Kita tentunya sering atau pernah mendengar tentang ekologi, tapi sebenarnya apasih ekologi itu?
Ekologi sendiri sebagai kata, pertama kali muncul pada tahun 1866 oleh Ernst Haeckel.
Menurut Ernst, ekologi adalah ilmu pengetahuan komprehensif tentang hubungan organisme terhadap lingkungan hidupnya.
Seiring berjalannya waktu, pengertian ekologi berkembang, dan dapat dijelaskan dengan banyak definisi.
Salah satunya, ekologi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang membahas tentang semua unsur dalam lingkungan (organisme dan ekosistem), serta hubungan sebab akibatnya.
Ekologi seringkali dikaitkan dengan kerusakan ekologi, terus apalagi kerusakan ekologi itu?
Kerusakan ekologi dapat didefinisikan sebagai kerusakan lingkungan, ekosistem, tumbuhan, ekosistem hewan, pencemaran air dan udara.
Kerusakan ekologi sendiri biasanya diakibatkan oleh eksploitasi sumber daya alam berlebihan, dengan tujuan pemenuhan hasrat hidup manusia (baik individu atau kelompok).
Berdasarkan Global Footprint Network tahun 2020, Indonesia mengalami defisit ekologi sebanyak 42%.
Sedangkan menurut data WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) di Kalimantan Selatan saja, dari 3,7 juta hektar luasan wilayah Kalimantan Selatan, hampir 50 persen merupakan lahan tambang dan perkebunan sawit.
Hal ini, tentunya mempengaruhi lingkungan, dan bahkan dapat mengakibatkan bencana alam.
Perempuan memiliki peran penting dalam kelestarian ekologi dan gerakan memperjuangkan ekologi, loh!
Sebagai contoh gerakan feminisme memiliki tujuan yang sama dengan prinsip ekologi, sama-sama melawan dominasi, saling memperkuat antar entitas, memperjuangkan kesetaraan, dan mendukung terwujudnya dunia berdasar "equal power relations".
"Ecofeminism is feminist tenets of equality between genders, a revaluing of non-patriarchal or nonlinear structures, and a view of the world that respects organic processes, holistic connections, and the merits of intuition and collaboration".
Ekofeminisme merupakan penggabungan antara ekologi dan feminisme.
Penggabungan ini berdasarkan suatu renungan bahwa dominasi serta diskriminasi yang dialami baik oleh lingkungan hidup maupun perempuan, bersumber dari problem yang sama yakni, budaya patriarki.
"Sehingga perjuangan untuk bumi sejatinya adalah perjuangan demi keadilan dan kesetaraan sosial-ekologis," menurut Saras Dewi dalam Magdalene (Ekofeminisme: Perempuan dalam Pelestarian Lingkungan Hidup)
Pada akhirnya, ekofeminis memberikan alternatif bagi kita untuk melihat kerusakan ekologi, dan tentunya menjelaskan bagaimana peran penting perempuan dalam merawat alam dan lingkungannya.
Masyarakat adat sebagai salah satu entitas yang mendiami wilayah di Indonesia, menjadi salah satu aktor yang menjaga alam dan lingkungan kita. Namun, dalam realitasnya, banyak problem yang saat ini dialami oleh masyarakat adat.
Salah satunya adalah perampasan hutan atau wilayah adat, baik oleh pemerintah maupun korporasi. Alhasil, terjadi kerusakan ekologi di berbagai hutan dan wilayah adat milik masyarakat adat.
Perjuangan masyarakat adat dalam mempertahankan hutan atau wilayah adatnya tidak terlepas dari peran perempuan adat. Perempuan Adat yang memiliki peran pada komunitas atau kelompok masyarakat adat, pada akhirnya merasakan dampak dari kerusakan lingkungan.
Perempuan Adat biasanya pergi ke hutan atau wilayah adat untuk mengambil hasil alam untuk memenuhi kebutuhan di rumah, kebutuhan anak dan keluarga, upacara adat, dan lain sebagainya. Namun, pasca kerusakan lingkungan, hasil alam akan hilang, dan membuat mereka mulai membeli hasil alam di pasar.
Alhasil, perempuan tidak dapat melaksanakan kegiatannya, dan perannya akan semakin tergerus. Partisipasi perempuan dan pengetahuan asli dari Perempuan Adat diperlukan pada saat rusaknya lingkungan, dikarenakan dekat dengan analisis feminim.
Peningkatan partisipasi harus diberikan dalam tiap-tiap pengambilan kebijakan ataupun penanganan kasus di dalam masyarakat adat. Partisipasi yang baik akan mendorong peningkatan pengetahuan asli Perempuan Adat yang nantinya berguna untuk generasi masa depan.***