Legalisasi Ganja: Alternatif Medis atau Alternatif Perusak Bangsa

Hernawan | Marcello Sanjaya
Legalisasi Ganja: Alternatif Medis atau Alternatif Perusak Bangsa
Ilustrasi Minyak Ganja (unsplash.com/Kimzy Nanney)

Marijuana atau ganja merupakan obat psikoaktif yang diproduksi dari tumbuhan bernama cannabis sativa, dengan delta-9-tetrahydrocannabinol (THC) sebagai unsur utamanya, yang pada umumnya dikonsumsi dengan cara dihisap layaknya rokok (Drug Enforcement Administration, 2020). Nama ganja atau dengan nama ilmiah “cannabis sativa” resmi dicatat dalam kerajaan tanaman oleh Carolus Linnaeus pada tahun 1753. Sejarah mencatat bahwa ganja sudah digunakan sebagai obat di bumi belahan barat sejak tahun 1840an oleh seorang dokter bedah bernama W.B. O’Shaughnessy (Wilkie, Sakr, Rizack, 2016).

Di Indonesia, ganja tergolong sebagai zat narkotika golongan 1, yang berarti dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan, sesuai, sesuai dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Salah satu contoh kasus kriminalisasi pengguna ganja untuk kesehatan terjadi kepada Fidelis Arie Sudewarto, yang divonis dengan 8 bulan penjara dan denda sebesar Rp 1 Miliar karena terbukti bersalah atas kepemilikan 39 batang ganja yang digunakan untuk mengobati istrinya yang mengidap penyakit langka bernama syringomyelia (Irawan, 2017).

Kasus ini menunjukkan bahwa kriminalisasi penggunaan ganja untuk pengobatan di Indonesia terkesan tidak adil bagi orang-orang yang membutuhkan obat alternatif untuk penyakit yang mereka derita, seperti istri dari Fidelis, karena memang sejatinya undang-undang tersebut tidak mengakomodir penggunaan ganja untuk tujuan medis. Kemudian, di dalam UU tersebut dituliskan bahwa penggunaan ganja hanya diperbolehkan untuk kepentingan ilmu pengetahuan sehingga sangat sulit dipergunakan untuk hal lain.

Gerakan legalisasi ganja untuk kesehatan di Indonesia terus dilakukan melalui permohonan judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 kepada Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi, pemerintah Indonesia memberikan pertimbangannya bahwa penggunaan ganja di bidang kesehatan tidak lebih banyak manfaatnya dibandingkan dengan penyalahgunaanya. Pemerintah beranggapan bahwa terdapat alternatif penyembuhan lain selain menggunakan ganja.

Selain itu, sebagai salah satu alternatif penyembuhan secara medis, ganja menuai beberapa manfaat lain bagi para penggunanya. Berdasarkan penelitian dari berbagai pakar kesehatan, terdapat suatu senyawa kimia dalam ganja bernama cannabinoids, yang mampu membantu pengobatan atas penyakit-penyakit tertentu (Rahmi Ayudna, 2021). Senyawa ini terdiri atas zat tetrahydrocannabinol (THC) dan cannabidiol (CBD) yang berguna bagi penyembuhan radang usus, hepatitis C, epilepsi, pasca trauma, dan penyakit lainnya (Enik Isnaini, 2017). Di sisi lain, ganja juga berfungsi sebagai obat bius atau penenang bagi pasien yang akan dioperasi atau dalam tahap penyembuhan (Ananda Firman, 2021).

Kebermanfaatan lain yang dimiliki oleh ganja merupakan kemampuannya dalam menyembuhkan penyakit kanker. Menurut National Cancer Institute, THC dan CBD dapat digunakan bagi para pasien kanker sebagai penanggulangan efek antiemetik, peningkatan nafsu makan, pereda sakit, dan peningkat tidur (National Cancer Institute, 2021). Berdasarkan data penelitian dari Seattle Cancer Center Alliance, sebanyak 25% pasien telah menggunakan ganja medis dan 75% pasien menginginkan informasi lebih lanjut atas penggunaannya (Lazhuardi Utama, 2017).

Apabila dibandingkan dengan negara lain, Indonesia telah mengalami ketertinggalan yang cukup besar dalam konteks legalisasi ganja. Negara-negara seperti Uruguay, Turki, Inggris, dan Korea Selatan merupakan beberapa negara yang telah mentolerir pemanfaatan ganja dalam bidang medis (Rahmi Ayudna, 2021). Oleh karena itu, sudah sewajarnya dalam mempertimbangkan pemberlakuan legalisasi ganja di Indonesia, dilihat dari berbagai manfaat serta pengakuannya dalam kancah internasional.

Terlepas dari manfaat dan keuntungan yang akan diperoleh dengan legalisasi ganja, kelompok kontra juga memiliki argumen penyokong posisi mereka. Menjunjung aturan yang telah berlaku, pihak kontra tidak setuju dengan pemanfaatan ganja sebagai obat karena dianggap telah melegalkan penyalahgunaan narkoba dengan dalih kesehatan dan membahayakan penggunanya. Dampak negatif yang disebabkan oleh ganja tidaklah sebanding dengan khasiat yang ditawarkan. Dilihat dalam praktiknya, ganja juga berperan dalam menimbulkan gangguan jiwa, yaitu menjadi stimulus terhadap gangguan jiwa yang sebelumnya telah mengalami gangguan lanjutan (Vani Kulhalli, 2016).

Menilik dari sisi hukum, legalisasi ganja dalam dunia medis juga membuat regulasi terkait narkoba menjadi rancu. Mengatasi kerancuan tersebut, hal yang dapat dilakukan adalah mengadakan kebijakan formulasi hukum pidana untuk merevisi undang-undang narkotika (Leonie Lokollo, 2020). 

Pembaharuan hukum pidana sangat penting dilakukan mengingat hukum memuat aturan-aturan yang berisi syarat untuk mengikat suatu perbuatan tertentu yang akan berakibat pidana (Teguh Sulista dan Aria Zunneti, 2020). Menjawab kekhawatiran pihak-pihak kontra yang dapat teratasi, manfaat akan legalisasi ganja dalam dunia medis merupakan tawaran yang meyakinkan.

Dengan mempertimbangkan masing-masing keuntungan dan kerugian yang telah dipaparkan sebelumnya, seharusnya pemerintah mengadakan kebijakan pembaharuan regulasi mengenai pemidanaan penggunaan ganja di Indonesia. Berkaca pada kasus Fidelis, beliau menggunakan ganja bukan sebagai penyalahgunaan ataupun semata-mata rekreasi saja, melainkan untuk pengobatan sang istri. Pengobatan yang diberikan oleh Fidelis terbukti dengan kondisi kesehatan istri Fidelis yang mengalami perkembangan secara signifikan setelah mengonsumsi ganja.

Fidelis kemudian ditangkap oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) serta harus berhenti memberikan asupan ekstrak ganja yang merupakan satu-satunya harapan untuk menyelamatkan nyawa sang istri. Akibatnya, kondisi istri menurun dan harus kehilangan nyawa tepat 32 hari setelah Fidelis ditangkap (Oscar Ferry, 2017). Tidak adanya regulasi mengenai penggunaan ganja sebagai alternatif medis membuat Fidelis harus kehilangan istrinya. 

Sementara itu, kekhawatiran akan kerugian yang didapatkan dari ganja dapat dibendung oleh regulasi yang dibentuk oleh pemerintah, yakni dengan legalisasi ganja sebagai alternatif medis, bukan sebagai rekreasi. Dengan demikian, kerugian-kerugian tersebut dapat teratasi. Meskipun memiliki banyak kerugian, ganja memiliki manfaat yang lebih banyak.

Ganja memiliki banyak manfaat di dunia medis dan keberadaannya kerap kali sulit untuk digantikan dengan obat lain, seperti yang terjadi pada istri Fidelis. Dengan demikian, pemerintah harus membuat pengaturan mengenai penggunaan ganja sebagai alternatif medis agar orang-orang yang memiliki kasus seperti Fidelis juga mendapatkan keadilan.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak