkesan begitu saklek dan kaku dalam membuat aturan kepada murid-muridnya? Terlebih aturan tersebut sifatnya sangat mendadak sehingga amat sangat merepotkan wali murid yang hidup dalam gelimang kemiskinan atau kondisi keuangannya sedang bermasalah.
Yang (juga) menjadi pertanyaan selanjutnya ialah, kenapa pihak sekolah tidak memberikan jeda waktu kepada wali murid, misalnya satu hingga dua minggu pertama memberikan kebebasan dalam hal berbusana, yang penting masih dalam batas-batas kewajaran dan kesopanan. Waktu seminggu dua minggu itu bisa dijadikan sebagai persiapan oleh mereka (para wali murid) mencari uang guna membeli seragam sekolah dan sepatu anak-anaknya.
Sungguh sulit dibayangkan, betapa pusingnya para orangtua yang memiliki banyak anak dan semuanya masih sekolah, sementara kehidupan kesehariannya dalam kondisi pas-pasan bahkan kekurangan. Boro-boro buat beli seragam dan sepatu baru, buat membeli sembako saja masih kerepotan.
Toh, yang namanya seragam itu bagi saya bukan hal yang teramat penting. Mestinya, yang paling penting dan selalu diprioritaskan ialah bagaimana anak-anak bisa kembali belajar tatap muka di sekolah dengan nyaman, tenang, dan bahagia. Dengan tetap menerapkan protokol kesehatan tentu saja, mengingat wabah korona masih menjadi hal yang perlu diwaspadai penyebarannya.
Namun, sayang seribu sayang, sepertinya di negeri ini, peraturan mengenakan seragam sekolah bagi para peserta didik di berbagai lembaga pendidikan, masih menjadi hal yang sangat penting bahkan secara tak langsung merupakan hal yang wajib, sehingga bagi mereka yang tidak mengenakan seragam dilarang keras mengikuti kegiatan belajar di sekolah. Hal ini tentu menjadi ironi tersendiri. Hal yang teramat sangat disayangkan.
Memang saya menyadari bahwa mengenakan seragam termasuk hal yang perlu dan penting. Meski tidak begitu penting-penting amat. Hal ini bertujuan untuk, misalnya, membedakan anak yang sedang belajar (sekolah) dan anak yang sedang tidak belajar (tidak sekolah). Seragam juga bisa menjadi semacam identitas untuk membedakan siswa sekolah yang satu dengan siswa sekolah yang lainnya.
Namun, menurut saya, aturan berseragam saat sekolah mestinya dibuat selentur mungkin dan tidak mengikat. Mungkin akan menjadi hal yang menyenangkan bagi siswa saat bersekolah tak harus setiap hari mengenakan seragam dan sepatu. Misalnya pihak sekolah memberikan kebebasan tak mengenakan seragam pada hari-hari tertentu. Atau bisa juga menerapkan peraturan, seminggu berseragam, seminggu berikutnya tidak berseragam.
Selain persoalan seragam sekolah, sebenarnya ada hal yang lebih penting untuk senantiasa diperhatikan, yakni bagaimana para guru bisa membawakan setiap mata pelajaran dengan cara-cara yang menyenangkan dan tak membosankan. Sebab selama ini, metode pembelajaran yang digunakan di sekolah-sekolah cenderung kaku dan mengutamakan ceramah sehingga membuat murid bosan bahkan menjadi malas bersekolah.
Sekolah, mestinya bisa menjadi tempat menuntut ilmu yang membuat anak selalu merasa tertarik dan penasaran untuk mempelajari ilmu yang disampaikan oleh gurunya. Bukan malah membuat anak merasa jenuh dan akhirnya kapok melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. ***
Sam Edy Yuswanto
Penulis lepas mukim di Kebumen.