Jolly Roger Serial One Piece Jadi Peringatan Kesekian untuk Pemerintah

Hayuning Ratri Hapsari | Christina Natalia Setyawati
Jolly Roger Serial One Piece Jadi Peringatan Kesekian untuk Pemerintah
Ilustrasi Bendera Bajak Laut (Pexels/Masha Mirra)

Dalam beberapa waktu terakhir, menjelang perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia, sebuah pemandangan tak biasa terlihat: bendera bajak laut Topi Jerami dari serial anime One Piece berkibar tepat di bawah bendera Merah Putih.

Fenomena ini, yang dimulai sebagai protes dari kelompok supir truk, dengan cepat bertransformasi menjadi simbol perlawanan yang lebih luas.

Ini bukan sekadar tren dari penggemar anime, melainkan sebuah pernyataan politik yang cerdas dan menyentuh inti permasalahan yang dihadapi bangsa.

Mengapa bendera bajak laut, sebuah simbol fiksi, menjadi alat protes yang begitu efektif? Jawabannya terletak pada makna mendalam yang terkandung dalam cerita One Piece.

Serial ini secara fundamental adalah kritik terhadap otoritas yang korup, pemerintahan yang menindas, dan ketidakadilan yang merajalela.

Kaptennya, Monkey D. Luffy, bukanlah seorang pahlawan tradisional, melainkan seorang bajak laut yang berjuang untuk kebebasan dan persatuan, melawan sistem yang telah bobrok. 

Pemerintahan Dunia (World Government) dalam cerita One Piece bukanlah entitas yang adil. Mereka digambarkan sebagai organisasi tiran yang korup dan manipulatif.

Mereka mengontrol informasi, memusnahkan sejarah yang tidak sesuai dengan narasi mereka (melalui peristiwa "Void Century"), dan menggunakan kekerasan brutal untuk membungkam setiap bentuk perlawanan. 

Pemerintah ini memiliki kekuatan militer tak terbatas, yang diwakili oleh Angkatan Laut (Marine). Namun, Angkatan Laut itu sendiri sering kali digunakan untuk menegakkan hukum yang tidak adil dan melindungi kepentingan para penguasa, bukan rakyat biasa.

Tokoh-tokoh di dalam Angkatan Laut sendiri seringkali menghadapi dilema moral antara "keadilan" yang dianut oleh Pemerintah Dunia dan keadilan sejati yang harusnya mereka perjuangkan.

Dunia One Piece juga menunjukkan kesenjangan sosial yang sangat dalam. Ada kelompok yang diistimewakan, yaitu kaum Tenryuubito atau Celestial Dragons.

Mereka adalah keturunan para pendiri Pemerintah Dunia dan hidup dalam kemewahan ekstrem, kebal hukum, dan bisa melakukan apa saja tanpa konsekuensi. Mereka bisa memperbudak siapa pun, bahkan memaksa orang untuk berlutut di hadapan mereka. 

Keberadaan Celestial Dragons ini adalah kritik tajam terhadap sistem kelas yang eksploitatif dan korupsi elit. Mereka adalah simbol dari kekuasaan yang absolut dan tidak terkontrol, di mana hak asasi manusia hanya berlaku untuk segelintir orang.

Inti dari perjalanan bajak laut Topi Jerami adalah perjuangan melawan sistem yang menindas ini. Setiap anggota kru memiliki latar belakang yang berbeda, namun mereka semua bersatu dalam satu tujuan: mencari kebebasan. 

Salah satu isu paling gelap dalam cerita ini adalah sistem perbudakan yang dilegalkan oleh Pemerintah Dunia, di mana manusia dan ras lain diperdagangkan seperti barang.

Kisah tentang ras Fish-Man (manusia ikan) menunjukkan bagaimana diskriminasi dan kebencian rasial dapat memicu konflik dan ketidakadilan yang berkepanjangan.

Pemerintah Dunia dalam serial tersebut bahkan secara aktif melenyapkan ilmuwan dan sejarawan yang mencoba mengungkap kebenaran di balik "Void Century", sebuah praktik yang mencerminkan sensor dan pembungkaman kebebasan berpendapat.

Narasi ini sangat relevan dengan realitas sosial-politik di Indonesia. Bendera Topi Jerami menjadi metafora bagi suara rakyat yang merasa tidak didengar.

Pemasangannya di bawah Merah Putih adalah sebuah dikotomi yang kuat: cinta terhadap negara dan simbolnya, tetapi kecewa dan menolak kebijakan pemerintah yang dianggap tidak mencerminkan nilai-nilai luhur kemerdekaan.

Ini adalah cara cerdas untuk menghindari tuduhan makar atau anti-nasionalisme karena mereka tetap menempatkan Merah Putih di posisi tertinggi.

Kritik disampaikan melalui medium yang akrab bagi generasi muda, membuatnya menyebar dengan cepat dan efektif.

Fenomena ini tidak akan bisa menyebar seluas ini tanpa adanya peran media sosial. Tagar dan video yang menunjukkan bendera One Piece dengan cepat menjadi viral, menyatukan berbagai kelompok masyarakat yang memiliki kekecewaan serupa.

Fenomena ini pertama kali dipicu oleh para supir truk yang memprotes kebijakan Zero ODOL (Over Dimension Over Load) hingga mahasiswa yang menolak revisi undang-undang yang kontroversial, semua menemukan simbol bersama dalam Jolly Roger Topi Jerami.

Melalui media sosial, bendera ini menjadi simbol solidaritas dan kekecewaan kolektif. Tentu saja, respons pemerintah dan aparat keamanan beragam.

Ada yang menganggapnya sebagai bentuk ekspresi yang sah selama tidak menggantikan posisi bendera Merah Putih, tetapi ada juga yang melihatnya sebagai ancaman.

Ini menunjukkan bahwa protes politik tidak lagi terbatas pada demonstrasi fisik atau pamflet. Pop-kultur, seperti anime, kini bisa menjadi platform yang kuat untuk menyuarakan aspirasi rakyat.

Respons dari pemerintah dan aparat keamanan terhadap fenomena ini bervariasi, tetapi cenderung reaktif.

Ada laporan tentang aparat yang mencopot paksa bendera tersebut, menganggapnya sebagai pelanggaran aturan. Tindakan ini justru memperkuat narasi perlawanan.

Ketika pemerintah mencoba membungkam ekspresi protes, bahkan yang berbentuk simbolik, itu hanya menunjukkan bahwa kritik tersebut tepat sasaran dan ada sesuatu yang ingin disembunyikan.

Beberapa pejabat pemerintah menanggapi fenomena ini dengan nada keras, menganggapnya sebagai upaya provokasi dan bahkan makar.

Mereka berargumen bahwa pengibaran bendera lain di satu tiang dengan Merah Putih, meskipun di bawahnya, dapat merendahkan martabat bendera negara.

Ada kekhawatiran bahwa ini adalah bagian dari gerakan yang lebih besar untuk memecah belah bangsa atau menodai makna sakral peringatan kemerdekaan.

Namun, narasi ini dipertanyakan oleh banyak pakar hukum dan aktivis HAM. Mereka berpendapat bahwa selama bendera Merah Putih tetap berada di posisi tertinggi, tidak ada pelanggaran hukum yang terjadi. Larangan tersebut justru dinilai sebagai tindakan represif yang membatasi kebebasan berekspresi.

Penggunaan simbol pop-kultur seperti bendera One Piece adalah cara yang dipilih masyarakat untuk menghindari narasi-narasi politik yang kaku dan menghindari risiko berhadapan langsung dengan aparat.

Merespons protes dengan larangan hanya menunjukkan bahwa pemerintah tidak mau atau tidak mampu menghadapi substansi dari kritik tersebut.

Masyarakat tidak memprotes karena mereka tidak cinta Indonesia; justru sebaliknya. Mereka memprotes karena merasa bahwa janji-janji kemerdekaan, seperti keadilan, kesejahteraan, dan perlindungan HAM, belum sepenuhnya terpenuhi.

Tindakan pemerintah yang melarang dan merazia bendera-bendera ini justru menjadi bumerang. Ini membuktikan bahwa pemerintah cenderung paranoid terhadap kritik dan memilih jalan pintas melalui penindasan, bukan dialog.

Fenomena bendera One Piece di bawah Merah Putih adalah cermin dari krisis demokrasi yang semakin dalam.

Ini adalah sinyal bahwa ruang dialog publik semakin menyempit dan masyarakat merasa perlu mencari cara-cara kreatif untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka.

Pemerintah seharusnya tidak melihat ini sebagai ancaman, melainkan sebagai panggilan untuk introspeksi.

Alih-alih bersikap represif, pemerintah seharusnya membuka ruang dialog yang lebih luas dan tulus. Memahami alasan di balik protes, mendengarkan kritik, dan meninjau kembali kebijakan yang dianggap tidak adil adalah langkah-langkah yang diperlukan untuk membangun kembali kepercayaan publik.

Jika tidak, simbol-simbol perlawanan baru akan terus bermunculan, dan jurang antara rakyat dan penguasa akan semakin melebar.

Pada akhirnya, makna sejati dari kemerdekaan bukanlah sekadar mengibarkan bendera, melainkan memastikan bahwa kebebasan, keadilan, dan kesejahteraan benar-benar dirasakan oleh seluruh rakyat.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak